KBR68H, Jakarta - Sudhamek Agung, satu dari sedikit pengusaha yang berkonsentrasi menyerukan plurailsme melalui aksi-aksi nyatanya sebagai Ketua Majelis Budhayanan Indonesia.
Penulis: Arin Swandari
Editor:

KBR68H, Jakarta - Sudhamek Agung, satu dari sedikit pengusaha yang berkonsentrasi menyerukan pluralisme melalui aksi-aksi nyatanya sebagai Ketua Majelis Budhayana Indonesia. Kegiatannya mengembangkan toleransi dimulai sejak masih mengomandani Perusahaan Makanan Garuda Food, sampai saat ini. Setelah berhasil menyiapkan generasi baru di perusahaannya, waktu dan energi Sudhamek makin tercurah untuk mengembangkan kebersamaan dalam keberagaman. Kita simak perbincangan Arin Swandari dengan Sudhamek Agung persembahan KBR68H, Tempo TV dan PortalKBR
Ssaat ini Anda sedang sibuk-sibuknya dengan Majelis Buddhayana Indonesia dan mulai tidak terlibat begitu jauh di Garuda Food. Apa yang sekarang Anda lakukan?
Sebetulnya saya memegang Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) ini sudah sepuluh tahun. Pada 13 Desember 2013 ini akan Munas di mana saya akan mengakhiri masa jabatan yang kedua sekaligus yang terakhir.
Setelah itu apa?
Ya sebetulnya mau berkarya di mana saja masih banyak ya. Bahkan saya belum lengser dari MBI ini pun dua proyek sudah menanti, satu akan membangun International Retreat Centers di Kaloran dekat Borobudur sana, satunya lagi saya akan banyak terlibat di pendidikan.
Mau mengajar atau bagaimana?
Bukan mengajar tetapi di MBI ini akan ada program yang utamanya fokus di soal pendidikan dan kita barusan mengadakan workshop hari Senin sampai Rabu kemarin. Di situ dihasilkan keputusan-keputusan jangka panjang dan salah satunya memang fokus di pendidikan dan mereka sudah mengharapkan saya bantu di sana. Bagi saya posisi tidak penting, yang penting pokoknya saya diminta masih bisa kontribusi di mana kalau saya sanggup, ya saya sih happy-happy saja.
Ada pendidikan semacam itu melalui MBI?
Pendidikannya pada akhirnya akan satu full range dari pendidikan formal, non formal sampai informal.
Kkalau di muslim semacam Muhammadiyah begitu?
Iya kalau di Muhammadiyah menekankan aspek pendidikan MBI pada dasarnya seperti itu.
Ruhnya pluralisme dan toleransi?
Jadi MBI ini sebagai organisasi Budhis yang pertama di Indonesia yang menjunjung lima nilai. Pertama adalan non sektarian, kedua adalah inklusivisme, ketiga adalah pluralisme, keempat adalah universalisme, terakhir adalah keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Empat nilai yang pertama itu pada dasarnya adalah non diskriminasi, manifestasinya misalnya dalam bentuk toleransi dan sebagainya. Nilai-nilai ini saya usung bahkan sebelum bergabung di MBI atau kalau dibalik saya mau masuk MBI karena saya tahu mereka mengusung nilai-nilai ini. Makanya sebelum saya bergabung dengan MBI saya bersama-sama dengan Cak Nur, Pak Johan Effendi, Gus Dur dan sebagainya sudah mendirikan ICRP (Indonesia Conference on Religion and Peace) pada tahun 1999.
Kita mengharapkan pendidikan kita juga memasukkan hal-hal seperti itu?
Jadi common platform-nya itu pada dasarnya adalah bicara soal pluralisme, inklusivisme dan sebagainya. Karena memang bukan hanya masih relevan tapi justru sekarang semakin dibutuhkan oleh bangsa kita.
Karena situasi sekarang ya?
Sebetulnya bisa dikatakan situasi sekarang. Bisa juga kita lihatnya masih begitu banyak dan panjang perjalanan yang kita tempuh untuk mencapai apa yang diimpikan the founding fathers kita. Bahkan dalam perjalanan agak tersendat karena reformasi ini, maka perjalanan menuju ke situ agak sedikit melamban. Ini yang harus di redirect sehingga kita harus menuju ke arah yang sudah dicanangkan oleh the founding fathers kita dan beliau-beliau itu tidak pernah salah dalam soal ini.
