SAGA
"Teater jadi sarana mengasah kepedulian tentang isu kawin anak dan problem sosial lain"
Insani Teater Cilincing mementaskan 'Kawin Anak' pada 2019. Foto: dok Yayasan Rumah Kitab
KBR, Jakarta - Aroma asin laut tercium saat memasuki RT 01 RW 14 Kelurahan Kalibaru, di sekitar kampung nelayan Cilincing, Jakarta Utara. Minggu siang mestinya jadi jadwal latihan puluhan anak muda Insani Teater Cilincing (Itaci). Namun, karena pandemi, rutinitas ini terganggu. Dulu, mereka biasa berlatih di tepi laut dan taman.
Adalah Komar yang memiliki ide untuk membentuk Itaci pada 2017 silam. Sejak dulu, pria 24 tahun ini memang gemar dengan seni pertunjukan, terutama lawak.
“Awalnya namanya Drama Damar, diambil dari nama sekolah saya, Darul Maarif. Saya mengajukan diri ke sekolah saya untuk mengajar teater karena di sana ga ada teater. Alhamdulillah ada yang mau anak kelas satu-nya waktu itu. Kita mulai latihan dengan versi saya teater tradisional atau komedi. Kita ikut Festival Teater Pelajar Jakata Utara, membawakan naskah 'Tak Terduga’,” terang Komar.
Komarudin, pendiri Insani Teater Cilincing (Itaci). (Foto: KBR/Astri Yuana Sari)
Teater rintisan ini kemudian dikembangkan bersama para pemuda di sekitar tempat tinggalnya di Kalibaru, Cilincing. Namanya pun resmi berganti menjadi Insani Teater Cilincing (Itaci). Puluhan remaja dan pemuda di lingkungan RT-RW sekitar diajak untuk bergabung.
Festival Lenong Jakarta 2018 menjadi debut pertama teater Itaci. Mereka membawakan lakon berjudul ‘Kawin Anak’. Ide ceritanya muncul dari salah satu anggota Itaci.
“Yayasan Rumah Kitab lagi ada project pencegahan perkawinan anak. Si Bang Andre itu ikut seminar di sana. Isu (kawin anak) itu dari situ. Cuma ini kan bukan project Rumah Kitab, jadi kita membawakan cerita ini untuk festival. Itu first time Itaci ikut lomba dan alhamdulillah kalah, belum menang,” kisahnya.
Anggota Itaci, Ika Fityan Maulana mengisahkan jalan cerita 'Kawin Anak.'
"Ada pasangan suami-istri Betawi memiliki dua anak, Septi dan Adit. Si Bapak punya utang di mana-mana. Akhirnya terpikirlah menjodohkan anaknya dengan anak seorang konglomerat di daerah itu. Akhirnya pernikahan terjadi. Tapi di situ klimaksnya emosi Septi, sehingga dia lari dari acara pernikahan itu," tutur Ika.
Di dalamnya juga diselipkan edukasi tentang bahaya perkawinan anak
"Pak RT sebagai karakter yang kita jadikan penyampai pesan verbal untuk menyosialisasikan tentang tidak baiknya pernikahan dini dan bertentangan dengan hukum. Ketidaksiapan mereka karena masih di bawah umur. Mereka punya persoalan yang menunggu ketika menjalani kehidupan berkeluarga," imbuhnya.
Ika Fityan Maulana, sutradara di Itaci. (Foto: KBR/Astri Yuana Sari)
Lakon kawin anak dipilih karena mencerminkan kondisi riil di Kalibaru. Praktik perkawinan anak masih banyak terjadi karena masalah ekonomi dan hamil di luar nikah. Kendati tema yang diangkat serius, ceritanya dibawakan dengan gaya komedi.
Itaci kemudian bermitra dengan Yayasan Rumah Kita Bersama (KitaB) untuk menggarap isu perkawinan anak dan problem sosial lainnya. Itaci beberapa kali mementaskan drama soal kawin anak di sejumlah acara seperti 17 Agustus-an dan Maulid Nabi.
“Ada juga Yayasan Kursi Putih bekerja sama dengan kita menyuarakan kembali pesan ini di dalam pertunjukan. Ada sekitar 5-6 kali yang membawa kembali cerita ini dengan beberapa kali revisi untuk menyesuaikan dengan keadaan aktornya, kebutuhan dari si orang yang request pertunjukan tersebut dan juga kebutuhan durasi,” ujar Ika.
Itaci mementaskan dramatisasi puisi 'Doa Sunyi' karya Ika Fityan Maulana. (dok Itaci)
Kiprah Itaci didukung pengurus RT-RW dan warga. Kata pendiri Itaci, Komarudin, banyak orang tua yang malah mendorong anak-anak mereka ikut teater. Alhasil, Itaci sekaligus menjadi sarana edukasi bagi kaum muda tentang bahaya pernikahan anak.
“Mereka sadar bahwa pernikahan dini itu kalau belum siap fisik atau mental bakal fatal ke depannya. Kita bilang ke teman-teman anggota kita sendiri terutama, jangan pernah nikah cepat-cepat kalau fisik dan mentalnya belum terlalu kuat. Takutnya nanti pas punya anak, berantem, cekcok rumah tangga, terus kekurangan ekonomi itu lebih fatal lagi,” ujar Komar.
Kreativitas Itaci tak berhenti di tema kawin anak. Pada Festival Teater Jakarta 2019, mereka mementaskan teater berjudul 'Ruang Tunggu', adaptasi naskah karya budayawan Betawi, Zen Hae.
"Enam bulan kita berproses sebelum pertunjukan. Kita kejar bahkan setiap minggu, hari biasa pun kita kejar," kata Ika Fityan, sang sutradara.
Kali ini, Itaci berhasil membawa pulang dua trofi.
“Akhirnya jadi titik balik bagi Itaci dengan penghargaan pertamanya. Yaitu grup harapan 2 dan aktor pembantu wanita pembantu terbaik. Ada satu pencapaian bagi Itaci setelah dua tahun berjalan untuk bisa membuktikan eksistensinya di wilayah Cilincing khususnya di Jakarta Utara,” tutur Ika.
Itaci di Festival Teater Jakarta Utara 2018. (Foto: dok Itaci)
Bagi Ika, Itaci tak hanya sebatas wadah edukasi, tetapi juga pengembangan diri. Pria 23 tahun ini berkesempatan mengasah kemampuannya memimpin pementasan.
“Saya melihat komunitas ini sebagai keluarga kedua, karena ada semangat rasa memiliki, rasa saling menerima saling membutuhkan dari anggotanya. Sehingga saya nyaman di sini dan itu yang membuat saya dan teman-teman lainnya bersepakat 'oh kita harus kembangkan lagi Itaci ini,'” ujar dia.
Tekad serupa juga dimiliki pendiri Itaci, Komarudin. Ia ingin teater yang lahir di gang sempit Kalibaru ini konsisten dan makin berkembang. Komar juga berharap Itaci mampu jadi wadah kaum muda setempat untuk berkarya dan melakukan perubahan positif bagi lingkungan.
"Biar bisa tambah dikenal di wilayah dulu karena masih ada beberapa persen yang belum tahu Itaci itu apa. Untuk membangkitkan nama wilayah Cilincing karena di sini itu dicap buruk. Misalkan banyak yang tawuran, narkoba, hamil di luar nikah, dst. Jadi saya pengin mengubah pola pikir bahwa Cilincing itu ga semuanya begitu, masih ada orang-orang yang positif di dalamnya,” pungkas Komar.
Penulis: Valda Kustarini
Editor: Ninik Yuniati