Article Image

INTERMEZZO

Perjuangan Ulama-Ulama Perempuan Banten Hapus Sunat Perempuan

"Banten merupakan provinsi dengan praktik sunat perempuan yang masih tinggi berdasarkan riset Komnas Perempuan 2017"

Jemaah majelis taklim yang diampu Ustazah Sabihah (Umi Obih) di Pandeglang, Banten. Umi Obih rajin mengedukasi soal larangan sunat perempuan. (Foto: KBR/Lea)

KBR, Pandeglang - Mumu ingat dengan momen pengajian Minggu siang, di akhir September 2024. Itu adalah pengajian rutin di Majelis Taklim Annaimah, Kampung Kayu Jati, Pandeglang, Banten, yang biasa ia hadiri.

Namun, ada hal tak biasa, khususnya dari ceramah Ustazah Sabihah, yang menarik perhatiannya.

“Dikasih tahu, kalau punya anak perempuan jangan disunat, oh bahaya sekarang bahaya, sekarang ada peraturan,” kata Mumu.

Ia sontak teringat, cucu perempuannya bakal segera disunat. Selepas pengajian, Mumu bergegas memberitahu putranya, ayah si bayi, agar membatalkan rencana itu.

“Dua bulan (usia cucunya), enggak jadi sunat,” tutur dia.

Selama bertahun-tahun, sunat perempuan memang tradisi di keluarga Mumu dan lingkungan sekitar.

“Ibu (Mumu) juga disunat, semua juga disunat,” celetuknya.

Sabihah atau Umi Obih senang ceramahnya berdampak. Selain Mumu, ada beberapa jemaah lain yang juga mengurungkan niat untuk menyunatkan cucu atau kerabat perempuan mereka.

Obih kian bersemangat menyampaikan bahaya sunat perempuan di forum-forum pengajiannya.

Keberanian itu, ia peroleh sejak mengikuti sosialisasi hasil fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cikande, Serang, Banten, pada 13 - 15 September 2024.

KUPI menyatakan, Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan, yang membahayakan tanpa alasan medis, sebagai tindakan haram.

“Dibahas tentang khitan perempuan secara agama. Berarti dari ulama dan dari ormas, terus ditinjau dari segi kesehatan juga, IBI (Ikatan Bidan Indonesia) ada, dokternya ada. Jadi balance, bahwa secara kesehatan juga tidak sehat, secara agama juga tidak boleh,” kata Obih.

Obih bilang, agama dan budaya memang menjadi pijakan utama praktik sunat atau khitan perempuan di Banten. Selama bergenerasi, masyarakat percaya, perempuan harus disunat untuk mengurangi dorongan seksual.

“Mereka menganggap perempuan harus dikhitan. Karena yang berbicara tokoh agama, tokoh masyarakat, terutama kyai di kampung masing-masing, mereka manut,” tutur dia.

Baca juga: Dakwah Inklusif Melalui Pemberdayaan Pengusaha Mikro Kecil Perempuan

Sabihah (kiri) bersama Mumu, salah satu jemaahnya. Mumu membatalkan rencana menyunat cucu perempuannya, usai mendengar ceramah Sabihah soal bahaya sunat perempuan. (Foto: KBR/Lea)

Obih tambah yakin sunat perempuan mesti disudahi karena membahayakan kesehatan.

“Alat reproduksi berarti ada yang luka, bisa merusak. Itu, kan, akhirnya menyakiti kita sendiri. Bahkan efek dari khitan perempuan itu bisa mengurangi kepuasan (seksual) perempuan,” jelas warga asli Pandeglang, Banten berusia 58 tahun ini.

Obih juga disunat saat masih bocah di rumah sang nenek. Di zaman itu, praktik sunat dilakukan oleh dukun yang biasa disebut paraji.

“Kita (Obih) lagi main, ‘eh pulang dulu, mau dikhitan’ katanya. Pas kencing, sakit memang perih, udah sekali aja perihnya, ya udah cuma meringis aja gitu. Ya karena nurut sama orang tua kita. Perih, perih. perih,” tutur Obih mengenang.

