KBR68H, Jakarta - Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mencatat sebanyak 86 persen masyarakat khawatir dengan kinerja menteri yang berasal dari partai politik.
Penulis: Doddy Rosadi
Editor:

KBR68H, Jakarta - Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mencatat sebanyak 86 persen masyarakat khawatir dengan kinerja menteri yang berasal dari partai politik. Menteri asal parpol itu diyakini tidak akan fokus mengurusi rakyat menjelang Pemilu 2014 mendatang. Seperti apa sebenarnya gambaran kekhawatiran responden tersebut. Simak perbincangan KBR68H dengan peneliti LSI Adrian Sopa dalam program Sarapan Pagi
Dikhawatirkan kinerja menteri tidak akan fokus mengurusi rakyat menjelang pemilu, apa yang bisa anda jabarkan?
Pertama memang sekarang ini tahun politik menghadapi tahun pemilu di 2014. Kita coba tanya ke publik bagaimana, apakah publik khawatir atau tidak khawatir kalau misalnya kinerja menteri ini terganggu atau tidak. Ternyata kita mendapatkan temuan yang mengejutkan, ternyata lebih dari 86 persen publik khawatir bahwa menteri bisa bekerja sesuai dengan kementeriannya. Ketika misalnya kita gali lagi, itu dianggap bahwa pada akhirnya menteri-menteri yang berasal dari partai politik itu akan lebih banyak berjuang untuk partai politik dibandingkan untuk kepentingan bangsa maupun negara.
Bekerja berdasarkan kepentingan parpol ya?
Iya. Jadi memang karena misalnya sekarang tahun politik, kemudian beliau yang ketua-ketua partai atau menteri yang punya posisi strategis di partai itu mau tidak mau ada dua kepentingan yang berjalan. Pertama kepentingan dia sebagai menteri sebenarnya dia harus mengerjakan itu, tetapi juga sebagai orang partai atau ketua umum dia juga berkewajiban membesarkan partainya. Dalam dua hal ini kalau misalnya tidak bisa berjalan beriringan, otomatis akan lebih banyak ke partainya. Karena kalau kemarin-kemarin masih berpikir masih 2-3 tahun, tapi sekarang sudah satu tahun ke depan sebentar lagi yang mana ketua umum pertarungan buat dia apakah dia berhasil mengelola partai yang dipimpin atau tidak. Makanya mereka pasti akan lebih banyak untuk misalnya deklarasi, kampanye atau kegiatan-kegiatan partai yang tidak ada hubungannya dengan kementerian yang dia pimpin.
Siapa menteri yang dikhawatirkan masyarakat ini?
Kita tidak melihat satu dua tiga menteri. Tetapi yang menjadi catatan kita, ketua umum partai yang jadi menteri itu ada tiga orang yaitu Pak Hatta Rajasa dari PAN, Pak Suryadharma Ali dari PPP, kemudian Pak Muhaimin Iskandar dari PKB. Tetapi selain itu juga ada tokoh-tokoh partai politik yang dia berperan di partai politik tapi juga jadi menteri, banyak sekali. Jadi kalau misalnya kita bedar daripada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini dari 36 pejabat menteri atau setingkat menteri itu hampir ada 21, jadi sekitar 58 persen yang ini merupakan representasi dari partai politik. Ketika kita tanya ke publik apakah puas atau tidak dengan kinerja kabinet yang ada sekarang, angkanya turun lagi misalnya kita bandingkan dengan yang lama-lama. Jadi sekarang ini angka kepuasan untuk kinerja kabinet itu di angka 34,32 persen, padahal kalau kita bandingkan di Januari 2010 atau 100 hari setelah pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II itu masih di angka 52,3 persen. Kalau misalnya ini terus berlanjut, ini dikhawatirkan akan lebih menggerus lagi kepuasan publik terhadap kabinet ini. Kita sebenarnya tidak dalam artian untuk apa-apa tapi lebih mengingatkan kepada para menteri, kabinet termasuk Pak SBY bahwa publik sudah seperti ini, jangan sampai ini dianggap cari apa-apa tapi ini warning. Ini masih ada waktu setahun ke depan, mohon bisa bekerja lebih optimal sehingga buat kabinet dan Pak SBY bisa meninggalkan yang bisa diingat rakyat.
Menteri Agung Laksono bilang ini terlalu berlebihan kekhawatirannya, apakah memang di partai politik tidak ada pembagian tugas misalnya partai melepas satu kadernya untuk bertugas di pemerintahan sementara yang lain bekerja secara politik?
