indeks
Kontroversi Usulan Kartu Janda Jakarta: Perlu Kajian Mendalam, Hindari Stigma dan Diskriminasi

“Penggunaan istilah janda dalam nomenklatur sebuah kebijakan publik seperti Kartu Janda Jakarta berpotensi akan memperkuat stigma sosial,” ujarnya

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Google News
janda
Ilustrasi Kartu Janda Jakarta (KJJ) yang diusulkan menjadi bantuan sosial bagi perempuan janda. Foto: Kecerdasan Buatan (AI)

KBR, Jakarta- Kontroversi usulan Anggota Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta Jamilah Abdul Gani terkait program bantuan sosial Kartu Janda Jakarta (KJJ) untuk perlindungan sosial memicu perdebatan luas di kalangan pemangku kepentingan.

Jamilah mengusulkan program ini bisa ditujukan bagi perempuan berstatus janda yang tidak bekerja, berusia 45–60 tahun, dan terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Asisten Deputi Perumusan dan Koordinasi Kebijakan Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Margaret Robin, menilai perlunya kajian mendalam sebelum program seperti KJJ diluncurkan. Sebab, perempuan masuk dalam kelompok rentan dalam persoalan sosial.

“Penggunaan istilah janda dalam nomenklatur sebuah kebijakan publik seperti Kartu Janda Jakarta berpotensi akan memperkuat stigma sosial,” ujar Robin dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (23/7/2025).

Ia menambahkan bahwa istilah Perempuan Kepala Keluarga (PK) lebih netral dan telah digunakan dalam program nasional sejak 2001.

Menurut Robin, pemberian bansos harus bersifat inklusif, tidak diskriminatif, dan tidak menambah beban sosial baru bagi perempuan.

“Praktik diskriminasi dalam penyaluran bansos dapat menimbulkan ketidakadilan sosial dan bertentangan dengan Pancasila. Karena kebijakan harus inklusif dan berbasis kebutuhan, bukan hanya karena dia punya status perkawinan," tuturnya.

Jalan Tengah: Data Akurat dan Kebijakan Responsif Gender

Robin kembali menekankan pentingnya data yang terintegrasi dan kebijakan yang berbasis pengalaman hidup perempuan, bukan status perkawinan.

“DKI Jakarta merupakan jendela utama yang akan menjadi contoh buat provinsi-provinsi lain,” ujarnya. 

Menurutnya, nomenklatur seperti PK bisa menjadi simbol keberpihakan negara terhadap kelompok rentan secara lebih bermartabat dan tidak diskriminatif.

“Perempuan itu sesungguhnya bukan beban, tapi berikanlah akses, partisipasi, kontrol dan manfaat menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," lanjut Robin.

Kritik Terhadap Efektivitas dan Potensi Salah Sasaran

Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Justin Adrian, menyampaikan bahwa usulan KJJ masih dalam tahap awal sebagai bagian dari pandangan umum fraksi dalam proses perubahan APBD 2025. Namun, ia memberikan catatan kritis terkait substansi dan pelaksanaannya.

“Sebenarnya tidak semua hal sesederhana seperti menambah uang di kantong masyarakat DKI sebagai solusi utama,” ujar Justin dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (23/7/2025).

Justin menilai bahwa bansos semacam ini berisiko tidak tepat sasaran, mengingat ketidakakuratan DTKS dan sering dimanipulasi. Ia mencontohkan pengalaman KJP dan KJMU yang kerap disalahgunakan, bahkan “digadaikan” atau digunakan untuk judi online.

“Saya ragu eksekutif kita, para pegawai negeri kita, mampu untuk mengelola data sedemikian banyak," lanjut Justin.

Sebagai alternatif, Justin mengusulkan solusi struktural seperti pendidikan dan transportasi gratis, serta penyediaan lapangan kerja melalui segmentasi seperti PPSU untuk perempuan kepala rumah tangga.

