Dampak dari pemerintah yang dominan tanpa oposisi yang kuat, berpotensi membuka corak pemerintahan yang diktator.
Penulis: Astri Septiani
Editor: Muthia Kusuma

KBR, Jakarta- Kalangan pengamat politik menyoroti kabinet jumbo Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang didukung mayoritas partai politik.
Direktur Eksekutif Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyebut dampak dari pemerintah yang
dominan tanpa oposisi yang kuat, berpotensi membuka corak pemerintahan yang diktator.
Selengkapnya simak wawancara jurnalis KBR Astri Septiani dengan Direktur Eksekutif Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah.
KBR: Terkait dinamika kabinet Prabowo-Gibran bagaimana cermatan anda? Apakah ada peluang bahwa tak ada oposisi? Lalu apa dampaknya?
Dedi Kurnia Syah: "Kita bisa berkaca di 5 tahun atau 10 tahun belakangan bagaimana Joko Widodo mendominasi koalisi di parlemen menjadi bagian dari pemerintah. Munculnya undang-undang yang sebenarnya tidak ada di prolegnas. Pemerintah melakukan klaim atau bahkan mungkin memaksakan kehendak untuk melahirkan produk-produk legislasi yang sebetulnya tidak direncanakan. Dan itu tentu dampaknya tidak baik. Bagaimana ketika pemerintahan itu dominan, corak-corak diktator itu punya potensi akan muncul," kata dia kepada KBR, Kamis (17/10/24).
"Ke depan saya kira pemerintahan Prabowo Subianto punya potensi yang demikian meskipun sekarang ada PDI Perjuangan dan Nasdem yang diketahui belum bergabung begitu ya saya katakan belum karena PDI perjuangan tidak memastikan bahwa mereka akan berada di luar pemerintah, begitu pula dengan Nasdem. Jadi punya potensi ke depan oposisi jelas tidak ada. Di parlemen keseluruhannya hanya akan jadi lembaga untuk melegitimasi keinginan dan kepentingan pemerintah. Keberadaan DPR yang seharusnya berpihak pada kepentingan publik mungkin akan bertukar menjadi kepentingan kekuasaan," sambungnya.
KBR: Seberapa penting oposisi dan seperti apa wujud oposisi ideal yang dibutuhkan untuk mengontrol pemerintah yang berkuasa?
Dedi Kurnia Syah: "Oposisi itu harus dibebankan pada seluruh anggota DPR. Ini adalah kerja pengawasan yang sifatnya kolektif. Opisisi seperti di era SBY saya kira mungkin agak lebih rasional dijadikan contoh bagaimana DPR MPR dipimpin oleh partai politik yang tidak bersama dengan kabinet pada saat itu yaitu PDI perjuangan. Sehingga kalaupun terjadi adanya perselisihan misalnya kekuasaan menginginkan adanya kebijakan pencabutan, pengurangan subsidi misalnya di berbagai bidang, DPR bisa melakukan kontrol dengan dipimpin oleh kelompok yang memang tidak berada di kabinet. 10 tahun terakhir termasuk juga dengan 5 tahun atau bahkan mungkin 2 periode Prabowo ke depan saya rasa tidak akan begitu. Satu sisi kita sudah bisa melihat postur kabinet yang obesitas dan sebagian besarnya diisi oleh relawan politik, partai politik ada di dalamnya, kelompok non kader partai politik pun ternyata punya relasi politik pilpres 2024. Cukup kecil kemungkinan bahwa pemerintahan ke depan berjalan secara berimbang," tambahnya.
Baca juga: