KBR68H, Jakarta - Lima orang mahasiswa dan seorang wartawan dari Harian Mata publik tertembak peluru karet saat demo menolak kenaikan harga BBM ricuh di Ternate, Maluku Utara.
Penulis: Doddy Rosadi
Editor:

KBR68H, Jakarta - Lima orang mahasiswa dan seorang wartawan dari Harian Mata publik tertembak peluru karet saat demo menolak kenaikan harga BBM ricuh di Ternate, Maluku Utara. Dua wartawan tertembak di dua lokasi berbeda unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Satu wartawan tertembak di Jambi, dan satu wartawan lain tertembak di Ternate, Maluku Utara. Menurut informasi yang diperoleh AJI, wartawan di Ternate mengalami luka tembak di daerah pinggul dan menjalani operasi akibat luka yang dideritanya. Bagaimana kondisi mereka saat ini? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Arin Swandari dengan Deputi Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Iman Nugroho dalam program Sarapan Pagi
Bagaimana kondisi Anton maupun Roby?
Sampai tadi malam kita terus berkomunikasi dengan kawan-kawan di Ternate dan kawan-kawan di Jambi. Intinya adalah penanganan medis sudah dilakukan karena itu prioritas pertama ketika ada kawan yang tertimpa musibah, kita selamatkan dulu. Sudah membaik, artinya mereka sudah dalam kondisi lebih stabil dari sebelumnya.
Kemarin AJI mengingatkan bahwa kita juga harus memperbaiki diri, mengevaluasi kembali bagaimana cara kita menempatkan diri dalam situasi seperti itu. Apa yang harus kita lakukan?
Kejadian peliputan-peliputan daerah berbahaya semacam ini, demonstrasi, dan sebagainya itu membutuhkan skill tersendiri. Kita tidak bisa melepaskan begitu saja dan tidak aware terhadap hal semacam ini. AJI konsen selalu keluar dan kedalam, diluar peliputan kita selalu ingatkan masyarakat untuk menghormati kerja pers misalnya kepolisian juga harus memahami segala macam. Tapi dari dalam kita ingatkan juga jurnalis harus paham bagaimana situasi yang dihadapi, misalnya di wilayah konflik apa yang harus dilakukan. Kami sadari ya wartawan datang dan pergi, transfer knowledge tentang hal semacam ini tidak selalu berjalan mulus.
Terhadap peristiwa kemarin kemudian apa yang harus dilakukan media untuk keluarnya?
Kita sama-sama menyadari bahwa hal-hal semacam ini tidak diinginkan. Ini persoalan jam terbang juga, kita sama-sama tahu ada wartawan senior yang berulang kali berada di wilayah demonstrasi, meliput di wilayah konflik meliput juga tidak selamat. Semacam ini dia tahu dimana harus misalnya ambil gambar segala macam, dalam keadaan chaos kita harus berdiri di wilayah yang mana.
Termasuk perlindungan diri dengan perlengkapan helm dan sebagainya ya?
Iya. Sebenarnya kalau kita mau fair di Indonesia tidak cukup berbahaya seperti di Afghanistan, Irak dan kita perlu mempersiapkan diri dengan helm, masker. Cuma yang perlu dipahami kawan-kawan jurnalis juga bagaimana kita bisa aman meliput, apakah ketika bentrokan berada di belakang demonstran, di belakang aparat keamanan atau diantaranya. Ini juga perlu sense tersendiri apakah cukup aman berdiri di sini sekarang atau harus merapat ke kiri atau kanan segala macam. Karena kita tahu dimanapun kita berdiri dalam keadaan chaos semacam itu pasti ada resikonya, misalnya kita berada di wilayah demonstran ada resiko untuk terkena tembakan dari aparat keamanan, berdiri di wilayah aparat keamanan kita bisa kena lemparan.
Tentang aparat keamanan sendiri untuk mengevaluasi prosedur semacam ini pasti ada desakan dari AJI ya?
Iya. Kita sebenarnya menginginkan aparat keamanan bisa membedakan, secara fisik pasti bisa membedakan mana demonstran dan mana jurnalis. Kalau misalnya yang berlarian membawa kamera, secara fisik juga terlihat jurnalis ya jangan dijadikan sasaran. Kita juga menginginkan polisi memahami bahwa kita ada di situ dan kalau ada kekerasan, kita bukan untuk mengabadikan aksi kekerasan itu tapi kita ingin menyajikan kepada publik bagaimana sebenarnya peristiwa yang terjadi di sana. Saya yakin tidak ada jurnalis di Indonesia yang ingin memunculkan dramatisasi semacam itu, kita ada di sana untuk menggambarkan kepada publik apa yang sebenarnya terjadi. Semacam ini harusnya dimiliki oleh polisi, karena polisi memahami Undang-undang Pers. Saya lebih misalnya “memahami” kalau kita secara tidak sengaja terkena lemparan dari demonstran karena masyarakat umum tidak memahami. Tapi ketika itu datang dari pihak polisi agak sulit untuk mengerti kenapa.