Anda melihat keberagaman saat ini dicederai kelompok-kelompok tertentu?
Ini zaman reformasi apalagi masih dalam proses demokratisasi, masih sedang mencari bentuk. Bahkan dulu Cak Nur pernah menghibur saya waktu saya menyampaikan kegundahan saya, mau ke mana arah bangsa kita ini kok reformasinya menurut saya berputar-putar. Cak Nur mengatakan, kita harus sadar bahwa Eropa itu memerlukan waktu lebih dari 200 tahun menuju negara-negara demokratis. Demikian juga di Amerika lebih dari 150 tahun. Saya bilang tetapi contoh masa lalu menurut saya tidak harus menjadi tren masa depan karena sekarang perubahan demikian pesat karena berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga menurut saya soal waktu tidak harus berbicara sampai ratusan tahun, bahkan lebih dari 50 tahun saja sudah terlalu panjang. Kita harus bisa, bangsa kita menjadi lebih cerdas. Betul bahwa semua butuh proses tetapi tidak harus kemudian kita biarkan arahnya menjadi semakin tidak jelas.
Selama ini kelompok-kelompok itu membabi buta melakukan serangan atau aksi kekerasan. Pernah menyentuh MBI?
Tidak. Karena barangkali agama Budha ini minoritas dan kecil. Sehingga kita juga tidak mengusung misi yang sifatnya terlalu misionaris, jadi mungkin kami dianggap bukan ancaman. Dan kita banyak aktif dalam melakukan kegiatan yang sifatnya pluralism in action, bukan hanya dialog.
Seperti apa aksinya itu?
Satu contoh ya anda tidak pernah membayangkan pada waktu kita berbicara kegiatan donor darah, itu sebetulnya bisa kita warnai dengan nilai-nilai pluralisme.
Bahwa setetes darah kita ini bisa untuk semua orang dan kita bisa menerima setetes darah tanpa melihat agama, ras?
Tanpa melihat agama dan latar belakang primordial apapun. Bagi penerimanya juga tidak pernah bertanya darah ini dari siapa, agamanya apa, asalnya dari mana. Itu kalau kita sadari sebetulnya mempromosikan pluralisme in action, bukan dalam bentuk dialog. Dialog perlu tetapi menurut saya tidak menyelesaikan (masalah).
Anda punya dua kegiatan yang sudah menunggu, salah satunya International Retreat Centers di Borobudur. Ada apa di sana?
International Retreat Centers yang mau kita bangun di Borobudur ini nantinya akan mempunyai tiga fungsi utama. Pertama adalah menyentuh pendidikan vocational dengan tujuan bisa membekali masyarakat di sekeliling sana untuk ditingkatkan keterampilannya dalam bidang-bidang tertentu yang bisa digunakan untuk perbaiki kehidupan ekonominya. Kedua pendidikan yang sifatnya dasar, karena masyarakatnya bahkan ada yang masih buta huruf. Ketiga kita akan mem-promote suatu metode baru yang barangkali ini relevan bahkan terlepas dari latar belakang agamanya apa. Kegiatan yang ketiga ini adalah bagaimana melatih kita untuk kembali.
Siapa yang akan dilatih?
Tentunya mereka yang merasa tertarik dengan metode pelatihan ini, tanpa melihat latar belakang agamanya. Kami sangat terbuka, silahkan dan sama sekali tidak ada niatan untuk bersentuhan dengan soal agama apalagi mengkonversi seseorang, sama sekali tidak ada. Kita hanya melatih mereka supaya mereka hidup berkesadaran.
Di Borobudur sana akan ada lembaga pendidikan?
Iya termasuk di International Retret Centers ini ada lembaga pendidikan nantinya.
Untuk pemberdayaan masyarakatnya apa yang akan dilakukan?
Vocational training itu akan membekali mereka dengan keterampilan yang bisa dipakai untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka.
Anda sendiri atau bergerak sama tokoh lain?
Ini tentunya melibatkan banyak pihak, saya salah satu promotornya tetapi tentunya melibatkan banyak pihak.
Itu gratis atau bagaimana?
Kalau pendidikannya ini pada dasarnya gratis. Tapi kalau yang kegiatan retreat sendiri kita ada semacam subsidi silang dalam bentuk yang mampu diberikan tarif, yang tidak mampu (bayar) sukarela, termasuk sampai tidak membayar.
Jadi setelah ini Anda tetap sibuk ya?