Pengabaian akan berbagai dampak buruk sunat perempuan merupakan bentuk diskriminasi berbasis gender. Obih ingin mengikis hal itu lewat perannya sebagai pendakwah. Saban pekan, ia mengisi pengajian di 10 majelis taklim dengan total ratusan jemaah.

“Untuk mengangkat harkat kaum perempuan, supaya tidak termajinalkan, dan supaya mereka sejahtera lahir batin. Kadang mereka menganggap tabu. Jadi yang dipuaskan laki-laki aja, perempuannya enggak puas (secara seksual), efek dari disunat,” terangnya.

Jemaahnya yang mayoritas para ibu, bisa menerima penjelasan soal bahaya sunat perempuan.

“Sementara ini tidak ada yang menentang, cuma ketawa aja karena hampir semuanya korban khitan. Bahkan ada yang sampai cucunya juga dikhitan. Nah, untuk ke depannya, misalkan punya cucu lagi, janganlah, ‘oh, iya, iya’, karena sudah tahu, jadi ada hikmahnya,” ucap Obih.

Alumni Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur ini sebenarnya sudah tahu soal bahaya sunat perempuan sejak tahun 1990-an. Namun, belum berani ia sampaikan di pengajian, karena tak banyak tokoh agama yang punya pandangan senada.

“Kita enggak berani, jadi cukup saya dan orang-orang terdekat aja, ngobrol-ngobrol gitu. Setelah ikut kemarin pelatihan sosialisasi, nah baru saya terbuka di majelis-majelis taklim,” jelas Obih.

Baca juga: Pupuk Subsidi Langka, Petani Juwiring Tak Lagi Pusing

Hasanah (tengah), ustazah pengelola majelis taklim di Pandeglang, Banten, ikut menolak sunat perempuan sesudah mendapat penjelasan dari sahabatnya Ustazah Obih (kiri). (FOTO: KBR/Lea)

Keberadaan KUPI menguatkannya untuk bersuara lantang.

“Dengan adanya KUPI, saya juga terima kasih dengan teman-teman, saya jadi ‘oh ternyata’. Setelah kita ikut pelatihan oleh KUPI, ‘oh, paham’. Jadi kita berani melangkah, seolah-olah kita ada dalilnya, punya payung hukum, ketika menyampaikan ke masyarakat,” Obih menekankan.

Petinggi Muslimat NU Banten ini lantas menyebarkan hasil fatwa KUPI ke sesama ustazah. Salah satunya, Hasanah, sahabat Obih sejak kecil. Anah, demikian ia biasa dipanggil, awalnya merespons dengan nada protes.

“Tadinya mah saya, ‘informasinya begitu amat’. Dari dulu juga kata saya disunat. Saya pernah protes sama Bu Obih, itu mah kayaknya enggak disetujui, melarang nyunat,” kata Anah.

Saat diberitahu Obih, Anah baru saja menyunatkan cucu perempuannya.

Dulu, ia bahkan mendampingi tiap kali ada keluarganya yang disunat. Termasuk kelima anak perempuannya sendiri.

“Kalau mau khitan, kan, suka rame-rame kumpul kami keluarga. Saya suka megangin (cucu), (kadang suka) ngamuk, (karena) takut, anak kecil, ditemenin, (saya) suka membaca doa, mudah-mudahan selamat,” Anah bercerita.

Anah juga disunat saat berusia lima tahun. Pengalaman itu membekas, karena ia dipaksa.

“Disunat udah gede, saya mah naik-naik ke pohon, takut. Saking harusnya, orang tua dulu, saya naik, ditungguin. Di bawah itu, udah banyak yang bikin kue ini di rumah. Ini mau sunatan, terus saya lari naik, datang parajinan (dukun),” imbuhnya.

Setelah berdiskusi dengan Obih, Anah akhirnya paham dan balik mendukung pelarangan sunat perempuan. Ia juga mulai menyampaikan hal itu ke para jemaahnya.

