Article Image

SAGA

KUHP Baru dan Beban Berlipat Aktivis Peduli HIV/AIDS (Bagian 1)

"Indonesia ditargetkan bebas HIV/AIDS 2030. Pelibatan komunitas dan aktivis peduli HIV/AIDS jadi upaya penting. Namun, KUHP baru mengancam kerja besar ini."

Ilustrasi solidaritas HIV/AIDS. (Foto: Sham Hardy/Flickr Creative Commons)

KBR, Jakarta - Hari itu di tahun 2020, menjadi titik balik bagi Hanam, seorang transpuan.

Ia kabur dari mes tempatnya bekerja, sebuah pabrik makanan di Bekasi, Jawa Barat. Hanam tak tahan dengan perlakuan diskriminatif dari rekan-rekan sesama karyawan.

“Mereka nyindir, ‘eh lo laki-laki atau perempuan sih, kok lembek banget’. Di situ kan, bersentuhan dengan benda-benda berat dan panas, tapi ga dikasih pengaman, sampai tangan aku melepuh. Aduh aku udah ga kuat,” kisah Hanam.

Hanam merantau atas ajakan saudara. Namun, ternyata ada motif lain di balik itu.

“Aku disuruh ke Jakarta, mau diubah lagi ke kodrat awal aku. Saudaraku (bilang), ‘kalau kamu ga nurut sama aku nih, nanti mama kamu sakit dan segala macam’, kayak diancam. Ya aku diam aja, terus rambutku dipotong. Aku yang (tadinya) semangat mau kerja di Jakarta, jadi kayak, udah ah, mati aja kalik ya,” kata dia.

Kala itu, baru genap seminggu ia bekerja, tak mungkin berharap uang dari gaji.

“Aku cuma pegang uang Rp200 ribu. Ini buat pulang kampung masih bisa. Tapi nanti kalau di sana (kampung), pasti ya gitu-gitu lagi (didiskriminasi), atau mau nekat ke tempat asing yang aku ga tahu, shelter, apa itu shelter?” ujar transpuan yang kerap disapa Nong Nam ini. 

Baca juga: Rumah Aira, Penjaga Asa Anak-Anak dengan HIV/AIDS

Hanam saat bertugas di mobile clinic HIV/AIDS. (Foto: dok pribadi)

Persinggungan awal

Lewat penelusuran di media sosial, Hanam menemukan shelter yang disediakan Inti Muda Indonesia, LSM yang bergerak di isu HIV/AIDS.

Lembaga ini menyediakan rumah aman bagi kelompok rentan yang mengalami diskriminasi.

“Nanti kalau aku ketemu ya alhamdulillah, kalau ga ya udahlah aku mati aja di Jakarta, mau telantar, juga bodo amat, alhamdulillah sih ketemu tempatnya, walaupun kayak aduh, pagi-pagi, hujan deras,” tutur Hanam. 

Hanam disambut hangat di shelter Inti Muda yang berada di kawasan Jakarta Selatan.

“Suruh ganti baju dulu, ngeringin rambut basah, dikasih air hangat, dan ditenangin dulu, ga langsung ditanya kamu dari mana? Aku kayak, ini tempat asing, tapi kok, nyambut banget,” ujar dia. 

Transpuan 23 tahun ini tinggal di sana selama setahun. Ia belajar banyak tentang HIV/AIDS.

Demi bertahan hidup di Jakarta, ia terpaksa menjadi pekerja seks.

Karena sudah melek dengan penularan HIV, Hanam disiplin menggunakan kondom.

“Aku harus selalu menggunakan, ga bisa bebas melepas kondom. Aku udah berprinsip ga mau lepas (kontrasepsi),” tegas Hanam.

Baca juga: Ropina Tarigan, Pengasuh Ratusan Anak dengan HIV/AIDS

Rumah Aira di Semarang, Jawa Tengah, merawat anak-anak dengan HIV/AIDS. Pendirian rumah ini sempat ditolak karena masih kuatnya stigma terhadap orang dengan HI.V/AIDS. (Foto: KBR/Aninda

Mulai bekerja

Pada 2022, Hanam bekerja sebagai petugas lapangan di Yayasan Intermedika Prana. Tugasnya mengedukasi perempuan pekerja seks di Jakarta Selatan tentang penularan HIV/AIDS.

“Kan yang direkrut dari populasi pekerja seks. Jadi kayak merekalah yang tahu, mana yang pekerja seks, mana yang bukan,” ungkap Hanam. 

Hanam mendatangi lokasi-lokasi perempuan pekerja seks, menawarkan tes HIV secara sukarela yang sering disebut tes VCT (Voluntary Counseling and Testing).

Layanan ini gratis dan Hanam siap mendampingi mereka tes di puskesmas ataupun rumah sakit.

“Kalau mereka sadar akan kesehatannya kan jadi perubahan perilaku. Lebih baik kita mengetahui status di awal, masih sehat, ketimbang sudah ga bisa ngapa-apain, sudah di fase AIDS. Kita setiap 3 - 6 bulan upgrade status kesehatan. Jika positif, kita secepatnya akses ARV,” terangnya.

Edukasi tentang pentingnya penggunaan kondom juga selalu diberikan saat tes VCT.

“Biasanya habis tes, dapat hasil, dikasih kondom juga sama dokter, ‘jangan sampai lepas kondom ya, hasilnya bagus, masih negatif’. Pasti dokter mengedukasi kayak gitu. Kita juga kan difasilitasi, buat membagikan (kondom),” ungkap Hanam.

Aral melintang

Saban bulan, Hanam mesti bisa mengajak 30 orang tes VCT. Sayangnya, target itu sulit terpenuhi.

“Tahun lalu aku (dapat) 2 dalam sebulan. Susah banget. Karena orang misalkan belum tahu, tes VCT, ‘ih seram banget, HIV, aku sehat kok, ngapain aku tes? Kecuali aku sakit’. Banyak ditolak juga, misalkan datang ke tempat A, bilang, ‘kita udah punya dokter pribadi. Kita ga mau dari lembaga masuk, ntar ada penggerebekan’,” imbuh Hanam. 

Realitanya, perempuan pekerja seks itu beragam, misalnya dari sisi pendapatan. Tiap kelompok butuh cara pendekatan berbeda

“Di pinggir jalan, lokalisasi, kita datangi dan edukasi langsung. Kalau yang kelasnya agak atas, biasanya nongkrong di mana? Misalnya di bar ini, kita jadi teman mereka dulu, ‘Kak follow-follow-an IG yuk, kadang ada yang langsung minta nomor telepon. Terus, kita kasih informasi, mereka tertarik. Kalau sudah dapat kepercayaan pasti dengan sendirinya (mereka) mau tes dengan kita,” ungkapnya.

Baca juga: Orang dengan HIV Jadi Korban PHK Sepihak di DIY

Rumah Lentera di Solo, Jawa Tengah memiliki delapan relawan yang merawat puluhan anak dengan HIV AIDS. (Foto: KBR/Yudha Satriawan)

Tanggung jawab kian berat kala hasil tes VCT pekerja seks yang ia dampingi, positif.

“Kaget pasti, ada yang nangis. Tapi kita ga boleh, ‘sabar ya, it's okay’. Beri waktu dia buat menerima keadaan. Tapi jangan yang lama banget, satu minggu mungkin udah mulai tenang, kita pelan-pelan aja ngomongnya, ayo kita mau akses obat,” Hanam mengisahkan.

“Karena jangan sampai nih, ada yang namanya lost to follow up, hilang. Kita harus jaga banget, jangan sampai putus obat, jangan sampai dia berhubungan, ga pakai kondom,” kata Hanam.

Problem makin pelik, karena ada pekerja seks yang didampingi Hanam positif, tetapi menolak pengobatan antiretroviral (ARV) maupun penggunaan kondom. 

“Dia pekerja seks, sudah punya pasangan, tapi kan tetap melakukan hubungan ini kan. Pas kita tes, hamilnya masih muda, sebenarnya masih ada waktu 6 bulan, kalau akses (terapi) itu, anaknya bisa selamat, tidak ikut ibunya, tapi ga mau akses,” ungkap Hanam sedih. 

Ada juga yang akhirnya berpulang.

“Ada yang temanku dampingi sampai meninggal di sampingnya. Dia maunya ditemenin temanku sampai dia ga ada. Dia sangat berterima kasih sudah ditolongin, ya karena kebodohan dia, karena ga mau akses, ga mau minum obat, dsb,” ujar dia. 

Pengalaman pahit dan duka ini justru menyemangati Hanam untuk makin gencar mengedukasi.

“Aku dulu yang ga tahu sama sekali, terus tahu, kemudian lebih mencegah diri, sayangi diri. Penginnya teman-teman juga kayak gitu, sadar dan lebih aware dengan kesehatannya. Apalagi yang masih muda-muda. Ayo bisalah. Aku ga bakalan berhenti sebelum mereka sadar juga,” tegas Hanam

Meski tak bakal mundur sejengkal pun, Hanam sempat tertegun begitu mendengar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, akhirnya disahkan.

Sebab, pasal kontrasepsi yang berpotensi mengkriminalkan petugas lapangan seperti dirinya, kembali masuk.

“Sedih sih, kemarin tuh pas RKUHP sekarang menjadi KUHP, teman-teman yang kayak, ‘aduh kita sudah berjuang bertahun-tahun akhirnya disahkan juga. Ya sudahlah,” ucap Hanam pasrah.

Penulis: Ninik Yuniati