BERITA
Rabi Yaakov Baruch tengah beribadah di Sinagoge Shaar HaShamayim, Tonado Barat, Kota Manado, Sulawesi Utara. FOTO: KBR/Budhi Santoso
Pengantar:
Konflik Palestina-Israel selalu mengundang reaksi publik di tanah air. Isu sensitif ini kerap memantik sentimen antisemitisme akibat salah kaprah menyamakan negara Israel dengan bangsa Yahudi maupun penganut Yudaisme. Namun, hal itu tak terjadi di Kota Manado, Sulawesi Utara. Di sana, berdiri rumah ibadah umat Yahudi atau sinagoge-satu-satunya di Indonesia. Keberadaannya menaungi komunitas kecil penganut Yudaisme yang bebas beribadah secara terbuka. Jurnalis KBR Wahyu Setiawan berbincang dengan mereka tentang kehidupan toleran di Kota Doa.
KBR, Manado - Mei 2021, konflik Palestina-Israel kembali pecah. Peristiwa ini memicu reaksi di tanah air lewat demonstrasi mendukung Palestina di berbagai daerah.
Namun, situasi itu tak pernah mengusik komunitas kecil penganut Yudaisme di Tondano Barat, Kota Manado, Sulawesi Utara.
“Tidak ada masalah. Karena orang-orang di Manado itu sangat dewasa. Baik kalangan muslim, Kristen, apalagi yang mayoritas, mereka sangat-sangat tolerannya tinggi,” kata rabi atau pemuka agama Yahudi, Yaakov Baruch.
Malahan, Rabi Yaakov kerap diundang untuk bertukar pikiran tentang konflik di Timur Tengah.
"Mereka sangat-sangat mendukung orang Yahudi ada di Sulut. Jadi mereka ingin tahu dan mereka jadikan keberadaan kami sebagai tempat untuk menggali informasi tentang apa yang terjadi di Timur Tengah. Lewat persahabatan itu, ya kita berusaha tidak mendatangkan bias dari konflik itu. Tapi kita tetap menjalankan tali silaturahmi yang baik,” ungkap Yaakov.
Suasana ibadah Weekdays di Sinagoge Shaar HaShamayim. Sinagoge ini satu-satunya rumah ibadah penganut Yudaisme di Indonesia. (FOTO:KBR/Budhi Santoso)
Ruang dialog itu menjadi tempat Yaakov mengklarifikasi kesalahpahaman soal isu Palestina sekaligus mengikis stigma terhadap umat Yahudi.
"Dari segi politik, dibawa-bawa lagi soal Yahudi. Jadi belum bisa dibedakan antara Israel dengan Yahudi. Hal-hal yang begini yang kadang bikin khawatir orang. Sehingga terlalu digampangkan, seolah-olah kayak Yahudi itu musuh negara. Hal-hal yang bisa membahayakan orang Yahudi sendiri di Indonesia. Padahal kami bagian, kami warga negara Indonesia, kami bukan orang asing,” tegas Yaakov.
Meski minoritas, umat Yahudi di Manado bebas beragama dan beribadah. Jumlahnya sekitar 30-an orang.
Ibadah digelar di Sinagoge Shaar HaShamayim yang dibangun pada 2004 silam. Ini adalah rumah ibadah umat Yahudi satu-satunya di Indonesia.
Mereka juga bebas mengenakan alat-alat sembahyang seperti jubah doa (tallil), kippah dan kotak kulit hitam berisi gulungan perkamen bertuliskan ayat-ayat Taurat (tefillin).
Reginald, tetua umat Yahudi Kota Manado tengah memimpin ibadah dari mimbar (tebah). Ia mengenakan peralatan sembahyang seperti kotak hitam bertuliskan ayat Taurat (tefilin). (FOTO: KBR/Budhi Santoso)
Rabi Yaakov Baruchlah yang merintis komunitas Yahudi dan pembangunan sinagoge di Manado. Ia lahir di Jakarta kemudian pindah ke Manado ketika usia SD. Saat duduk di bangku SMA, pria berusia 39 tahun ini mengetahui punya garis keturunan Yahudi. Sejak itu, ia mulai memelajari agama nenek moyangnya.
