Article Image

SAGA

Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru (Bagian 1)

"Mubadalah adalah media alternatif keislaman yang mengusung kesetaraan jender. Mereka rentan mendapat serangan karena konten-kontennya"

Diskusi redaksi media alternatif Mubdalah tentang proteksi siber dan menyajikan konten media sosial yang kredibel. (Dok: Valda/KBR)

KBR, Jakarta - Ingatan Zahra Amin kembali ke momen genting di 2021. Sontak, ia panik begitu Instagram Mubadalah, tidak bisa diakses. Ternyata, ada percobaan peretasan. Segala upaya ia lakukan agar akun Mubadalah kembali pulih, termasuk membuat laporan ke Instagram.

“Kita sempat ga bisa ngakses Instagram 1,5 hari. Gimana galaunya kan, kehilangan sekian puluh ribu followers,” kenang Zahra.

Kala itu, Zahra baru setahun memimpin redaksi Mubadalah, media alternatif berperspektif Islam. Media yang lahir pada 2017 di Cirebon, Jawa Barat ini banyak menyuguhkan narasi progresif tentang keadilan gender.

Serangan digital tak hanya sekali. Situs mubadalah.id sempat down karena jumlah kunjungan yang membeludak.

Pemicunya, unggahan artikel berjudul "Tiga Alasan Perempuan Haid Boleh Berpuasa". Tulisan ini diakses hingga 17 ribu kali. Fitur Direct Message (DM) di Instagram Mubadalah mendadak kebanjiran komentar bernada ujaran kebencian.

"Yang soal perempuan haid boleh puasa, kita di satu sisi diapresiasi, di sisi lain juga dicaci maki, sudah biasa. Website server-nya pernah down, pernah satu hari satu malam, tapi bisa baliklah,” katanya.

Baca juga: Toleransi yang Mengakar di Ciampea

Tangkapan layar laman mubadalah.id. Media alternatif keislaman ini menyuguhkan konten-konten progresif tentang keadilan jender. (Dok: Laman mubadalah.id)

Tulisan-tulisan di Mubadalah dianggap melenceng dari perspektif Islam tertentu.

"Ketika ada kontroversi, di satu sisi mungkin menaikkan engagement, tapi di sisi lain, harusnya kita, media, bisa memberikan bacaan alternatif. Islam itu tidak hanya satu pemahaman atau satu warna. Ada pendapat ulama yang berbeda, dan perbedaan itu adalah rahmat,” ungkap Zahra.

Hafidzoh Almawaliy, kontributor di Mubadalah, ikut ketar-ketir karena media sosialnya juga diserang. Awal 2023, akun Facebook-nya hampir diretas. Serangan muncul tak berapa lama setelah tulisannya diunggah Mubadalah.

“Belakangan ini saya lebih intens lagi di Mubadalah. Beberapa waktu kemarin memang sempat ada informasi dari Facebook, bahwa akun saya akan diambil alih,” jelas Hafidzoh.

Tak cuma itu, fitur pesan di Facebook-nya kerap dikirimi video porno.

“Biasanya saya di-attach di-mention di beberapa video yang seperti itu. Jadi bukan sekadar spam, itu memang salah satu intimidasi,” ujarnya.

Ibu dua anak asal Pati, Jawa Tengah ini makin selektif menerima pertemanan di media sosial.

“Saya melakukan screening, kalau ada permintaan pertemanan. Ya saya akan menunggu, tidak langsung saya confirm balik,” kata Hafidzoh.

Baca juga: Cadar Garis Lucu, Upaya Muslimah Bercadar Kikis Stigma

Hafidzoh mengalami serangan siber setelah kembali aktif menulis di media alternatif, Mubadalah, pada Januari 2023. (Dok: KBR)

Langkah proteksi juga dilakukan redaksi Mubadalah guna menangkis kekerasan siber. Misalnya rutin mengganti kata sandi dan memperketat akses ke website maupun media sosial.

Ancaman KUHP baru

Kasus-kasus ini memperlihatkan media alternatif seperti Mubadalah rentan diserang dan diperkarakan.

Terlebih, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, masih memuat sejumlah pasal karet.

Pemimpin Redaksi Mubadalah, Zahra Amin khawatir dengan pasal 263 tentang larangan penyebaran berita bohong atau hoaks.

“Berita bohong ini ukurannya tidak jelas karena tidak pasti, karena bisa saja pelapor akan mengeklaim kalau beritanya bohong. Ini akan jadi jerat bagi pers, alami kriminalisasi,” kata Zahra.

Kerentanan makin tinggi karena Mubadalah dinaungi Yayasan Fahmina, bukan perusahaan media yang terdaftar di Dewan Pers.

Baca juga: Inspirasi Keberagaman dari Pulau Flores

Pemred Mubadalah, Zahra Amin khawatir KUHP baru bisa mengancam kerja pers dan kebebasan berpendapat. (Foto: KBR/ Valda)

Pasal lain yang membuat Zahra cemas adalah pasal 408 tentang larangan menyiarkan tulisan tentang alat kontrasepsi. Padahal, Mubadalah juga membahas topik terkait hak kesehatan reproduksi.

“Ada perlindungan jiwa perempuan dari kehamilan akibat perkosaan. Yang kedua, perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, itu akan terkait juga dengan pasal-pasal ini,” tutur Zahra.

Bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur. KUHP dengan muatan pasal-pasal bermasalah telanjur sah. Media alternatif seperti Mubadalah mesti menyiapkan strategi berlapis, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk.

“Mungkin nanti harus ada upaya sosialisasi atau upaya preventif, atau bagaimana kita mensiasati. Karena kan kita mikirnya sustain ya, berkelanjutan campaign itu. Kalau terlalu frontal kan orang jadi antipati, bagaimana pesan kita juga bisa sampai kepada para pembaca,” ucap Zahra.

Penulis: Valda

Editor: Ninik Yuniati