Saya kira begitu karena saya ini sudah terlanjur diberikan predikat tukang bikin orang sibuk. Sehingga kalau saya tukang bikin orang sibuk saya sendiri tentunya akan jadi sibuk.
Apakah ini bagian dari cara Anda membuat atau merumuskan konsep leadership?
Ssaya ini menganut filosofi Jawa yang mengatakan urip iku urup. Hidup itu harus bermakna bagi banyak orang lain, sukses itu baru satu hal tapi menjadi bermakna itu persoalan berikutnya lagi, beyond success. Bagi saya kebahagiaan itu kita temukan pada saat bermakna bagi orang lain. Ini adalah persoalan sama juga dengan leadership tetapi yang tentunya tidak terlepas dari filosofi kehidupan kita.
Leadership salah satunya adalah regenerasi dan Anda sukses melakukan itu. Apa yang penting dalam sebuah regenerasi?
Salah satu fungsi seorang pemimpin yang sangat penting, strategis, tapi seringkali justru tidak disebutkan, adalah harus bisa menyiapkan pemimpin berikutnya. Ini yang harus diemban dan saya di dua tempat, baik di kehidupan bisnis di Garuda Food maupun di MBI ini, dua-duanya sudah kami siapkan jauh-jauh hari. Mempersiapkan pemimpin pengganti tidak boleh dengan hanya menggunakan feeling, landasannya dalam kerangka sebuah sistem. Jadi succession management itu harus diletakkan dalam sebuah sistem. Misalnya kita punya posisi katakanlah direktur produksi, kalau dia mundur kita harus tahu siapa yang kira-kira paling siap menggantikan. Ada replacement table charge-nya dan ini sifatnya confidential, dikelola staff management, tidak dikonsumsi secara terbuka. Kita tahu siapa yang paling siap dan nomor dua siapa. Bisa saja nomor dua yang jalan duluan karena nomor satu mungkin karena ada suatu hal yang membuat dia tidak bisa menggantikan seketika. Jadi harus by the system tetapi juga harus di-manage by design oleh pemimpinnya. Karena pemimpin harus sadar, bahwa dia tidak bisa memimpin selamanya, sooner or later dia harus diganti dan harus disiapkan. Tidak boleh terjadinya by accident, apalagi kalau seperti di kehidupan negara kita penuh dengan kejutan. Kita dalam hal ini belajar dari Cina, dari Jepang itu talents full management mereka sudah diisi dengan potensial leaders yang nanti pada waktunya siap diorbitkan.
Di tempat yang baru saja Anda tinggalkan yang duduk sekarang bukan putra Anda. Ini juga bagian dari prinsip-prinsip itu?
Iya tadi by system itu akan menyebabkan warna pribadi perorangan menjadi sangat minimal sekali. Karena pada saat kita succession program dilakukan by system maka di situlah terjadi yang akan naik adalah yang terbaik di organisasi tersebut.
Atau mengajari putra-putrinya membuat sesuatu dari bawah dan besar dengan hasil kerjanya sendiri?
Saya ini menyadari dari awal bahwa perusahaan ini bukan milik saya sendiri. Jadi saya tidak pernah berpikir untuk menjadikan anak saya sebagai putra pangeran, sama sekali saya tidak pernah berpikir ke situ. Saya selalu berpikir ini adalah primus inter pares yang terbaik di antara yang ada. Sehingga let the system itu run, kalau sistemnya jalan ya akan terpilih siapa yang seharusnya terpilih. Kalau anak, saya bisa mentoring dia untuk membuat mainannya sendiri, dia akan menemukan kepuasan tersendiri dan dia tidak harus selalu berada di bawah bayang-bayang seniornya apalagi ayahnya.
Setelah ini berarti kehidupan Anda pure ke sosial ya?
Tidak juga.
Artinya tidak mau bisnis-bisnis lagi begitu?
Masih. Saya sekarang ini dampingi anak, masih mentoring dia, berarti bicara hal-hal yang strategis saya masih mewarnai. Karena dia masih sangat muda, masih harus saya kawal. Sama seperti di grup pun sampai hari ini saya sebagai chairman, begitu bicara yang sifatnya long term strategy saya masih mewarnai. Jadi bisnis itu ada yang urusannya strategi, ada yang sifatnya policy jangka panjang, ada yang sifatnya operasional. Kkalau di operasional saya tidak sanggup.
Editor: Doddy Rosadi