“Apalagi masuk bangku kuliah, saya mulai mendalami lebih jauh. Dan di awal-awal kuliah tersebut saya mulai menghubungi orang-orang Yahudi yang lain untuk membuat sinagoge saat itu di Manado. Kemudian setelah itu sudah berjalan kurang lebih 21 tahun kita mulai dan akhirnya sampai saat ini ada di Tondano,” kisah Yaakov.
Jenny yang beragama Kristen mengenang saat awal mula sinagoge dibangun.
“Dulu waktu awal itu sebelum bentuk ini (sinagoge), rabi selalu di sini. Apa-apa saja misalnya perlu bantuan di sini. Tapi kan ini sudah bagus (sinagoge),” ceritanya.
Komunitas Yahudi bertetangga dekat dengan warga sekitar.
“Waktu rabi menikah dulu itu undang semua tetangga di sini. Prosesi perkawinannya itu beda ya. Jadi saya senang sekali lihat pernikahan orang Yahudi, saya senang,” ujar Jenny.
Rabi Yaakov memperlihatkan gulungan Taurat yang disimpan di lemari (hechal) sinagoge. (FOTO: KBR/Budhi Santoso)
Harmoni itu juga tampak saat bulan Ramadan lalu. Sinagoge mengundang komunitas Gusdurian Manado untuk buka puasa bersama.
“Kami siapkan karpet. Di situ saat mereka Salat Magrib, kami ada yang berdoa secara waktu Yahudi, sama-sama di petang. Di situ kami merasakan kedamaian yang luar biasa. Karena kami bisa berdoa bersama dengan beda barisan tentunya, supaya tidak mengganggu yang salat. Tapi kami bisa merasakan gimana kedamaian dari Ilahi itu, dari Tuhan itu, turun ke bumi. Kami bisa berdoa masing-masing dengan bebas tanpa terjadi cekcok atau perdebatan,” ujar Yaakov.
Perjumpaan lintas iman ini makin mempertebal persaudaraan antara umat Yahudi dan Islam di Sulawesi Utara.
"Melihat mereka punya (sinagoge), ini kan kekayaan yang harus dihormati. Soal benar dan salah atau sesat dan tidak, kenapa kita ambil wilayah kerja-kerja yang sebenarnya bukan wilayah kapasitas kita," kata Taufik Bilfaqih, tokoh Gusdurian Manado.
Komunitas Gusdurian Salat Maghrib berjemaah di dalam sinagoge saat acara buka puasa bersama pada Ramadan 2021. (FOTO: dok Yaakov Baruch.)
Panasnya konflik Palestina-Israel pun tak mengusik hubungan kedua umat beragama.
“Kalau pun ada di medsos, ya medsos ini kan semua orang bisa menggunakan caranya. Jangankan untuk masalah agama, masalah rumah tangga pun diumbar di medsos. Tapi, tidak kemudian berpengaruh terhadap eksistensi teman-teman Yahudi,” imbuhnya.
Taufik menegaskan dukungan komunitas Gusdurian terhadap keberadaan umat Yahudi di Manado.
"Kami akan tetap berada di wilayah terdepan untuk ikut memberikan dukungan, men-support, menghormati, serta memberikan apresiasi kepada pemerintah kalau kemudian teman-teman sinagoge, teman-teman Yahudi yang ada di Minahasa itu, diberikan ruang sebebas-bebasnya, diberikan kesempatan, dan ini harus menjadi inspirasi buat daerah lain,” tegas Taufik.
Tokoh komunitas Gusdurian, Taufik Bilfaqih. (FOTO: KBR/Budhi Santoso)
Yaakov berharap perdamaian lintas iman terus terjalin di Kota Doa dan menular ke daerah lain.
“Toleransi itu bukan, misalnya saya berkunjung ke gereja, lalu saya menggunakan atribut kristen. Atau saya berkunjung ke masjid lalu saya menggunakan atribut Muslim. Itu bukan toleransi buat saya. Toleransi itu bisa menerima perbedaan keyakinan teman-teman muslim dan teman-teman Kristen. Bisa menerima itu, itu toleransi,” pungkas Yaakov.
Penulis: Wahyu Setiawan
Editor: Ninik & Citra DP