KBR68H, Jakarta - Hari ini PT Kereta Commuter Line Jabodetabek (PT KCJ) memberlakukan sistem tariff progresif setelah kemarin melakukan uji coba di 66 stasiun di seluruh Jabodetabek.
Penulis: Doddy Rosadi
Editor:

KBR68H, Jakarta - Hari ini PT Kereta Commuter Line Jabodetabek (PT KCJ) memberlakukan sistem tariff progresif setelah kemarin melakukan uji coba di 66 stasiun di seluruh Jabodetabek. PT KCJ mengklaim telah membereskan seluruh permasalahan yang kerap dikeluhkan. Satu di antaranya adalah rusaknya e-Gate karena penggunaan yang salah ataupun pengoperasian yang melampaui batas kemampuan. Bagaimana pembenahan yang sudah dilakukan P KJC terkait penerapan E-Ticket ini? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Novri Lifinus dengan Juru Bicara KRL Mania Agam Fatchurrochman dalam program Sarapan Pagi.
Soal E-Ticket ini bagaimana menurut anda?
Jadi ini merupakan kabar baik ya. Jadi selama ini Electronic Ticketing System itu merupakan keniscayaan, kalau perusahaan kelas dunia harusnya seperti itu. Kalau kita lihat ke Singapura, Malaysia, London ya seperti itu. Karena itu mempermudah antrian, mempermudah bagi penumpang, mempermudah juga bagi perusahaan. Tadi pagi dan kemarin saya sempat menonton Sendratari Arya di Monas naik kereta, dari Sudimara ke Tanah Abang hanya Rp 2.000 saja, saya kebetulan sempat membeli kartu multi trip itu Rp 50.000. Memang kemarin perjalanan saya itu aman, cepat, tidak ada masalah, dan sebagainya. Cuma kalau saya baca di milis KRL Mania dan juga diskusi dengan teman-teman KRL Mania rupanya kemarin ada beberapa masalah. Jadi di Cawang misalnya dari Cawang ke UI pagi dia bisa beli kartu yang single trip hanya Rp 2.000, tetapi pulangnya dari Depok ke Cawang sistemnya rusak sehingga harus beli karcis kertas manual lagi yang dijual Rp 8.000. Padahal kalau mengacu pada harga terjauh itu cuma Rp 5.000 dan kalau dari Depok ke Cawang itu hanya Rp 2.000. Jadi masih ada ketidakkonsistenan sehingga akan membingungkan pengguna maupun petugas. Tapi intinya ini merupakan langkah yang baik yang kita tunggu sejak tahun 2009. Karena ini merupakan percobaan keempat Electronic Ticketing System, kalau kita melihat tahun 2009 itu sebagai bagian program 100 hari Pak SBY itu membuat percobaan Electronic Ticketing System itu diterapkan sebulan gagal. Kemudian tahun 2011 dan 2012 diterapkan lagi, tahun ini berjalan dengan baik. Kita harapkan percobaan keempat ini bisa lancar, baik, menguntungkan bagi penumpang. Kalau saya lihat di stasiun antriannya panjang-panjang, antrian itu sebenarnya bisa dikurangi dengan memperbanyak tempat penjualan kartu yang multi trip. Saya sekitar akhir Januari saya mencoba beli kartu debetnya untuk Transjakarta itu cepat sekali, saya membelinya di gerai-gerai.
Terkait pembenahan antrian tadi dari empat kali percobaan apa menurut anda yang perlu diperhatikan KAI untuk perbaikan ke depan?
Sebetulnya masih sama ya. Pertama itu antrian, berkali-kali percobaan antrian itu masih belum bisa dikurangi dengan baik. Kedua itu adalah kehandalan sistem, karena di hari Sabtu kemarin sistemnya sempat down jadi beberapa jam dihentikan, dijual lagi karcis. Kita agak ragu-ragu dengan kehandalan sistem kalau misalnya hari Sabtu saja sempat seperti itu, kemarin di Depok sore itu juga sempat down system sehingga orang beli karcis lagi. Ketika di atas kereta sudah tidak ada pemeriksaan karena kalau kita lihat di tempat lain tidak ada pemeriksaan kecuali pemeriksaan random. Ketika keluar juga terjadi antrian, rambu-rambu antara mana yang gate keluar mana yang gate masuk kurang jelas. Jadi di Tanah Abang kemarin ada beberapa orang mau keluar melalui gate masuk, rambu itu perlu.
