Tak masuk akal bila berita yang dianggap mengkritik termasuk merintangi proses hukum.
Penulis: Ardhi Ridwansyah
Editor: Sindu

KBR, Jakarta– Pemberitaan oleh media yang berisi kritik terhadap kinerja lembaga bukanlah pidana. Penegasan ini disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Mustafa Layong menyikapi penangkapan dan penersangkaan insan pers oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Insan pers yang dimaksud adalah Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar. Tian ditangkap dan ditetapkan tersangka Kejagung dalam kasus dugaan perintangan penyidikan maupun penuntutan (obstruction of justice) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selain Tian, Kejagung juga menetapkan Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) selaku advokat, dalam perkara yang sama.
Mereka diduga merintangi proses hukum terkait kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, dan perkara tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula.
Menurut Mustafa, tak masuk akal bila berita yang dianggap mengkritik termasuk merintangi proses hukum.
“Apalagi wawancara atau meliput diskusi atau demo, tidak masuk akal semua berita yang mengkritik dianggap obstruction of justice,” ucapnya.
Kata dia, jika ada berita yang mengkritik proses penyidikan atau ditujukan kepada instansi dan tidak disertakan ruang membela diri atau konfirmasi sebagai cover both side, maka itu persoalan etik, bukan pidana.
“Haruslah diadukan ke Dewan Pers, bahkan Kejagung harus menghormati UU Pers dan menempuh upaya Hak Jawab kepada JAK TV atau ke Dewan Pers,” tuturnya.
Beda
Kejagung, menurutnya, mesti bisa membedakan antara pidana karena menerima suap atau uang hasil korupsi dan karya jurnalistik.
“Berita itu bukan tindak pidana melainkan bentuk perwujudan kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi yang sah, dan jika ada sengketa pemberitaan adalah ranah Dewan Pers untuk menilai dan mengupayakan penyelesaian,” terangnya.
“Sementara terkait suap atau turut serta, itulah yang harus dibuktikan oleh penyidik, bukan menyerang berita yang diterbitkan, karena untuk menilai berita itu kewenangan Dewan Pers,” imbuhnya.
Itu sebab, Direktur Eksekutif LBH Pers Mustafa Layong menyayangkan proses penangkapan dan penersangkaan insan pers oleh Kejagung tanpa melalui mekanisme Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan koordinasi dengan Dewan Pers.
"Ini adalah logika sesat menganggap berita sebagai pidana dan khususnya dapat dikualifikasi sebagai bentuk perintangan penyidikan karena mengganggu konsentrasi penyidik," ujarnya.
Kata dia, bila memakai narasi Kejagung, jika ada media mengkritik proses penyidikan bisa saja dituduh merintangi proses hukum (obstruction of justice).
“Selama proses peliputan dilakukan dengan standar jurnalistik, melakukan wawancara dengan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, atau ada data, peristiwa, atau literasi yang mendukung, maka itu sah,” jelasnya kepada KBR, Selasa, (22/4/2025).

Preseden
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Erick Tanjung menilai penangkapan dan penersangkaan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar mestinya didahului dengan melibatkan Dewan Pers.
"Apakah berita itu melanggar kode etik atau tidak ini kewenangannya ada di Dewan Pers, itu diatur dalam UU pers, ya," kata Erick.
Erick bilang, Kejagung tak bisa serta merta menjadikan berita sebagai bukti dugaan merintangi proses hukum sebelum mendapat hasil pemeriksaan berita oleh Dewan Pers.
“Kalau dalam hasil pemeriksaan oleh Dewan Pers berita itu melanggar Kode Etik Jurnalistik dan bukan karya jurnalistik karena ada niat buruk, sebab di Kode Etik Jurnalistik itu diatur karya jurnalistik tidak beritikad buruk. Kalau ada itikad buruk itu bukan karya jurnalistik,” ucapnya kepada KBR, Selasa, (22/4/2025).
Kata dia, bila Dewan Pers memutuskan berita tersebut bukan produk jurnalistik maka bisa diproses hukum lebih lanjut.
“Jika memang ada bukti yang diterima adalah bukti uang yang menguntungkan si tersangka direktur pemberitaan JAK TV ini, gunakan norma hukum (terkait) suapnya, jadi dijeratnya sebagai penerima suap yang menerima keuntungan secara pribadi,” tuturnya.
AJI Indonesia khawatir bila berita dijadikan alat bukti dalam kasus merintangi hukum, maka ini dapat jadi ancaman kebebasan pers.
