SAGA

Melepas Jerat PRT Anak

Dengan waktu kerja hampir 17 jam sehari dan upah Rp 500 ribu per bulan, Anisyah akhirnya tak kuat. Ia berhenti setelah dua minggu bekerja.

AUTHOR / Quinawaty Pasaribu

Melepas Jerat PRT Anak
PRT, Anak, Pekerja, Perburuhan, ILO

KBR68H - Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyebut jumlah Pekerja Rumah Tangga (PRT) anak di Indonesia mencapai lebih dari 10 juta orang.  Pekerjaan ini tercatat jadi salah satu yang terburuk bagi anak. Sebuah LSM membuat program pendidikan bagi PRT anak. Melepaskan mereka dari jerat eksploitasi , minimnya upah dan perlindunganKBR68H menemui anak-anak yang mengikuti program pemberdayaan tersebut.

Anisyah: Jadi gini lho bagiannya. Kalau saya bagian masak sama nyapu halaman luar dan belakang rumah. Jadi belakang rumah itu pohon-pohon besar, di depan juga pohon besar.
KBR68H: Mulai kerja jam berapa?
Anisyah: Subuh jam 5 habis itu bikin jus, masak. Jadi gini sebelum berangkat kerja, bikin jus, sama mijitin neneknya juga. Ngepel, nyapu. Kalau nyuci saja. Terus jadi kalau yang satu setrika belum selesai, saya bantuin.
KBR68H: Itu berarti baru berhenti kerja jam berapa?
Anisyah: Masak jam berapa saja, disuruh masak. Kadang sore, pada pulang, disuruh masak. Minta dijus buah, subuh. Siang jus buah lagi. Kalau masak, tanpa vetsin.
KBR68H: Kelar jam berapa?
Anisyah: Jam 10 malam, sebetulnya udah selesai, entar disuruh lagi. 

Namanya Anisyah, usianya baru 15 tahun ketika menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) pada 2011. Kala itu ia bekerja di rumah seorang dokter di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur.

KBR68H: Makan gimana? Sehari tiga kali?
Anisyah: Makan iya
KBR68H: Enggak dipisah?
Anisyah: Enggak sih. Tapi kadang, anaknya lupa, dihabisin lauknya. Paling nasi sama kecap. Atau beli indomie, daripada kehabisan lauknya. Saya disuruhnya goreng ikan segini. Memang dikulkas penuh, tapi kan disuruhnya segitu.
KBR68H: Engak ambil ngolah yang lain?
Anisyah: Enggak, meskipun ada makanan yang lain. Enggak berani.

Pendidikan anak pertama dari tiga bersaudara ini, terhenti di kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ayahnya yang seorang tukang pijat keliling, tak mampu membiayai sekolahnya hingga lulus. Apalagi saat itu ayahnya terkena stroke. Untuk menyambung hidup, terpaksa, ia menerima tawaran pekerjaan tersebut. 

KBR68H: Kamu tidur ada kamar sendiri?
Anisyah: Satu kamar berdua, tapi tanpa kasur. Jadi ranjang kayu. Atasnya perabotan, serasa kayak di gudang.
KBR68H: Kasur ada?
Anisyah: Cuma bantal sama triplek, banyak nyamuk. Dialasin sleimut tipis. Jadi tidur tanpa selimut, pakai sarung tangan, kaos kaki. Udah kayak mau naik motor aja gitu.

Dengan waktu kerja hampir 17 jam sehari dan upah Rp 500 ribu per bulan, Anisyah akhirnya tak kuat. Ia berhenti setelah dua minggu bekerja.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!