Bagaimana menjaga E-Gate supaya tidak rusak? karena masalah selama ini seperti itu.
Asal selalu ada petugas keamanan, petugas yang di gate mestinya kekhawatiran tadi bisa dikurangi. Ini harus diakui merupakan langkah yang maju, E-Ticketing dengan tarif progresif.
Kalau dibandingkan dengan percobaan sebelumnya dengan sekarang mana lebih baik?
Sebetulnya kalau dari segi kami penumpang yang memperhatikan, kalau kami lihat dulu terus terang vendornya namanya tidak terdengar. Maksudnya tidak terdengar itu kredibilitasnya kita tidak tahu dan sebagainya. Sekarang vendornya adalah PT. Telkom, kita harapkan dengan vendor yang kredibilitasnya bagus ini tidak menjadi investasi yang sia-sia. Tiga kali investasi sebelumnya bisa dibilang sia-sia, kalau kita struktur harganya kemarin saya beli Rp 50.000 itu untuk yang Rp 20.000 untuk kartunya. Kalau kita asumsikan saja nantinya 300 ribu penumpang memakai multi trip semua itu Rp 20.000 dikali 300 ribu penumpang paling tidak Rp 60 miliar. Kalau kita lihat pengalaman di Transjakarta, itu Desember Pak Jokowi punya ide untuk integrasi antara sistem E-Ticketing Transjakarta dengan debet sistem dari bank-bank, ada lima bank, jadi dengan satu kartu saja untuk tiga moda transportasi. Kalau kita lihat Desember kemarin vendornya kebetulan dari Gajah Mada itu dalam waktu sebulan sudah selesai berjalan mulus dan penumpang tidak dibebani oleh harus beli kartu lagi. Saya pikir kenapa ada harga kartu ini karena tiga investasi sebelumnya gagal total.
Jadi anda berharap ada integrasi kartu elektroniknya Transjakarta dengan KRL?
Saya kira seperti itu. Di Yogyakarta dan Solo sudah berhasil kenapa di sini tidak dilakukan. Kemudian yang di Transjakarta vendor yang membiayai dari pembangunan sistem itu karena mereka yang dapat untung nanti dari cash management. Sementara sekarang empat kali investasi itu mahal yang tiga itu tidak berguna sekarang penumpang yang dibebankan, ini manajemen yang kurang baik.
Ini yang benar saat lima stasiun Rp 2.000 atau bagaimana?
Ini juga merupakan kabar baik. Jadi sebelumnya itu rencana dari KAI itu yang pertama memang Rp 3.000 kemudian berikutnya Rp 1.000 tapi kemudian pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkeretaapian itu memberikan subsidi, Public Service Obligation besarnya sekitar Rp 260 miliar untuk KRL Jabodetabek. Sehingga dari Rp 3.000 dapat subsidi Rp 1.000 dan dari Rp 1.000 per stasiun dapat subsidi Rp 500. Ini merupakan kabar baik karena kalau kita lihat dari segi kebijakan mengapa KRL Jabodetabek dan perkeretaapian di Indonesia kurang berjalan maksimal. Karena ada friksi antara pemerintah dalam hal ini Dirjen KA dengan PT. KAI, antara regulator dan operator. Kita melihat ini merupakan sinyal yang baik, sehingga ya kita harapkan ke depan kereta api porsinya bisa semakin besar. Kalau kita lihat di negara-negara maju orang bepergian tidak naik mobil atau motor tapi naik angkutan massal seperti kereta api, sekarang kita menuju ke arah sana. Pagi ini saya lihat antrian banyak itu mungkin sebagian karena masalah sistem angkutan yang kurang baik tetapi mungkin juga karena animo masyarakat semakin tinggi.