indeks
Ambisi Trump Usai Kesepakatan Tarif Berlanjut, Ini Bahaya Tersembunyi Transfer Data RI ke Amerika

“Dalam negosiasi itu biasanya ada istilah the devil is in the detail. Itu yang nantinya harus dibahas," jelasnya.

Penulis: Naomi Lyandra, Shafira Aurel

Editor: Resky Novianto

Google News
antara
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. ANTARA FOTO/Reuters

KBR, Jakarta- Polemik mengenai rencana transfer data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat kembali memanas setelah publik mengetahui bahwa isu ini masuk dalam kerangka kesepakatan penurunan tarif resiprokal bea masuk produk impor Indonesia ke AS dari 32 persen menjadi 19 persen. 

Meski masih berupa joint statement, kekhawatiran publik soal kedaulatan data digital dan potensi kebocoran informasi sensitif tak bisa diabaikan. Publik juga menanti langkah tegas pemerintah dalam menyikapi proses negosiasi ini.

ICT Institute: Kita Tidak Bisa Memberi "Cek Kosong"

Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT), Heru Sutadi menekankan pentingnya kehati-hatian dalam isu transfer data. Ia menegaskan bahwa data pribadi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara.

“Semangat dari Undang-Undang PDP itu ini nggak bisa kita ngasih cek kosong. Ketika ada pihak lain meminta data pribadi melalui pengendali data tentu harus dilihat ini data siapa yang diambil, data apa saja yang diambil, data itu digunakan untuk apa, berapa lama, dan yang paling utama adalah persetujuan,” ujarnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (25/7/2025).

Heru juga mengkritisi bahwa Amerika Serikat belum memiliki regulasi federal yang setara dengan paket General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa. 

Paket regulasi yang disahkan Uni Eropa tahun 2016 itu telah mempengaruhi sejumlah kebijakan perlindungan data pribadi di seluruh dunia. Regulasi khusus ini pun menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan RUU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia.

“Kalau kita melihat kan di Amerika ini kan belum ada undang-undang yang memang secara spesifik mengatur seperti GDPR atau UU PDP. Ada di California, tapi itu terbatas," lanjutnya.

red
Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT), Heru Sutadi. Foto: Youtube KBR Media

Menurut Heru, tanpa kejelasan regulasi, Indonesia bisa menjadi “rumah kaca” yang seluruh aktivitas ekonominya bisa dipantau oleh pihak luar.

“Jangan sampai kemudian Indonesia ini menjadi seperti rumah kaca. Negara lain bisa melihat Indonesia ini lagi apa, warga negara sakit apa, bahkan presiden sakit apa. Kemudian kekayaan anggota DPR seperti apa ini akan bisa terbuka gitu,” ujar Heru.

Hikmahanto: “Ini Baru Joint Statement, Bukan Perjanjian Final”

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana memperingatkan agar publik dan pemerintah tidak terburu-buru menyimpulkan bahwa kesepakatan soal data ini sudah final.

“Yang kita harus pahami bahwa ini belum sampai pada suatu kesepakatan. Jadi yang dikeluarkan itu adalah Joint Statement on Framework for United States Indonesia Agreement on Reciprocal Trade,” ujarnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (25/7/2025).

Hikmahanto menjelaskan bahwa transfer data pribadi di sini lebih kepada kepentingan perdagangan digital. Dia memperkirakan transfer data yang terjadi bukan seluruh data penduduk melainkan kepentingan data masyarakat yang dipakai seperti Netflix, Spotify, dan layanan serupa, 

“Artinya bukan personal data yang secara keseluruhan, yang tiap perusahaan sekarang ini punya kewajiban untuk melindungi, lalu kemudian mana yang boleh dikeluarkan untuk umum, mana yang tidak boleh. Bukan itu. Jadi ini kaitannya dengan permasalahan trade," jelas Hikmahanto.

Namun, ia mengingatkan bahwa detail kesepakatan bisa menjadi jebakan jika tidak dicermati dengan teliti.

