SAGA

Mal Praktek di Rumah Sakit

"Vivi pun protes ke pihak rumah sakit. Pihak rumah sakit akhirnya bersedia mengoperasi kaki Meli. Namun kondisi kesehatan sang ibu semakin memburuk akibat terserang stroke. Separuh tubuh bagian kirinya terasa mati suri"

Pebriansyah Ariefana

Mal Praktek di Rumah Sakit
mal praktek, rumah sakit, dokter, firmanto hanggoro, penyakit

KBR68H - Ikatan Dokter Indonesia mengklaim menerima aduan puluhan kasus dugaan mal praktek. Namun tak jelas berapa persis kasus yang sudah diselesaikan. Termasuk dokter yang sudah diberi sanksi akibat lalai mengobati pasien. Tak jarang kasus pelanggaran kode etik kedokteran ini memakan korban jiwa. Vivi Yulianti dan Firman Hanggoro bercerita kepada KBR68H tentang dugaan mal praktek yang dialami anggota keluarga mereka.  

Meliaty Tyahya terbaring lemas di kamar perawatan Rumah Sakit Saint Carolus Summarecon Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Ia ditemui usai kakinya dioperasi akibat terjatuh.Telapak kaki kirinya yang terbungkus perban terlihat bengkak. Kontras dengan pangkal paha sampai betis kaki perempuan 67 tahun  yang tulangnya terlihat menonjol terbungkus kulit .

“Kan saya bengkak kakinya. Dari kaki langsung ke sini nih bengkak. Saya pikir kan ya sudah kontrol. Pas di kontrol dokter, dia bilang oh ini ada nanah sama darah. Dibelek  (bedah-red) sama dia, kan saya pikir ini operasi kecil yah. Pas dioperasi total, kaki sama tangan nggak bisa apa-apa,” cerita Meli.

Di ruangan itu Vivi Yulianti, anak perempuannya ikut mendampingi.  Menurut Vivi kondisi kesehatan ibunya memburuk diduga akibat salah diagnosa. Dokter bedah rumah sakit itu, Hendri Ongkojoyo dituding tak teliti membaca catatan radiologi yang menunjukan adanya infeksi di luka Meli. Setelah dua bulan, luka itu tidak dioperasi. Saat itu kaki Meli makin bengkak akibat tulang tumitnya hancur. Badannya menggigil hebat akibat demam dan tingginya gula darah.

“Saya minta second opinion sama doktor ortopedi surgeon. Saya kasih foto pertama tanpa saya kasih lihat radiologi saja dia sudah bilang, aduh tulangnya tipis banget. Ini ada, kenapa bisa bisa begini. Ini bahaya loh. Ya sudah bawa ke saya, ini saya bisa tangani. Itu foto pertama, foto terbaru kan sudah hancur tulangnya. Seharusnya kalau dokter Hendri itu sigap dan melakukan prosedur yang benar, dia foto dan bisa melihat kalau itu ada masalah memang. Saat itu dia bilang, ini cuma luka kecil, nanti juga membaik, bagus kok lukanya. Dia bilang besok saya belek kecil aja di sini, ini kan bengkak nanti juga kempes lagi. Kan kita tenang kan dengernya,” kata Vivi.

Vivi pun protes ke pihak rumah sakit. Pihak rumah sakit akhirnya bersedia mengoperasi kaki Meli. Namun kondisi kesehatan sang ibu semakin memburuk akibat terserang stroke. Separuh tubuh bagian kirinya terasa mati suri.

Buruknya layanan Rumah Sakit Carolus Serpong memaksa Vivi meminta surat rekomendasi pindah ke  rumah sakit berbeda. Namun setelah ditunggu berhari-hari,  pihak rumah sakit tak juga memberikan surat tersebut. Vivi berkeras memindahkan ibunya ke rumah sakit lain. “Begitu keluar, saya mau siap-siap mama keluar, costemer service-nya mendekati saya. Vivi masih mau mama dirawat di sini nggak. Kalau masih mau, kita upgrade ke kamar VIP aja gitu. Saya bilang boleh, tapi saya nggak mau nambah deposit. Kata dia okay.”

Meli kembali dirawat di rumah sakit itu dengan fokus penyembuhan stroke ringan. Sementara penyakit lainnya diabetes  tak ditangani. Alasannya rumah sakit tidak memiliki dokter bedah tetap yang mampu melakukan operasi khusus bedah luka pasien diabetes.

Selama perawatan di rumah sakit Vivi sudah menghabiskan biaya berobat orang tuanya hingga Rp 35 juta lebih. Biaya ini belum termasuk perawatan pasca-operasi yang kemungkinan akan membengkak, mengingat ibunya dirawat di ruang VIP. “Nggak ada indikasi untuk membebaskannya. Mereka cuma bilang diskon. Bahkan saat pertama meeting dengan dokter, katanya dokter-dokter diminta voulentir untuk merawat mama saya dengan sukarela tanpa dibayar. Lho kok kayak gitu, saya bengong,” terang Vivi.

KBR68H menemui pihak Rumah Sakit Saint Carolus Summarecon Serpong. Saat diwawancarai direkturnya, Fina Yusuf lebih banyak diam. 

KBR68H: Mungkin dari Bu Fina dulu yah yang menjelaskan, bagaimana situasi terakhir kasus itu?
Krismini: mungkin ke saya dulu kali yah
Fina: Saya sudah melimpahkan ke humas.

Rumah sakit itu lewat juru bicaranya Krismini membantah tudingan terjadinya mal praktek dokter  yang berujung lumpuhnya pasien. Dia justru menyalahkan pasien yang tidak jalani rawat jalan, sehingga penyakit Meli makin parah.
Krismini: Bahwa ini jelasnya ini suatu penyakit yang tidak terkontrol dengan baik itu menimbulkan komplikasi ke mana-mana. Salah satunya yang ibu Vivi bilang stroke, itu salah satu komplikasinya.
KBR68H: Dokternya salah menangani?
Krismini: Tidak terkontrol dengan baik itu tidak hanya dari dokternya. Justru lebih banyak tergantung dari pasiennya. Apakah pasiennya minum obat secara betul, apakah pasiennya kontrol ke dokter secara betul. Atau memang beratnya penyakit itu sehingga sulit untuk dikontrol.

Krismini juga bantah kualitas layanan di rumah sakit yang baru berdiri 2 tahun itu tergolong rendah . “Great C itu bukan berarti A itu lebih baik, B itu kurang. Bukan begitu,” tegasnya.

Sementara dokter Hendri Ongkojoyo yang mengobati Meli menolak berkomentar soal tudingan mal praktek.

Sebagai bentuk tanggung jawab, kata Krismini rumah sakit akan memberikan potongan biaya untuk berobat Meli. Namun ia menolak menyebutkan jumlah besaran rupiah yang dikorting.

Kasus dugaan mal praktek oleh dokter terjadi juga di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong, Bogor,  Jawa Barat. 

  • mal praktek
  • rumah sakit
  • dokter
  • firmanto hanggoro
  • penyakit

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!