“Saya menyampaikan sama ibu-ibu, ada sanksinya kalau dilaksanakan. Ada yang protes jemaah, katanya dari dulu juga itu (sunat) dilaksanakan. Katanya orang tua mah jangan ditinggalin. Iya dulu, mah, ada tenaga itunya kata saya, kalau sekarang enggak ada, itu berbahaya, udah yang dulu mah biar yang lalu,” tutur Anah.

Anah tampak optimistis edukasi tentang bahaya sunat perempuan bakal lebih mudah.

Apalagi, pemerintah sudah resmi melarang sunat perempuan sejak akhir Juli 2024 lalu.

Payung hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 yang merupakan aturan pelaksana Undang-Undang Kesehatan. Dengan regulasi ini, tenaga kesehatan bakal diberi sanksi jika melayani sunat perempuan.

“Ini telah ada instruksi, ya atuh jangan. Karena enggak ada yang tukang sunatnya, bidannya pada enggak mau,” kata Anah.

Baca juga: 

Pelarangan Jalsah Ahmadiyah dan Mahalnya Harga Kebebasan Beragama (Bagian 1)

Pelarangan Jalsah Ahmadiyah dan Mahalnya Harga Kebebasan Beragama (Bagian 2)

Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, Iin Ratna Sumirat. (FOTO: KBR/Lea)

Di Banten, upaya penghapusan sunat perempuan juga disuarakan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) di UIN Sultan Maulana Hasanuddin, yang dipimpin Iin Ratna Sumirat.

PSGA merupakan jaringan KUPI yang aktif mengedukasi soal bahaya sunat perempuan.

Lembaga ini juga terlibat dalam sosialisasi hasil fatwa KUPI soal sunat perempuan di Cikande, Serang, pertengahan September 2024.

Sebagai lembaga kajian, PSGA mengedukasi dengan pendekatan berbasis ilmiah. Mereka kerap terjun ke masyarakat dan melakukan riset, untuk mengetahui realita di lapangan.

“Saya pendekatannya ke masyarakat, sosiologis, karena ini, kan, hidup di masyarakat, bukan hanya dalam bahasa hukum, bukan law in book saja, tapi law in action,” kata Iin.

Saat berkunjung ke beberapa wilayah di Banten Juli 2024 lalu, Iin mendapati praktik sunat perempuan masih dijalankan karena mengikuti tradisi leluhur.

Selaku akademisi, Iin memilih metode dialog dengan memberikan beragam sudut pandang tentang sunat perempuan kepada masyarakat. Mulai dari sisi agama, medis, hingga perspektif kesetaraan dan HAM.

“Kekerasan (terhadap) perempuan dan anak itu dialami dari semenjak dia lahir. Kalau perempuan, kan, mereka disunat saat dia lahir, tanpa dia punya daya tolak. Next, kita bawa tim medis, akan ada riset kajian atau sosialisasi dari sisi medisnya. Kemarin, kan, baru dari segi agamanya saja, kajian fikihnya sudah kita bawa, mereka mengatakan itu (penghapusan sunat perempuan) bagian dari perlindungan perempuan,” ucap Iin.

Guna mencegah resistensi, edukasi sunat perempuan atau P2GP tidak dilakukan secara frontal, tetapi diintegrasikan ke dalam tema ketahanan keluarga.

“Ketahanan keluarga itu diawali oleh perempuan, dan diawali juga bagaimana dia aware tentang kesehatan reproduksinya. Supaya masyarakat paham tentang kesehatan reproduksi perempuan, apa dan bagaimana, what's wrong, apa yang salah kalau dilakukan P2GP ini,” jelasnya

Ke depan, Dosen Fakultas Syariah UIN Banten ini akan terus mendalami kajian dari berbagai bidang tentang sunat perempuan. Bekal argumentasi yang kaya akan mempermudah edukasi ke masyarakat.

“Sekarang orang semakin terbuka, harus semakin sering disosialisasikan. Untuk apa dan bagaimana surat perempuan itu, sambil diiringi dengan pemahaman tentang syariat Islamnya seperti apa, manfaatnya, mudharat-nya seperti apa, jangka panjang atau pendeknya seperti apa, fisik nonfisiknya seperti apa,” ujar Iin.

Penulis: Lea Citra

Editor: Ninik Yuniati