“Dalam negosiasi itu biasanya ada istilah the devil is in the detail. Itu yang nantinya harus dibahas," jelasnya.

red
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana. Foto: Youtube KBR Media

Kekhawatiran Terhadap “Penunggang Isu”

Hikmahanto dan Heru Sutadi mencurigai bahwa isu transfer data ini ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan bisnis mereka.

“Kita khawatir juga bahwa ini kadang-kadang kan ada penunggang. Tadi katanya transfer data komersial, tapi tulisannya transfer personal data. Itu kan jadi catatan juga,” ujar Heru.

Hikmahanto juga mengkritik pendekatan Amerika yang membawa daftar panjang isu perdagangan digital, termasuk pembajakan dan akses data, dalam momen negosiasi ini.

“USTR itu United States Trade Representative. Nah USTR ini, dia punya banyak list of issues. List dari isu-isu dengan Indonesia. Misalnya pembajakan di Indonesia ini itu, segala macam-macam," tegasnya.

"Jadi waktu Trump bilang Indonesia kena 32 persen, kita bilang turunin, USTR ikut masuk. Kurang ajar sebenarnya,” imbuhnya blak-blakan.

Data Is the "New Oil", Kita Jangan Rugi Dua Kali

Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT), Heru Sutadi menggarisbawahi pentingnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebagai perlindungan utama dalam setiap proses transfer data, apalagi aturan pelaksanaannya belum sepenuhnya siap.

“Undang-undang PDP itu juga masih membutuhkan aturan turunan. PP nya belum ada, lembaga pelindungan data pribadinya juga belum ada, sehingga bagaimana kita kemudian melakukan negosiasi terkait dengan transfer data pribadi, sementara aturan di dalam negerinya juga belum diperkuat. 

"Jadi memang ini merupakan momentum juga, agar tidak kemudian data pribadi masyarakat Indonesia secara cuma-cuma diberikan pada negara lain," jelas Heru.

Heru menekankan bahwa jika Indonesia terlalu banyak memberi konsesi, termasuk data, demi penurunan tarif yang juga diterima negara lain seperti Filipina, maka hal itu bisa jadi kerugian besar.

“Jangan sampai kita dapat 19 persen, kemudian kita juga kehilangan new currency, new oil yang nilainya mungkin priceless.”

red
Foto: AI Generated/flatart.freepik.com

Pilih Negosiator yang Cerdik, Bukan Sekadar ‘Yes-Man’

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengingatkan pemerintah agar mengirimkan negosiator berpengalaman dan paham seluk-beluk hukum internasional, bukan sekadar orang yang mudah menyetujui.

“Jangan kemampuannya cuma, Yes, yes, yes. Very good, very good. Yang penting cepat tanda tangan. Nah kalau udah kayak gitu selesai urasanya. Dia harus yang pandai itu. Lalu kemudian betul-betul melihat kondisi di Indonesia seperti apa itu yang perlu direfleksikan," ujar Hikmahanto.

Hikmahanto bahkan menyarankan agar suara masyarakat—termasuk dirinya sebagai akademisi—dipakai sebagai argumen dalam negosiasi.

“Saya tidak mau dijadikan oposisi, tetapi dijadikan alat menyampaikan ke pemerintah Amerika Serikat bahwa 270 juta rakyat itu tidak bodoh semua," lanjutnya.

Hikmahanto juga mengatakan betapa pentingnya keterbukaan pemerintah terhadap rakyat sebelum keputusan akhir diambil.

“Saya minta pemerintah harus membuka kepada rakyat sebelum disahkan. Karena apa? Kita harus mengkritisi, rakyat harus mengkritisi. Ini bukan memberikan beban kepada para negosiator, tetapi para negosiator harus benar-benar menyuarakan apa yang menjadi concern dari rakyat kita," tutur Hikmahanto.

"Sehingga tidak nantinya berdampak pada kepemimpinan dari Bapak Presiden, seperti itu," tegasnya.

