Article Image

SAGA

[SERIAL] EPISODE 2: Sebatang Kara

Terorisme membawa luka. Itu jelas. Luka kepada warga tak berdosa yang menjadi korban. Juga luka pada keluarga korban pelaku teror yang ditinggalkan.

Termasuk, anak para pelaku aksi terorisme.

Mereka yang hidup, tumbuh serta beberapa diajak orangtua mereka yang jadi pelaku aksi terorisme. Mereka adalah korban. 

KBR menyajikan serial khusus menyoroti anak-anak yang jadi korban terorisme. Demi melindungi para bocah, identitas mereka kami samarkan.

Ikuti Serial "Hidup Usai Teror" episode ke-2: Sebatang Kara.


PERINGATAN! Seri liputan ini memuat konten yang boleh jadi mengganggu bagi sebagian orang.

Ilustrasi Eps02 Sebatang Kara

[AUDIO DI GEDUNG MINAT BAKAT; ADA CELOTEH ANISA]

Saya menunggu Tuti selesai bicara dengan Anisa. 

Kami berada di Gedung Minat dan Bakat, masih di area Rumah Perlindungan. 

"Kegagalan dan kesalahan merupakan cambuk …" begitu bunyinya. 

"Buka lembaran halaman buku yang serba putih."

Ini yang mungkin tak mudah bagi Anisa. 

TUTI: Kekhawatiran ditolak, tidak diterima keluarga ataupun teman-teman itu ada. Dia sudah menyadari itu. Dia sudah memahami itu: saya yakin, teman-teman yang lama pasti akan menolak.

[AUDIO ANISA NGOBROL TUGAS MENGHAFAL DENGAN GURU AGAMA, ZAINAL]

Ketika baru masuk panti, Anisa tak mau sekolah. Tapi kini sudah berubah jadi murid yang aktif. 

Pelajaran favoritnya: agama. Pekan itu, dia sedang dapat tugas menghapalkan satu surat pendek. 

Selepas kelas, ia jarang bermain dengan yang lain. Lebih sering dengan enam bocah lainnya yang kebetulan satu rumah.

Beberapa kali Tuti memergoki Anisa sedang di ayunan, sendirian. 

[AUDIO JALANAN DAN TAMAN DI RUMAH PERLINDUNGAN, LENGANG]

Anisa pernah bercerita pada Tuti soal dua kakaknya. Mereka bak ksatria pelindung bagi Anisa yang anak bungsu. Semua perhatian tercurah padanya. 

Hidup sendirian di tempat asing jelas tak pernah terlintas di kepala Anisa.

[MUSIK]

[AUDIO REPORTER MEMBOLAK-BALIK KERTAS DI POHON HARAPAN]

Di sudut ruangan, ada pot berisi pohon, dengan kertas warna warni terikat di ranting-rantingnya.

Saya mencari nama Anisa.

[AUDIO REPORTER MEMBACA KERTAS HARAPAN]

Kertas Anisa ada di ranting bawah, digunting asal-asalan, berbentuk awan. 

Kertas warna putih, pitanya juga.

"Cita-citaku ingin jadi dokter. Alasannya dulu yang meriksa dokter." Itu yang ditulis Anisa.

Rupanya Anisa menulis dua kali.

Yang satunya lagi bertuliskan: "Cita-citaku pingin jadi atlet silat. Alasannya, biar keluarga bisa gembira sama aku."

Anisa masih punya keluarga besar--ada nenek, kakek, juga paman dan tantenya. 

Tapi … begini kata Kepala Panti, Neneng Heryani.

NENENG: Kami sudah ke keluarga beberapa bulan lalu. Ternyata memang ada keluarga yang merasa takut kalau anak tersebut dikembalikan ke mereka, maka keluarga akan terancam. Karena masyarakat tidak mau menerima anak tersebut.

Dan Anisa tahu soal itu. 

TUTI: Kamu kerasan engga?

ANISA: Sudah. Ga mau di sini lagi. Pengen pulang ...

TUTI: Ketemu sama keluarga di sana mau?

ANISA: Mau

TUTI: Kangen enggak sih sama mereka?

ANISA: Kangen sekali

[AUDIO ILUSTRASI GETAR TELEPON]

Suatu kali, nenek Anisa menelefon ke panti. 

TUTI: Waktu itu neneknya sempat bilang, "Sudah kamu di pesantren saja sekolahnya. Nanti nenek akan jenguk.” Dia meskipun tidak bisa menangkap secara utuh, tapi dia paham maksudnya. Oh berarti saya harus belajar dulu di tempat lain, baru bisa berkunjung ke nenek saya."

Panti hanya bisa menampung Anisa selama 6 bulan. 

Negara baru bisa merawat Anisa jika orangtua, paman tante, serta nenek kakek, tidak ada.

Tapi selain orangtua yang sudah tewas, keluarga besar Anisa sebetulnya ada… tapi tak semuanya siap menerima Anisa.

Artinya setelah ini, Anisa harus keluar panti. Hidup sendiri.

TUTI: Dia itu sebetulnya penakut. Awal mandi enggak mau sendiri mesti berdua. Kalau mandi mesti berdua di kamar mandi.

Panti masih terus menyiapkan Anisa untuk segala kemungkinan. 

Termasuk supaya tak kembali terjerat pada paham radikalisme seperti yang dicekoki oleh orangtuanya sejak ia kecil.

<tr>

	<td class="">Reporter</td>


	<td>:</td>


	<td>Damar Fery, May Rahmadi, Nurika Manan, Ria Apriyani</td>

</tr>


<tr>

	<td class="current">&nbsp;Editor</td>


	<td>:</td>


	<td>Citra Dyah Prastuti&nbsp;</td>

</tr>