Article Image

SAGA

Celah Wacana Penambahan Cuti Ayah

"Penambahan cuti ayah banjir didukung, tetapi ada ganjalan soal pengawasan"

Ayah tengah menggendong bayinya (ilustrasi).

KBR, Depok - Lulu tengah memakaikan baju ke bayi Athar sembari mengajaknya mengoceh dan berceloteh. Putra kedua Lulu yang berusia 3 bulan itu baru selesai mandi sore. Sementara, di kamar mandi, sang suami, Wili, masih sibuk mencuci popok si kecil.

“Malam (suami) pulang kerja selalu nyempetin buat nyuci popok. Memang nge-bantu banget sih, kerjaan rumah tangga dikerjain juga kan,” kata Lulu.

Berbagi kerja domestik bukan perkara aneh bagi Lulu dan Wili. Malah Wili ambil alih seluruhnya saat Lulu melahirkan Athar Maret 2024 lalu.

Apalagi, kali ini proses caesarnya lebih berat ketimbang saat melahirkan putra pertama.

“Jujur luar biasa sakit yang ini (putra kedua). Dan proses pemulihan saat di rumah sakit juga lebih cepat waktu caesar yang awal. Kalau yang ini benar-benar, buat badan miring aja, sakitnya luar biasa,” Lulu mengisahkan.

Wili hanya mendapat dua hari cuti ayah, sebagaimana ditetapkan dalam aturan. Padahal, Lulu menginap tiga hari dua malam di rumah sakit. Beruntung, atasan Wili pengertian.

“Pimpinan (atasan) fleksibel dan kebetulan jenis pekerjaan yang aku kerjakan, bisa dikerjakan sambil mobile, enggak perlu harus back office. Meskipun aku harus bawa laptop segala macam,” kata Wili yang bekerja di sebuah BUMN.

Selama di rumah sakit, pria 39 tahun ini mengurus kebutuhan istri dan bayinya. Dalam sehari, Wili hanya sempat tidur beberapa jam.

“Kalau orang operasi, Itu kan pasti (butuh) memulihkan dia. Untuk bisa duduk, enggak usah bangunlah atau berdiri, untuk dia bisa makan minum itu kan perlu dibantu. Dan tidak semua rumah sakit ada suster yang bisa bantu nyuapin, dateng, nggantiin pampers-nya. Si bayi mau disusuin ke ibunya, yang angkat kan pasti suaminya. Kalau bayinya ngompol, harus ganti pampers,” ujar Wili.

Bagi Lulu, dukungan sang suami sangat berarti.

“Dalam keadaan dia capek habis pulang kerja, dia tetap ke rumah sakit, padahal gue sudah bilang enggak usah ke rumah sakit. Buat gue itu luar biasa juga dari sisi peran dia sebagai suami,” tutur Lulu.

Namun, selepas pulang dari rumah sakit, Wili dan Lulu belum bisa bernapas lega. Selang lima hari, bayi Athar mesti mendapat perawatan intensif, karena penyakit kuning. Padahal, jatah cuti ayah sudah habis. Beruntung, atasan Wili memberi keringanan.

“Kalau masuk NICU, kebetulan istri sudah bisa bangkit, bisa beraktivitaslah, walaupun ringan. Nah, aku tetap masuk (kerja), cuma jam kantornya fleksibel banget. Jadi aku bisa telat sampai 2-4 jam, pulang lebih awal, bisa 1-2 jam sebelum jam pulang,” ungkap Wili.

Baca juga: Ahmad Zaini: Kalau Cuti Hanya 2 Hari, Bayi Belum Lahir Kita Sudah Harus Kerja

Seorang ibu menemani anaknya yang akan diimunisasi di Indragiri Hilir, Riau. Budaya di masyarakat masih kerap membebankan tanggung jawab mengurus anak ke perempuan saja. (Foto: KBR/Elvi)

Potensi baby blues

Masalah kian pelik karena Lulu menghadapi tekanan mental (baby blues). Ibu berusia 36 tahun ini sering dihantui rasa bersalah terhadap bayinya. Pengalaman pahit keguguran dua kali memicu trauma.

“Dia (bayi) nangis enggak berhenti-henti, kita berdua ngejagain, enggak tidur sama sekali berdua. Itu sempat nangis, kuping gue ngung.. sampai gue tabok-tabokin kepala gue sendiri. Tanpa sadar, begitu sadar kok ya keluar air mata sendiri,” Lulu bercerita.

Lulu makin terpukul karena produksi ASI-nya tak mencukupi untuk bayi Athar. Akhirnya harus dibantu konsumsi susu formula.

“Dia harus dikasih sufor, gue nge-down banget. Suami bilang, ‘udah kamu enggak usah nge-rasa bersalah, yang penting sehat aja dulu anaknya. Dan yang keduanya dia (suami) nguatin gue, namanya gue nangis melulu kan waktu itu, dia yang bantu biar gue bisa istirahat banyak, enggak sedih terus,” kisah Lulu.