Transfer Data Pribadi RI ke AS, DPR Ingatkan Pemerintah 

Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan pemerintah untuk dapat memberikan perlindungan data pribadi Warga Negara Indonesia (WNI) atas kesepakatan transfer data antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari kesepakatan tarif impor.

Dia menekankan bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).

"Tentu saja pemerintah harus bisa melindungi terkait dengan data pribadi yang ada bagi Warga Negara Indonesia, yang mana kita sudah mempunyai Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi," kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/7/2025) dikutip dari ANTARA.

red
Ketua DPR RI Puan Maharani (kedua kanan) bersama para Wakil Ketua DPR RI lainnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/7/2025). ANTARA/Melalusa Susthira K

Puan pun meminta pemerintah memberikan penjelasan terkait perlindungan yang diberikan terhadap jenis data pribadi WNI yang ditransfer dalam kesepakatan transfer data antara Indonesia dengan AS tersebut.

"Pemerintah melalui kementeriannya harus bisa menjelaskan hal tersebut, apakah memang data pribadi Warga Negara Indonesia itu sudah terlindungi dan sampai mana batasnya," tuturnya.

Dia lantas melanjutkan, "Bagaimana dengan undang-undang perlindungan data pribadi kita, apakah memang itu benar-benar bisa melindungi data-data yang ada bagi warga negara Indonesia," tegasnya.

Klarifikasi Pemerintah: Tetap Mengacu UU PDP

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan, kesepakatan dalam pertukaran data dengan Amerika Serikat (AS) akan tetap mengacu pada aturan dan kedaulatan hukum nasional, terutama dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Ia menjamin seluruh bentuk pemrosesan data dalam kerja sama ekonomi digital dengan AS hanya akan dilakukan berdasarkan protokol yang disiapkan pemerintah Indonesia.

"Terkait data pribadi, sudah ada regulasinya di Indonesia. Jadi mereka hanya akan ikut protokol yang disiapkan oleh Indonesia, sama seperti protokol yang diberlakukan di Nongsa Digital Park,” kata Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/7/2025) dikutip dari ANTARA.

Airlangga menjelaskan, protokol tersebut tengah difinalisasi sebagai bagian dari komitmen Indonesia-AS dalam perjanjian tarif resiprokal. 

Kesepakatan itu adalah untuk menyusun protokol perlindungan data pribadi lintas negara. Finalisasinya akan memberikan kepastian hukum yang sah bagi tata kelola data pribadi lintas negara.

"Jadi finalisasinya nanti bagaimana ada pijakan hukum yang sah, aman dan terukur untuk tata kelola lalu lintas data pribadi antar negara (cross border)," ujarnya.

red
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan keterangan pers terkait Joint Statement Indonesia-Amerika Serikat di Jakarta, Kamis (24/7/2025). ANTARA/Bayu Saputra

Transfer Data Layanan Digital

Airlangga menegaskan bahwa data yang diproses dalam kerja sama bukan data pemerintah, melainkan data masyarakat yang diunggah saat menggunakan layanan digital seperti email, Google, Bing, platform e-commerce, hingga sistem pembayaran internasional.

"Jadi sebetulnya data ini yang diisi masyarakat sendiri pada saat mereka mengakses program, tidak ada pemerintah mempertukarkan data secara government to government, tapi bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut bisa memperoleh data yang memperoleh consent dari masing-masing pribadi. Jadi tidak ada pertukaran data antar-pemerintah,” katanya.

Lebih lanjut, Airlangga menyebut bahwa selama ini data lintas negara telah digunakan dalam berbagai transaksi digital, seperti penggunaan kartu kredit internasional maupun layanan berbasis komputasi awan (cloud computing). Oleh karena itu, Indonesia menilai pentingnya membangun protokol perlindungan yang kuat.

“Selama ini kita sudah punya praktik pertukaran data saat transaksi pakai Mastercard atau Visa. Tapi semua dilakukan dengan sistem keamanan, seperti verifikasi OTP, KYC (know your customer), dan lainnya,” jelasnya.

Sebagai bentuk kepatuhan terhadap regulasi nasional, Airlangga menyebut ada 12 perusahaan asal AS yang telah membangun pusat data (data center) di Indonesia.

Keberadaan data center ini menjadi bukti bahwa perusahaan asing bersedia memenuhi standar perlindungan data yang ditetapkan Indonesia, termasuk keamanan fisik dan digital.

"Jadi artinya mereka juga sudah comply dengan regulasi yang diminta oleh Indonesia," tuturnya.

Gedung Putih Tekankan Kesepakatan soal Penghapusan Hambatan Perdagangan Digital
 

Melalui laman resminya, Gedung Putih menyatakan bahwa AS dan Indonesia telah menyepakati kerangka kerja untuk merundingkan Agreement on Reciprocal Trade guna memperkuat kerja sama ekonomi.

Salah satu poin utama dalam kesepakatan itu adalah penghapusan hambatan perdagangan digital, termasuk komitmen Indonesia untuk memberikan kepastian terhadap perpindahan data ke AS.

red
Ilustrasi - Gedung Putih, Amerika Serikat. ANTARA/Anadolu/py.


Dalam butir “Removing Barriers for Digital Trade”, disebutkan bahwa Indonesia akan mengakui AS sebagai negara dengan tingkat perlindungan data yang memadai sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, yang mana memungkinkan data pribadi dapat dipindahkan secara lintas batas secara lebih leluasa.

Akademisi: Kaji Ulang Kesepakatan Transfer Data RI ke AS

Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Faris Al Fadath mendorong pemerintah membatalkan kesepakatan transfer data pribadi ke Amerika Serikat (AS). Sebab, jika data warga RI dikelola asing maka berpotensi melanggar Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).

"Kita sudah memiliki aturan loh. Nah ketika data kita dikelola oleh luar maka akan melanggar aturan di internal kita. Data-data pribadi dari penduduk kita itu bukan bahan untuk dikomersilkan. Selain itu, pemerintah sejatinya memiliki tanggung jawab untuk melindungi warganya termasuk soal data. Data itu rentan disalahgunakan," ujar Faris kepada KBR, Jumat (25/7/2025).

Faris juga menyebut transaksi data juga tidak bisa dilakukan secara seramoangan. Transaksi data, kata dia, harus melalui izin dan mekanisme yang jelas, serta pengawasan yang ketat. 

red
Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Faris Al Fadath. Foto: Laman Resmi UMY

Selain itu, Faris juga menegaskan transaksi data penduduk tidak diatur secara legal di dalam hukum internasional.

"Ini kan basisnya kesepakatan. Jadi rasanya pemerintah perlu untuk berpikir ulang bagaimana cara negosiasi yang tepat antar kedua negara. Sehingga kesepakatan ini tidak merugikan Indonesia, meski tarif impornya telah turun 19 persen," tutur Faris.

"Saya menduga permintaan data pribadi ke Amerika ini tidak terlepas dari kepentingan dari para pebisnis Amerika yang ingin mengakses pasar Indonesia secara luas terutama dari sisi ekonomi," imbuhnya.

Faris juga mendesak pemerintah untuk lebih tegas dan mampu keluar dari cengkeraman AS. Ia menilai hasil kesepakatan negosiasi AS-Indonesia tidak ideal dan cenderung menguntungkan salah satu pihak.

"Hasil negosiasi ini tidak ideal ya. Pemerintah harus cari cara lain," tutupnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga:

Prabowo dan Trump Capai Kesepakatan, Mencermati Tantangan dan Peluang Tarif Dagang RI-AS

Dampak ke Pekerja Industri Jika Tarif Impor Trump Berlaku

data pribadi
perlindungan data pribadi
UU PDP
PDP
Amerika Serikat AS
Donald Trump
tarif

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...