“Jangan sampai ini menjadi preseden buruk ke depan media dan jurnalis menjadi takut untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai atau merugikan masyarakat,” tuturnya.
Menyudutkan Kejagung?
Merespons penangkapan dan penersangkaan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, Kejagung dan Dewan Pers menggelar konferensi pers di Kantor Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Selasa, (22/4/2025).
Dalam konferensi pers tersebut, Kejaksaan Agung dan Dewan Pers sepakat menjalankan tugasnya masing-masing. Yakni, Kejagung bakal mengusut lebih lanjut terkait tindak pidananya, sedangkan Dewan Pers akan memeriksa pemberitaan yang diduga menyudutkan kejaksaan.
Juru bicara Kejagung, Harli Siregar mengatakan telah menjelaskan ke Dewan Pers soal apa yang mereka lakukan. Yakni, menyangkut perbuatan pribadi Tian Bahtiar, dan tidak terkait pemberitaan dan medianya.
“Karena kita tidak antikritik, bahkan teman-teman media tahu bagaimana sejak saya menjadi kapuspen di sini. Tetapi yang dipersoalkan adalah tindak pidana permufakatan jahatnya sehingga melakukan perintangan terhadap proses hukum yang sedang berjalan, ada rekayasa di sini,” tuturnya.

Respons Dewan Pers
Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Dia mempersilakan Kejagung mengusut lebih lanjut bila sudah ada bukti yang cukup terkait tindak pidananya.
Namun, Ninik menjelaskan soal pemberitaan menjadi ranah Dewan Pers untuk menilai apakah sudah sesuai parameter Kode Etik Jurnalistik atau tidak.
“Kami Dewan Pers tentu akan menilai dua hal, yang pertama soal pemberitaannya apakah ada pelanggaran terhadap kode etik, Pasal 3 (Kode Etik Jurnalistik) cover both side atau tidak, ada proses uji akurasi dan lain-lain,” jelasnya.
“Yang kedua menilai perilaku dari wartawan apakah ada tindakan-tindakan yang melanggar kode etik sebagai wartawan dalam menjalankan profesionalisme kerjanya, karena pers itu memerlukan dua hal yang harus saling berjalan seiring, perusahaan persnya harus profesional, jurnalisnya juga harus profesional,” imbuhnya.
Ninik mengatakan Dewan Pers tidak akan cawe-cawe dalam perkara tindak pidana yang bersangkutan.
“Tetapi terkait pemberitaan untuk menilai apakah sebuah pemberitaan itu termasuk karya jurnalistik ini adalah kewenangan etik dan yang melakukan penilaian adalah Dewan Pers sebagaimana diatur di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” ujarnya.
Direktur JAK TV Ditangkap
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan perintangan penyidikan maupun penuntutan (obstruction of justice) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ketiga tersangka baru yang ditetapkan Kejagung yakni Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) selaku advokat, dan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB).
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar mengatakan, ketiga tersangka merintangi proses hukum terkait kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk dan perkara tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula.
Merintangi proses hukum yang dimaksud Abdul Qohar ialah, ketiga tersangka diduga bersepakat menyudutkan institusi yang sedang menangani dua kasus korupsi tersebut.
“Terdapat pemufakatan jahat antara tersangka MS, tersangka JS bersama-sama dengan tersangka TB selaku direktur pemberitaan JAK TV untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk dan perkara tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula, baik dalam penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di persidangan,” ucap Harli melalui keterangan, Selasa, (22/4/2025).
Penilaian Negatif
Abdul Qohar menyebut. Marcella dan Junaedi membayar Tian Rp478,5 juta untuk membuat berita dan konten negatif yang menyudutkan kejaksaan terkait penanganan perkara tersebut baik di penyidikan, penuntutan maupun di persidangan.
Kata Qohar, uang yang diterima Tian itu dalam kapasitasnya sebagai pribadi bukan sebagai direktur pemberitaan JAK TV. Sebab, tak ada kontrak tertulis dengan perusahaan.
“Lalu tersangka TB memublikasikannya di media sosial, media online dan JAK TV news sehingga kejaksaan dinilai negatif, dan telah merugikan hak-hak para tersangka/terdakwa yang ditangani oleh tersangka MS dan tersangka JS selaku penasihat hukum tersangka/terdakwa,” katanya.
Marcella merupakan pengacara dari kasus timah dengan terdakwa Harvey Moeis, sedangkan Junaedi pengacara perkara importasi gula terdakwa Tom Lembong.
