indeks
Cerita Nenek Eks Tapol yang Baru Merasakan KTP Bebas Diskriminasi

KBR, Jakarta

Penulis: Sefiana Putri Tingginehe

Editor:

Google News
Cerita Nenek Eks Tapol yang Baru Merasakan KTP Bebas Diskriminasi
ham, kamisan

KBR, Jakarta – Di antara belasan orang yang ikut aksi penuntutan pelanggaran HAM masa lalu atau Kamisan di depan Istana Merdeka, Kamis (26/6) sore, terselip nenek renta. Dia mengenakan batik cokelat.


Sri Sulistiawati, itu namanya. Nenek berambut putih berusia 74 tahun itu adalah bekas tahanan politik. Ibu 3 anak itu adalah korban tragedi 1965. Sri Sulistiawati merupakan salah satu orang yang ditahan tanpa diadili selama 11,5 tahun di Bukit Duri. 


Bercerita kepada KBR, ia masih menuntut dan mengharapkan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi terhadap dirinya sebagai korban tragedi 1965. Masih teringat jelas apa yang dia alami.


“Ibu ditangkap itu 1 Oktober, dan ibu nggak diadili, karena ibu nggak bersalah ya nggak bisa diadili. Orang mereka nggak ada fakta. Ibu itu ditangkap karena ibu BPS, Badan Pembela Soekarno,” ceritanya.


Tekanan dan kesakitan yang dirasakan oleh Sri selama masa penahanan ternyata masih terus membekas sampai saat ini. Ia masih merasakan pandangan sinis dari orang-orang di lingkungan sekitarnya karena adanya stigma negatif yang terbentuk dari status yang dicapkan padanya. 


Bahkan di KTP-nya tertera sebuah kode khusus, yaitu 09. Itu artinya bahwa dirinya adalah seorang ET atau Eks Tahanan Politik. Hal ini membuat Sri sering mengalami kesulitan ketika mengurus administrasi di lembaga pemerintah atau bank pemerintah. 


Bukan hanya itu, namanya juga tidak bisa masuk ke dalam struktur suatu perusahaan atau yayasan karena akan mempengaruhi nama perusahaan tersebut.


“Saya dulu setelah bebas diajak bekerja di yayasan tapi saya sadar diri nggak mau masukin nama saya ke dalam struktur, saya hanya sebagai penasihat saja. Nanti takut perusahaan dipersulit,” 


Sri juga pernah merasakan dipersulit saat akan mengambil uang tabungannya sendiri oleh salah satu bank pemerintah. Padahal saat itu ia membutuhkan segera untuk pembayaran uang muka di Rumah Sakit. 


Cap ET itu baru hilang dari KTP-nya sekitar 3 tahun yang lalu. Ketika ia menggantinya dengan KTP seumur hidup. Namun, cap dari masyarakat masih sering ia rasakan terutama di lingkungan rumah lamanya di Kemayoran, Jakarta. 


“Lingkungan RT saya dulu itu mempersulit untuk ngurus dokumen-dokumen. Bahkan dulu rumah saya itu cuma rumah saya ditulisi ‘Bersih Lingkungan’. Saya dianggap sampah,” jelas dia. 


Sri Sulistiawati saat ini tinggal di Tambun, Bekasi bersama ketiga anak laki-lakinya. Ketiga anaknya ini sama sekali tidak menerima dampak dari status yang dicapkan kepadanya. Sebab ketiganya sudah resmi diadopsi oleh adiknya saat ia masuk tahanan. 


Meskipun begitu ia tetap menuntut pemerintah untuk mau mendengarkan jeritan orang-orang yang bernasib sama seperti dirinya. Ia sangat berharap besar pada pemimpin selanjutnya agar mau peduli dan mendengarkan rakyat. 


“Presiden ke depan harus yang punya hati nurani, damai, dan sejahtera. Dari rakyat untuk rakyat, bukan dari pembunuh untuk rakyat, rakyat nanti ngomong sedikit dibunuh diculik,” tutupnya. 


Editor: Pebriansyah Ariefana

ham
kamisan

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...