SAGA

Menanti Suara Menyejukan (Bagian 2)

Dewan Masjid Indonesia juga sempat menerima keluhan dari masyarakat terkait suara yang dilantangkan pengeras suara masjid. Gagasan pengaturan pengeras masjid sempat disampaikan pula Wakil Presiden Boediono pada 2011 lalu

AUTHOR / Erric Permana

Menanti Suara Menyejukan (Bagian 2)
masjid, pengeras suara, dewan masjid, toleransi, jusuf kalla

Toleransi dan Keteraturan

Dewan Masjid Indonesia menilai peraturan penggunaan pengeras suara  di masjid bertujuan menjaga toleransi antar umat beragama, terang Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla.“ Itu tidak hanya toleran tapi untuk teratur, ini masalahnya dengan agama lain tapi dengan sesama umat islam untuk teratur,” jelasnya.

Salah satu pengurus lembaga tersebut, Imam Adaruhudni menambahkan.“Jumlah masjid yang cukup banyak yah, dengan data ada yang menyebut 1 juta dengan jarak kira-kira antar masjid di perkotaan 200 meter. Yang semuanya pake loudspeaker. Musholla yang kecil dengan masjid yang besar sama-sama menggunakan speaker yang sama.”

Dia menambahkan Dewan Masjid Indonesia juga sempat menerima keluhan dari masyarakat terkait suara yang dilantangkan pengeras suara masjid. Gagasan  pengaturan pengeras masjid  sempat disampaikan pula Wakil Presiden Boediono pada 2011 lalu. Saat itu, ia mengimbau Dewan Masjid Indonesia mengkaji aturan pengeras suara rumah ibadah kaum Muslim tersebut. Boediono sempat mengeluhkan kerasnya suara azan yang  berkumandang.

Ide serupa juga sempat  dilontarkan penulis buku berjudul “Islam TanpaToa”. Penulis  Gheisz Khalifah mengatakan kritik yang disampaikan berdasarkan pengalaman pribadi. “ Awalnya itu saya mengelola Yayasan Ramadhan Lilalamin. Di gedung yayasan itu, di lantai 3 kita mengadakan shalat tarawih, pada saat shalat itu, musholla di belakang toanya keras sekali hingga imam baca apa ceramah apa kita tidak kedengaran.  Nah dari situlah saya buat tulisan di milis, Ramadhan lagi perang toa lagi, dan timbul perdebatan. Mudah-mudahan tulisan ini dibaca para pengurus masjid supaya tahu kalau toa masjid ini bermasalah.”

Dia menilai sebagian masyarakat terganggu dengan suara yang dilantangkan pengeras suara masjid. Namun mereka tak berani menyampaikan keberatannya.“ Di Indonesia umumnya, segala yang berkaitan dengan masjid itu disakralisasi, kalau kita mengkritisi syiar ceramah melalui toa yang berisik itu jadinya anti syiar Islam. Jadi toanya pun jadi sakral, ini yang menyebabkan persoalan-persoalan.”

Langkah Dewan Masjid Indonesia disokong dua ormas Islam terbesar Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Seperti dikatakan Wakil Ketua Lembaga Bahsul Masail PBNU KH Arwani Faisol, “Prinsip dalam muslim itu jelas, speaker keluar mengganggu banyak orang itu tidak baik, bahkan dalam hadits sendiri secara tektual ketika kita membaca Al-Quran mengganggu orang tidur, yang menurut kita orang tidur itu tidak berpahala , baca Al-Quran yang begitu agung saja mengganggu orang lain itu tidak boleh.  Prinsip dalam Islam itu tidak boleh menggangu orang lain, sesama muslim ataupun nonmuslim.”

Sekjen Pengurus  Pusat Mummadiyah,  Abdul Mukti  menambahkan, “ Kalau kita lihat dari sisi sosialnya, tentu setiap aktivitas di tempat ibadah, apapun tempat ibadah itu memang harus memperhatikan linhkungan sekitarnya, ini penting tidak hanya menjaga ketenangan setempat tapi terkait dengan kegiatan agama itu tidak emnimbulkan gangguan atau ketidaknyamanan pada masyarakat.”

Namun, Arwani menyarankan sebaiknya  Dewan Masjid Indonesia membuat imbauan bukan peraturan tertulis.  “ Aturan tidak perlu tapi sifatnya anjuran, anjuran bersifat normatif dan umum, meskipun isinya dakwah tapi tidak menggangu masyarakat sekitar. Dibiasakan untuk tidak terlalu kencang speaker, yah agak pelan cukuplah di dalam kecuali adzan”

Sementara, Abdul Mukti meminta peraturan ini tidak hanya berlaku bagi masjid saja. Namun seluruh rumah ibadah agama lain. “ Regulasi ini juga tidak hanya berlaku bagi kegiatan umat islam saja loh yah, misalnya lonceng gereja juga perlu dibuat aturan jangan setiap saat bunyi kemudian menimbulkan ketidaknyamanan. Jadi aturan ini juga berlaku bagi semuanya menurut saya.”

Tentu saja gagasan Dewan Masjid Indonesia yang berencana kaji penggunaan pengeras suara di masjid  mengundang pro dan kontra. Ketidaksetujuan misalnya datang dari pengurus Masjid Mubarok, Jakarta Utara Suharto,  “Untuk peraturan tidak menggunakan speaker itu semuanya harus pake, kalau dulu gak pake speaker kan wajar. Kalau sekarang kan wajib, karena orang-orang pake speaker ajah gak mau dateng ke masjid. Apalagi kalau gak pake speaker, digebrak-gebrak ajah belum tentu dateng.”

Bahkan, kata dia pengurus masjid berencana  menambah perlengkapan sistem suara.  “Sekarang semua penceramah maunya malah sound system lebih baik lagi, bukan harus dihilangkan. Karena mengundang jamaah itu loh, kalau penceramah bagus kan jadi tertarik.”

Ada yang setuju ada yang menolak. Masyarakat seperti  Bintang hanya bisa berharap lantunan ayat suci atau ceramah agama dari pengeras suara masjid tak ganggu pendengaran.  “ Sebenarnya kan Dewan Masjid itu kan orang pintar pak,  itu benar itu, Dewan Masjid Indonesia, Pak Jusuf Kalla, kadang-kadang ada yang butuh atau tidak kegiatan masjid itu. Saya  mengikuti peraturan itu saja.”

Warga lainnya Ijub menambahkan  “ Yah saya rasa peraturan Dewan Masjid itu kalau diterapkan di Indonesia atau di Muara Angke akan dilanggar karena menurut saya masyarakat membutuhkan aktivitas masjid disiarkan lewat pengeras suara.”

Editor: Taufik Wijaya

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!