Wili dengan sabar mendampingi sang istri melewati tekanan baby blues. Ia siaga mengurus si bayi agar Lulu merasa tenang.

“Dia (istri) merasa orang yang nyentuh anaknya itu enggak pakai kasih sayang. Tapi kalau si suami, meskipun mungkin ganti popoknya lama, sampai berantakan ke mana-mana. Tapi dia (istri) yakin kalau suaminya yang pegang, suaminya pasti sayang sama anaknya, enggak akan nyakitin anaknya,” ucap Wili.

Wili menjalankan peran penting sebagai suami dan ayah, sembari tetap masuk kerja. Ia tertolong oleh kebijaksanaan atasan dan fleksibitas tempat kerja. Namun, tidak semua orang seberuntung Wili, padahal cuti ayah dinilai sangat penting untuk menjamin kesejahteraan si ibu dan buah hati.

“Seorang istri kalau kita kasih support, dia akan cepat bangkit psikologisnya, cepat baik, dan otomatis fisiknya karena psikisnya baik, fisiknya juga cepat pulih,” imbuh Wili.

Beberapa waktu terakhir, wacana menambah cuti ayah pun mencuat. Misalnya di aturan cuti ayah untuk ASN dan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Jumlah ideal waktu cuti pun jadi perdebatan. Berdasarkan pengalaman Wili dua kali menemani istri melahirkan, dibutuhkan setidaknya 10 hari cuti.

“Walaupun misalnya lahirnya enggak normal, tapi enggak ada permasalahan ASI Atau laktasi ibunya, itu minimalnya 10 harilah, keberadaan suami benar-benar dibutuhin,” ungkap Wili.

Namun, menurut Wili, 10 hari itu lebih baik tidak diberikan sekaligus, tetapi dengan sistem kuota.

“Mungkin kuota dalam satu kali urusan persalinan 10 hari. Untuk persalinannya 5 - 6 hari, yang 2 hari lainnya untuk check up, kontrol setelah persalinan. Ada kontrol anak dan kontrol istri. Jadi waktunya (cuti) bisa dipisah, enggak harus berkelanjutan selama 10 hari,” jelas Wili.

Cuti ayah dengan sistem kuota dinilainya sebagai titik tengah antara kepentingan pekerja dan perusahaan.

“Dikasih kuota malah lebih efektif, daripada langsung, kita bilang, menemani istri melahirkan 30 hari, jebret. Begitu ada kebutuhan khusus, takutnya malah dapat pressure dari perusahaan, ‘lu kan udah cuti lama, lu mau izin-izin',akhirnya malah enggak dikasih,” kata Wili.

Baca juga: Pemerintah dan DPR Sepakat RUU KIA Dibawa ke Paripurna

Kokok Dirgantoro, CEO Opal Communication, sudah menerapkan cuti ayah 30 hari untuk karyawannya sejak 2017.

Praktik baik

Nama Kokok Dirgantoro kerap disebut tiap kali muncul wacana perubahan cuti melahirkan dan cuti ayah. Pasalnya, Kokok, sudah lama menerapkan dua cuti itu dengan durasi lebih panjang di perusahaannya, Opal Communication.

“Untuk keadilan saja, karena sebelumnya kita ada cuti melahirkan 6 bulan untuk yang karyawati. Jadi untuk keadilan kami memberikan cuti Ayah juga 1 bulan tapi dengan berbagai syarat,” kata Kokok.

“Perusahaan bukan cuma mencari nafkah, tapi juga kita itu memberikan kesejahteraan lahir batin ke karyawan,” lanjutnya.

Kokok tak ingin karyawan Opal bernasib sama dengan istrinya ketika masih bekerja.

“Istri saya waktu itu hamil tahun 2004 dan tetap disuruh bekerja. Padahal, kondisinya sangat lemah. Istri saya sehari-hari kuat sekali orangnya bekerja, cuma karena hamil, dia lemah. Istri saya akhirnya resign. Kami berjanji, itu masih karyawan, kalau kami punya perusahaan, harus bikin cuti melahirkan 6 bulan, ‘saya tidak mau yang kamu alami itu terjadi di perempuan sekitar saya’,” Kokok bercerita.

Opal Communication berdiri pada 2013. Dua tahun kemudian, ada karyawati yang menerima cuti melahirkan selama enam bulan. Kokok banyak diapresiasi karena berani menerapkannya. Tak berapa lama, muncul wacana memperpanjang durasi cuti ayah.

“Saya (dulu) punya bos yang baik. Waktu kelahiran anak pertama, saya bisa jaga anak saya, 7 atau 10 hari, lupa. itu dampaknya besar buat recovery mental, di situ saya belajar tentang baby blues,” ujar Kokok.