Idealnya memang seperti itu. Ketika dia jadi menteri kalau misalnya simbol masih mungkin, tapi ketika misalnya dia juga melakukan roadshow ke luar daerah tidak ada hubungan kementerian ini sebenarnya mengganggu kementerian yang dia pimpin. Sekarang ini lebih banyak pembagian tugas itu tidak terlihat, kebanyakan sebagai ketua umum dia jarang kemana-mana, sebagai menteri dia juga ada di situ. Padahal sebenarnya kalau misalnya kita tidak dikotomi, katakanlah antara ketua umum partai dengan kementerian sebenarnya menguntungkan buat pribadi-pribadi menteri ini. Misalnya ketika ketua umum dia tidak harus bicara sebagai ketua umum, tapi cukup bekerja dengan baik dan benar di kementerian saya yakin publik juga bisa melihat hal itu. Mau tidak mau partai yang dia pimpin bisa naik lagi atau mendulang suara, karena masyarakat melihat apa bukti yang sudah dibuat partai ini melalui tokohnya siapa. Dibanding misalnya dia antara di pemerintahan katakanlah di kementerian fokus, kemudian juga di partai dia pada akhirnya terbagi, akhirnya publik melihat bahwa ini tidak benar.
Kalau mengundurkan diri dari jabatan menteri bagaimana?
Menurut saya itu lebih baik dibanding misalnya dia tetap jadi menteri tetapi juga fokus ke partainya lebih banyak. Kalau misalnya seperti itu lebih baik di awal dia mengundurkan diri, Pak SBY juga bilang jika ada yang ingin lebih fokus di partai silahkan mengundurkan diri. Saya lebih sepakat seperti itu daripada misalnya jabatan ada di kementerian tapi orangnya tidak ada, dia bergerak sebagai partainya.
Presiden sempat kasih solusi bahwa para menteri diberi kebebasan berkampanye sehari dalam seminggu, apakah itu solusi untuk menjawab kekhawatiran masyarakat?
Itu bisa jadi solusi. Karena memang menteri tidak harus 7 hari dalam seminggu atau 31 hari dalam sebulan, tapi memang ada masa libur dia juga. Pak SBY mungkin ambil jalan tengah, bahwa ya tolonglah kalau misalnya dalam hal kementerian waktu yang tersedia digunakan untuk kementerian, hari yang kosong digunakan untuk kepentingan partai. Karena juga ini sebenarnya resiko daripada kabinet yang beliau pimpin, kabinet yang memang multi partai yang mana dia juga menghimpun kekuatan sehingga mau tidak mau dia harus bargain dengan kekuatan-kekuatan yang ada. Menurut saya bisa jadi solusi bahwa selain misalnya memberikan satu hari itu juga bisa jadi solusi. Tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana Pak SBY bisa mengoptimalkan kinerja para kabinet yang ada dengan menggunakan mekanisme yang lebih kuat lagi. Kalau misalnya kemarin baru wacana, berbicara di forum bahwa yang banyak waktu untuk partai silahkan mundur menurut saya perlu dituangkan dalam satu aturan yang jelas. Sehingga ketika misalnya ada menteri-menteri yang katakanlah siapa yang lebih banyak waktunya untuk kementerian siapa yang lebih banyak untuk partainya, presiden bisa evaluasi. Ini juga menjadi masalah lagi ketika misalnya dilakukan reshuffle dan sebagainya, karena sekarang ini waktu tinggal satu tahun. Tapi memang pertimbangan kita daripada hancur semuanya, dalam artian setahun ke depan tidak ada apa-apa karena menteri sibuk di partainya ya memang harus ada reshuffle meskipun menimbulkan persoalan baru. Bahkan kemarin misalnya penunjukan Roy Suryo, di survei kita lebih banyak masyarakat melihat bahwa penunjukan Roy Suryo tidak tepat karena dianggap tidak sesuai kompetensinya. Nanti kalau misalnya mau ada reshuffle jangan sampai masalah-masalah seperti ini juga muncul.
Apakah di survei tersebut juga ada pertanyaan misalnya tugas-tugas menteri diserahkan ke wakil menteri?
Ini memang kita tidak menyoroti hal wakil menteri tapi lebih kepada kabinet secara umum. Tugas wakil menteri juga sebenarnya bisa diberdayakan, bagaimana sebenarnya dia terkoordinasi dengan wakil menteri, pembagian tugas untuk partai bisa dilakukan dia dengan tanpa mengganggu kinerja kementerian yang ada. Ini sebenarnya peluang juga menteri-menteri yang ada bagaimana mengoptimalkan tapi tetap bahwa tugas pokok dia di kementerian, kalau di partai adalah tugas “sampingan”.