Article Image

SAGA

Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru (Bagian 2)

"Media alternatif yang tak terdaftar di Dewan Pers harus mengatur strategi agar tidak mudah terjerat UU KUHP baru. "

Tangkapan layar laman media alternatif, Mubadalah, yang memuat tulisan Hafidzoh soal toleransi.

KBR, Jakarta - Hafidzoh Almawaliy, menjadi kontributor Mubadalah sejak 2021. Media alternatif yang lahir di Cirebon, Jawa Barat pada 2017 ini dikenal dengan perspektif keislamannya yang terbuka dan progresif.

Konten-konten yang diunggah seperti keadilan jender dan toleransi berpotensi diserang kelompok yang berseberangan.

“Dari awal sadar apa yang saya tulis, isu-isu tentang hak-hak perempuan dan anak, soal gender, dialog antar-agama itu akan menyinggung kelompok-kelompok tertentu,” kata Hafidzoh.

Hafidzoh sempat mendapat serangan digital. Fitur pesan di Facebook-nya berulang kali dikirimi tautan video porno. Serangan ini diduga terkait unggahan tulisan-tulisannya di Mubadalah.

“Itu tidak memanusiakan sesama, seenaknya sendiri spam seperti itu. Bagi saya, spam, bentuk kekerasan sebetulnya,” ujarnya tegas.

Kini, Hafidzoh menerapkan langkah preventif, sebelum mengirimkan tulisan ke Mubadalah. Bahasa yang digunakan pun, diperhalus agar tidak terkesan ofensif.

“Saya memegang prinsip validasi data, double crosscheck, bahkan multi-crosscheck, ketika semua itu sudah dilakukan ya maju saja, tulis saja, jangan pernah ragu jangan pernah takut,” ucap perempuan yang aktif di Gusdurian ini.

Baca juga: Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru (Bagian 1)

Pemred Mubadalah, Zahra Amin memastikan tulisan yang masuk dikurasi ketat. (Dok: KBR/ Valda)

Hafidzoh berstatus penulis lepas di media yang tidak terdaftar di Dewan Pers. Artinya, perempuan 39 tahun ini menyandang kerentanan ganda karena minimnya perlindungan.

Apalagi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, masih memuat pasal-pasal karet. Misalnya, pasal tentang penyebaran berita bohong atau hoaks, yang rentan dipakai untuk mengkriminalkan media alternatif.

Di dapur redaksi pun mulai diterapkan sunting ketat sebelum menerbitkan konten. 

“Jadi kalau yang masih bias-bias itu saya kembalikan ke penulisnya. Kamu masih belum Mubadalah, saya bilang, belum clear perspektifnya," Pemimpin Redaksi Mubadalah, Zahra Amin.

Zahra putar otak bagaimana melindungi Mubadalah dan para kontributor dari potensi kriminalisasi. Di sisi lain, kepercayaan pembaca juga mesti dijaga.

“Harus ada proses review, kita lebih memikirkan dampak jangka panjang atau sustain berkelanjutan, ga asal bisa viral atau kontroversi tapi akhirnya justru membuat kepercayaan orang hilang,” ujarnya.

Baca juga: Minoritas Hidup Damai di Kota Doa

Laporan 2019-2022 yang diterima oleh LBH Pers terkait kekerasan terhadap pers media alternatif. Dok: (LBH Pers)

Mubadalah patut was-was karena tren kriminalisasi terhadap media, meningkat, berdasarkan data LBH Pers periode 2019 - 2022. Laporan itu diterima dari jurnalis di berbagai wilayah di Indonesia.

Kekerasan yang dialami media alternatif, khususnya pers mahasiswa berupa pembredelan, sanksi akademik, ancaman, hingga pelaporan ke polisi.

Ketua LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan Jakarta menduduki peringkat tertinggi kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan delapan laporan. Disusul Sulawesi Selatan dan Jawa Timur, masing-masing dengan tiga kasus. 

“Tren kriminalisasi itu cukup tinggi, meskipun yang sampai pengadilan hanya beberapa. Tapi dilaporkan saja sudah masuk kategori menakut-nakuti pers. Nah, itu yang potensinya sangat rentan saat ini, apalagi media-media alternati, di pers mahasiswa atau media-media komunitas,” jelas Ade.

Ade menyayangkan minimnya perlindungan terhadap media alternatif. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya memayungi media arus utama yang terverifikasi Dewan Pers. Padahal, mestinya, undang-undang itu melindungi setiap produk jurnalistik, termasuk yang dihasilkan media alternatif.

“Kalau ternyata karyanya adalah produk jurnalistik yang memang secara kompetensi kode etik jurnalistik terpenuhi, ya dia harus dilindungi oleh UU Pers, terlepas nanti badan hukumnya debatable,” katanya.

Baca juga: Indahnya Keberagaman di Kota Paling Toleran, Salatiga

Ade Wahyudin mendorong media alternatif untuk menulis sesuai dengan kode etik jurnalistik agar terhindar dari ancaman jerat KUHP baru. (Dok: KBR)

Guna menutup celah kriminalisasi, media alternatif didorong untuk meningkatkan kualitas produk dan kapasitas jurnalis atau penulisnya.

Redaksi juga bisa menerapkan strategi sensor nama untuk memproteksi jurnalis, ketika meliput isu-isu sensitif.

“Redaksinya punya kebijakan dalam kasus-kasus yang sensitif hanya menuliskan singkatan, itu akan setidaknya me-minimalisir penemuan untuk doxing,” ujar Ade.

Di lain pihak, kapasitas penegak hukum juga wajib ditingkatkan agar tidak asal menafsirkan pasal-pasal di KUHP baru. Harus ada penjelasan rinci soal implementasi dan penegakan hukumnya.

"Kalaupun nanti akan membuat buku penjelasan ataupun me-mainstreaming dari penegak hukum, ya kita harus bilang, pasal ini tidak boleh diterapkan kepada produk jurnalistik," jelasnya.

Ade mengingatkan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat adalah pilar demokrasi. Ia menyinggung hasil riset Economist Intelligence Unit 2022 yang menyebut demokrasi di Indonesia stagnan. Ade khawatir, sahnya KUHP baru bakal memperburuk kondisi ini, karena memuat pasal-pasal bermasalah.

"Masyarakat banyak takut untuk menyampaikan pendapat. Ini berbahaya, kalau persnya takut, narasumbernya juga takut, yang dirugikan adalah publik,” pungkas Ade.

Penulis: Valda

Editor: Ninik Yuniati