Pada 2017, cuti ayah selama sebulan mulai diberlakukan di Opal. Hingga kini, sudah 3 karyawan yang mendapatkannya. Mereka bisa menikmati cuti ayah, tetapi dengan syarat ketat, untuk mencegah penyalahgunaan. Maklum, di Indonesia, kultur patriarkis masih dominan.

“Jadi laki-laki di rumah tuh kayak raja, padahal istrinya membutuhkan. Jadi, kalau misalnya mengambil cuti Ayah, harus bersedia disidak. Dia harus mengerjakan semua domestic work, istrinya harus istirahat total,” tutur Kokok yang juga dikenal sebagai politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini.

Kokok menekankan peran penting suami selama proses kelahiran. Apalagi ada potensi sang istri mengalami tekanan psikologis seperti baby blues.

“Harusnya ada suami di sebelahnya, membantu dia, meringankan pekerjaan, sampai memberikan massage istrinya supaya rileks, tidak babby blues. Sudah banyak kejadian ibu-ibu yang sampai membunuh bayinya, mencubit bayinya, melukai bayinya, karena baby blues. Saya tidak bisa memaafkan diri saya sendiri, kalau sampai ada istri dari karyawan baby blues, dia enggak ada di sana,” ungkap Kokok.

Pengawasan cuti ayah di Opal diterapkan berlapis, agar karyawan benar-benar melaksanakan perannya sebagai suami dan ayah.

“Kami juga minta akses ke orang tua dan mertua, karena kami tidak ingin beban anak bayi yang baru dilahirkan itu ke orang tua dan mertua. Jadi harus benar-benar oleh suami istri,” jelasnya.

Tiga kali penerapan cuti ayah di Opal berlangsung lancar

“Kami cek selama saya datang, itu sudah kelihatan sekali dia exhausted, capek sekali, insyaallah berarti dia mengerjakan pekerjaan domestik dengan baik,” ucap Kokok.

Bagi Kokok, cuti melahirkan dan cuti ayah yang lebih panjang, tidak merugikan perusahaan. Meski diakuinya, faktor besar kecilnya perusahaan bakal menentukan.

“Dari 2013, perusahaan ya terus berkembang, pendapatannya juga meningkat, kesejahteraan karyawan meningkat. Kalau dari sisi billing, berarti produktivitasnya juga meningkat. Karena kami juga perusahaan kecil, saya rasa sih karyawannya senang. Karyawan yang senang akan bekerja sungguh-sungguh, saya sederhana aja mikirnya,” kata Kokok.

Baca juga: Sumbangsih Anak Muda NTB untuk Kesetaraan Gender

Diah Saminarsih, founder dan CEO CISDI, mendukung cuti ayah yang lebih panjang. Ini sekaligus untuk mengikis budaya patriarki. (Foto: dok pribadi)

Pekerja informal

Wacana cuti ayah yang lebih panjang didukung banyak kalangan, salah satunya Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Diah Saminarsih, CEO dan founder CISDI, kebijakan ini diharapkan bisa mengikis budaya patriarki.

“Pernah baca kan? bahwa fatherless country itu Indonesia. Absennya peran ayah di dalam membesarkan anak. Jadi menurut saya, (cuti ayah) ini cukup urgen, terutama juga untuk mengikis budaya patriarki. Jadi kalau memang sudah bagus untuk dilaksanakan, kenapa harus ditunda lagi?,” kata Diah.

Diah setuju implementasi cuti ayah perlu diawasi, karena rentan disalahgunakan. Kondisi di Indonesia belum seideal di negara maju.

“Di sana (luar negeri) kan hampir tidak ada asisten rumah tangga misalnya, jadi semua ya memang harus ibu dan ayah yang bersangkutan. Jadi kemungkinan moral hazard itu terjadi, tapi tidak tinggi, tidak besar. Sementara kalau di Indonesia, karena support system itu banyak, ada budhe, pakdhe, ART, teman, tetangga, dan yang lain. Ini yang membuat keterlibatan ayah dan ibu agak sedikit lemah. Seolah-olah kewajiban hanya pada ibunya,” terang Diah.

Diah mengingatkan wacana cuti melahirkan dan cuti ayah ini masih berpusar di sektor pekerjaan formal atau kantoran. Sementara, komposisi pekerja di Indonesia didominasi sektor informal. Situasi ini menyisakan pekerjaan rumah yang harus dicarikan solusinya.

“Angkatan kerja informal di Indonesia itu cukup besar. Jadi dia bukan bekerja sebagai pegawai dari satu tempat tertentu. Ini tentu yang juga harus dipikirkan, bagaimana agar cuti melahirkan itu bisa juga bermanfaat untuk angkatan kerja yang informal,” pungkas Diah.

Penulis: Lea Citra, Ninik Yuniati

Editor: Ninik Yuniati