Justin mengingatkan kemiskinan di Jakarta adalah persoalan multidimensi yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan menambah satu jenis bansos.

“Satu masalah ini solusinya tidak bisa satu. Memang muaranya ini karena kemiskinan. Kalau sekarang ada kemiskinan, yang mengalami adalah kelompok perempuan yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Tapi dianggap solusinya semudah memberikan bansos? Saya kira ini jauh dari cukup," tegasnya.

Bansos Harus Inklusif dan Berkelanjutan

Dari perspektif masyarakat sipil, Mareta, Staf Kampanye dari Solidaritas Perempuan (SP), menyampaikan kekhawatiran bahwa KJJ justru bisa memperkuat stigma dan ketimpangan sosial.

“Ketika menggunakan istilah janda, ini hanya akan memperparah stigma yang dihadapi perempuan kepala keluarga,” ujar Mareta dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (23/7/2025).

Mareta menekankan pentingnya melihat perempuan sebagai subjek, bukan objek belas kasihan. Ia mengkritik pendekatan pragmatis yang instan dan tidak berkelanjutan.

“Khawatirnya kalau sejak awal sudah menggunakan label ini, implementasinya itu nggak akan partisipatif. Seakan-akan kasih uang aja, terus selesai," tuturnya.

Soldaritas Perempuan, lanjut Mareta, juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis kebutuhan nyata, seperti penyediaan childcare agar perempuan bisa bekerja, atau bantuan dalam bentuk pelatihan keterampilan, bukan hanya bantuan tunai jangka pendek.

Gubernur Pramono: Aneh-aneh Saja

Menanggapi usulan anggota DPRD DKI terkait kartu janda, Gubernur Jakarta, Pramono Anung, menganggap sebagai sesuatu hal yang aneh. Karena itu, ia enggan banyak merespons lebih jauh soal usulan tersebut.

"Aneh-aneh saja, tidak lah, tidak mau jawab aku," kata Pramono di Balai Kota Jakarta, Rabu (23/7/2025).

Usulan Disampaikan Anggota DPRD Jakarta Fraksi Gerindra

Fraksi Partai Gerindra mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Jakarta meluncurkan program Kartu Janda Jakarta (KJJ) dalam Rapat Paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (21/7/2025).

"Meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempertimbangkan penerbitan program Kartu Janda Jakarta (KJJ)," kata Anggota Fraksi Gerindra Jamilah Abdul Gani dalam Penyampaian Pandangan Umum fraksi-fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perubahan APBD Jakarta Tahun Anggaran 2025.

Menurut dia, gagasan KJJ merupakan aspirasi masyarakat yang disampaikan kepada Fraksi Gerindra saat kegiatan reses.

Jamilah menjelaskan, bahwa program ini ditujukan bagi perempuan berstatus janda yang berusia 45 hingga 60 tahun, yang tidak bekerja, berperan sebagai ibu rumah tangga, ditinggal wafat oleh suami, serta terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

"KJJ diharapkan menjadi instrumen perlindungan sosial yang responsif terhadap kerentanan ekonomi kelompok tersebut," kata Jamilah.

Disambut Fraksi PAN: Ide Menarik

Usulan ini pun mendapat respons dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Anggota DPRD F-PAN DKI Jakarta, Bambang Kusumanto menyebut program tersebut sebagai ide yang menarik.

"Tadi kita dengar ada usulan yang sangat menarik hari ini yaitu usulan tentang Kartu Janda Jakarta," kata Bambang dikutip dari ANTARA.

Secara pribadi, Bambang juga menyatakan dukungannya terhadap usulan tersebut.

Kendati demikian, gagasan ini belum mendapatkan respon dari Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno yang juga hadir dalam kesempatan tersebut.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga:

Soal Janda Kaya Nikahi Pria Pengangguran, Suswono Minta Maaf

janda
Jakarta
Kartu Janda Jakarta
KJJ
diskriminasi
perempuan

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...