Kata dia, Junaedi membuat narasi dan opini positif bagi timnya termasuk tim Marcella. Narasi positif yang dimaksud dengan cara menyoroti metodologi perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan Kejagung dalam perkara tersebut adalah tidak benar dan menyesatkan.
“Kemudian tersangka TB menuangkannya dalam berita di sejumlah media sosial dan media online,” tuturnya.
Marcella dan Junaedi juga disebut membiayai demonstrasi-demonstrasi dalam upaya untuk menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara.
“Tersangka TB kemudian memublikasikan narasi-narasi demonstrasi tersebut secara negatif dalam berita-berita tentang Kejaksaan,” ungkapnya.

Memengaruhi Perkara?
Keduanya juga diduga menyelenggarakan dan membiayai kegiatan seminar-seminar, podcast dan talkshow di beberapa media online dengan mengarahkan narasi-narasi yang negatif dalam pemberitaan untuk memengaruhi pembuktian perkara di persidangan.
“Kemudian diliput oleh tersangka TB dan disiarkannya melalui JAK TV dan akun-akun official JAK TV,” jelasnya.
Kejagung menyebut Tian Bahtiar memproduksi acara TV show melalui dialog, talkshow, dan diskusi panel di beberapa kampus yang diliput JAK TV.
“Tindakan yang dilakukan oleh tersangka MS (Marcella Santoso), tersangka JS (Junaedi Saibih) dan tersangka TB (Tian Bahtiar) bermaksud untuk membentuk opini publik dengan berita negatif yang menyudutkan kejaksaan maupun jampidsus dalam penanganan perkara a quo, baik saat penyidikan maupun di persidangan sehingga kejaksaan dinilai negatif oleh masyarakat dan perkaranya tidak lanjut ataupun tidak terbukti di persidangan,” ujarnya.
Barang Bukti
Dalam kasus ini penyidik telah menyita sejumlah barang bukti:
Dokumen kebutuhan gerakan sosial, lembaga survei, seminar nasional, penciptaan narasi publik, dan pemimpin pendapat penting tentang penanganan kasus tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk serta kasus importasi gula oleh Kejaksaan dengan biaya sebesar Rp2.412.000.000;
- Sebuah faktur pembayaran senilai 153.500.000.
- Empat belas artikel berita membahas alasan impor gula yang belum selesai;
- 18 berita topik dengan tanggapan Jamin Ginting;
- 10 berita yang berkaitan dengan Ronald Loblobly;
- 15 artikel berita dengan komentar Dian Puji dan Prof. Romli;
Periode 14 Maret 2025
Invoice tagihan Rp20.000.000 untuk pembayaran pemberitaan di sembilan media mainstream dan umum, monitoring media, dan konten di Jakarta, 4 Juni 2024;
Dokumen kampanye didistribusikan melalui podcast dan media streaming;
kompilasi berita negatif tentang Kejaksaan yang ditemukan dalam 24 media online; hasil pemberitaan Tian Bahtiar kepada tersangka MS;
Dokumen yang diunggah di platform media sosial Instagram, Tiktok, dan YouTube menunjukkan penanganan kasus importasi gula oleh Kejaksaan serta kasus tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk;
Laporan pemantauan media dan analisis korupsi PT Timah Tbk dari 25 hingga 30 April 2024;
Rekap konten dan komentar di platform Instagram yang berkaitan dengan penanganan kasus importasi gula oleh Kejaksaan dan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk;
Laporan sosial media di Instagram tentang penanganan kasus tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk serta kasus importasi gula oleh Kejaksaan;
Media monitoring berita IPW pada 3 Juni 2024; dokumentasi skema pemerasan dan pencucian uang JAM PIDSUS.
Ada 12 saksi diperiksa dalam perkara ini, antara lain JS selaku Mitra Justicia kuasa hukum minyak goreng, MBHA selaku head corporate legal PT Wilmar, dan SMR selaku direktur operasional JAK TV.
Pasal yang Dikenakan
Atas perbuatannya, Marcella, Junaedi, dan Tian Bahtiar disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Junaedi dan Tian Bahtiar ditahan selama 20 hari pertama di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung, sejak 21 April 2025.
Sementara Marcella tidak ditahan dalam kasus ini karena sedang menjalani penahanan di kasus dugaan suap dan atau gratifikasi di balik putusan lepas tiga korporasi perkara CPO.
Baca juga: