SAGA

Hoegeng Kapolri Penolak Rumah Dinas sampai Kendaraan (2)

Isteri Hoegeng, Meriyati mengakui bahwa kondisi ekonomi keluarga saat itu sangat sulit. Namun dia baru tahu akhir-akhir ini kalau Hoegeng seorang menteri pernah menjual sepatu. Kata Meri, Hoegeng tidak pernah bercerita kalau sedang kesulitan keuangan

AUTHOR / Damar Fery

Hoegeng Kapolri Penolak Rumah Dinas sampai Kendaraan (2)
Hoegeng, kapolri, korupsi, suap, integritas

Jual Sepatu

Maret 1966, sekitar pukul 06:45 pagi Soedharto Martopoespito membuka pintu ruang kerja Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet , Hoegeng di lantai I gedung utama Sekretariat Negara (Setneg). Dia terkejut, mendapati sang menteri sudah berada di balik pintu.

Sejak saat itu, Dharto berusaha berangkat lebih pagi dari menteri Kabinet Dwikora III bentukan Soekarno ini. Namun, dia tidak bisa masuk mendahuli Hoegeng. Sebab Hoegeng selalu berangkat lebih pagi, ketika Dharto datang lebih dulu. “Ingin beri contoh. Saya kan kelimpungan, bagaimana. Waduh bagaimana kalau saya harus datang 5:30 WIB, ya kan jauh kan dari Cidodol sampai Jalan Veteran. Dia bilang begini, mas Darto tidak usah datang lebih pagi dari saya. Datang saja jam kerja 7:00 WIB, kurang lima menit sudah bagus. Dan saya tidak akan terlambat, biasanya 6:45 WIB sudah datang.”

Menurut Dharto, setelah menjabat Menteri, Hoegeng mendapat berbagai fasilitas jabatan, seperti mobil dinas keluarga jenis Holden, uang operasional, dan kebutuhan pangan. Namun, Hoegeng menolak  berbagai fasilitas negara tersebut.  “Mas Dharto, rumah Hoegeng tidak ada grasinya. Garasi itu hanya cukup untuk mobil menteri dan jeep dari polisi. Tidak usah saja lah mas Dharto. Saya bilang, ini mobil buat ibu. Yada begini saja, tolong mobil ini titip di rumah mas Dharto,” kata Dharto.

Dharto mendampingi Hoegeng hingga Juli 1966. Saat itu, mereka bekerja dalam satu ruangan berukuran sekitar 10 x12 meter persegi. Ruang kerja Hoegeng sama sekali tidak memiliki sekat pemisah antara keduanya, sehingga Dharto selalu bisa mendengar dan melihat apa yang Hoegeng kerjakan setiap hari. “Jadi kalau pak Hoegeng menerima tamu, saya mendengar dan melihat apa yang dibicarakan. Suatu ketika  saya merasa kok pembicaraanya serius. Saya pelan-pelan ke luar. Pak Hoegeng bilang, ke mana mas Darto. Sudah duduk saja di situ, tidak apa-apa. Jadi ada keterbukaan yang luar biasa. Kalau sekarang mana ada?”

Karena tanpa sekat itu, Hoegeng dan Dharto semakin lekat. Hoegeng kerap menceritakan pengalamannya saat bertugas sebagai polisi di daerah. Karena kedekatan ini, Dharto pernah membantu Hoegeng menjual sepatu. Saat itu, supir Hoegeng bernama Aco diminta untuk menjual sepatu tanpa merk berukuran 46 ke Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan.

Namun, Aco tidak berhasil. Melihat Aco murung, Dharto berinisiatif membantu menjual sepatu Hoegeng tersebut. Tidak lama, Dharto mendapati pembeli. Dia adalah Sekretaris Menteri Negara, Totok Soesilo, junior Hoegeng di Kepolisian. Totok menebus sepatu itu seharga Rp 1.200.  “Saya itu dibayar sebesar gaji saya. Saya kasihkan ke Pak Aco. Pak Aco bilang ke pak Hoegeng jangan bilang saya yang bantu. Dharto tidak punya uang. Pagi-pagi, dia datang, pak Hoegeng rangkul saya. Mas Dharto AMPERA..AMPERA..amanat penderitaan rakyat. Waduh..mati pak Hoegeng tahu. Tetapi dia tidak marah. Saya kemudian bilang ke pak Aco. Loh kok bilang? Pak Hogeng tahu. Kan sudah saya wanti-wanti. Wah saya sudah di..pokoknya kamu harus jujur. Ya saya harus bilang apa adanya.”

Isteri Hoegeng, Meriyati mengakui bahwa kondisi ekonomi keluarga saat itu sangat sulit. Namun dia baru tahu akhir-akhir ini kalau Hoegeng  seorang menteri pernah menjual sepatu. Kata Meri, Hoegeng tidak pernah bercerita kalau sedang kesulitan keuangan. “Memang sulit, kita mesti cari sesuatu lain. Keadaan ekonom kita sulit. Sampai beras jelek kita makan. Beliau kalau tidak punya uang tidak pernah cerita. Kita baru tahu waktu dia jual sepatu,” kata Mariyati.


Masuk Petisi 50


Persahabatan antara Hoegeng dan Dharto berlanjut hingga Hoegeng dipensiunkan pada 2 Oktober 1971. Namun pertalian itu hancur, setelah Hoegeng memutuskan untuk terlibat dalam Petisi 50 bersama Ali Sadikin, A.H. Nasution, M. Jasin dan S.K. Trimurti pada 1980. Kelompok ini kerap mengkritik berbagai kebijakan Orde Baru. “Ketika beliau masuk Petisi 50, saya diangkat pak Darmono sebagai Biro Umum Menkopolkam.  Sejak itu saya tidak berani sowan ke sana. Jadi politik itu menyedihkan ya, hubungan dua insan yang akrab jadi terputus,” tuturnya.

Hoegeng memutuskan untuk bergabung dalam Petisi 50, setelah 9 tahun dipensiunkan dini oleh Presiden Soeharto. Alasan pemensiunan Hoegeng beragam. Dari mulai polemik penggunaan helm keselamatan bagi pengendara sepeda motor, pelaporan harta kekayaan pejabat, penyelidikan kasus pemerkosaan Sum Kuning, hingga penyelundupan mobil mewah yang dilakukan pengusaha Robby Tjahjadi.

Kepolisian mencatat, sekitar 3 ribu mobil yang telah diselundupkan tanpa bea masuk atau keluar. Penyelundupan ini diduga melibatkan sejumlah pejabat, termasuk Presiden Soeharto. Robby sendiri akhirnya menjalani hukuman 10 tahun penjara. “Bapak dipensiunkan umur 49 tahun. Bapak pulang, Mer saya sudah tidak punya jabatan lagi. Lalu dia bilang ke ibunya. Ibunya menjawab, biar Geng asal kamu jujur melangkah, masih ada nasi dan garam. Itu yang membuat spririt besar sekali. Coba, untuk seorang isteri, suaminya masih umur 49 tahun, masih banyak yang ia bisa lakukan, idenya masih banyak. Padahal dia sangat bangga sekali dengan Polri. Tetapi distop begitu saja,” kata Meri.

Hoegeng sempat menolak pemberhentian dini ini. Apalagi, penggantinya Jenderal (Pol.) Moh. Hasan berusia lebih tua empat tahun dari Hoegeng. Sebab itu, pemerintah ingin membuang Hoegeng dengan memberi jabatan Duta Besar Swedia dan Kerajaan Belgia, Nederland, serta Luxemburg atau Benelux. Namun, Hoegeng dengan tegas menolak tawaran tersebut.

“Beliau marah sekali. Beliau bilang, saya bukan Diplomat.  Tugas Dubes itu paling tidak hanya angkat gelas, tetapi rakyatmu di negaramu hidup susah. Kamu bisa hidup seperti itu? Tolol. (Sekasar itu?) Sampai begitu, tolol sementara kita enak hidup di luar negeri, tetapi bisa kamu hidup seperti itu,” kata Adit anak Hoegeng.

Pasca pensiun, Hoegeng mengisi waktu dengan melukis dan bermusik untuk menopang ekonomi keluarga. Bersama istrinya, Meri kerap tampil di TVRI bersama kelompok musik The Hawaian Seniors. Namun, karena Hoegeng bergabung dengan Petisi 50 siaran itu dihentikan. Bahkan, sebagai bekas Kapolri, Hoegeng tidak diperkenankan untuk menghadiri Hari Bhayangkara.

“Waktu dia dapat undangan itu, dia bilang sama saya. Mir, sediakan pakaian saya ya, dapat pakaian baru  warnanya lain dari kantor. Sudah disiapkan, paginya dapat surat bapak diminta tidak datang karena RI (Soeharto) datang. Paling sakit, dia gantung pakaiannya, dia duduk dan tiduran saja. Itu sakit sekali saya,” ungkap Meri. Puncaknya, Hoegeng dilarang pergi ibadah Haji dan berobat ke Belanda saat menderita stroke.“Saya menghadap dulu Pak Beny Moerdani untuk meminta izin. Dia bilang bapak suruh mengirim surat izin ke saya. Saya bilang terima kasih, tidak usah. Kalau saya ceritakan ke almarhum, dia pasti marah sekali. Beliau tidak mau mengemis. Tetapi waktu perpindahan ke pak Habibie, sudah agak kendor. Dia bisa berobat dan pergi Haji.”

Karena integritas Hoegeng, dokter yang merawat menolak menerima bayaran.  “Waktu kami mau bayar, kebetulan dokter yang menangani bapak itu dulu Kedokteran Trisakti . Sekarang menjadi ahli jantung di Belanda. Begitu dia tahu nama bapak, saya ajukan berapa kita harus dibayar. Dia bilang tidak perlu bayar.  Dia sangat respek sama bapak. Hanya seperti itu yang kita bisa nikmati dari apa yang sudah dia bangun.”

Pada 14 Juli 2004, setelah menderita stroke sekian lama,  Hoegeng menghela nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia meninggal di usia 83 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Giritama, Kecamatan Bojonggede, Bogor, Jawa Barat.

Di pekuburan itu, bekas Kapolri ini akhirnya bisa mengukir nama HOEGENG IMAN SANTOSO di muka nisan. “Pada saat beliau sudah agak sakit. Saya ngobrol. Nama beliau kan Hoegeng Iman Santoso, jadi tiga suku kata. Saya pernah tanya, pap kok kalau tanda tangan cuma Hoegeng tidak lengkap. Dia bilang, dit saya akan membuktikan sampai meninggal bahwa iman saya betul-betul sentosa baru pantas saya pakai nama tiga suku kata. Waktu pekuburan di nisan,  ayah saya pantas memakai nama Hoegeng Iman Santoso,” tutup Adit. ***

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!