BERITA

Sri Mulyani Tantang Dirut Pertamina Lakukan Budget Tagging untuk Pengurangan Emisi Karbon

""Saya berharap Pertamina seharusnya melakukan hal yang sama. Can you do the budget taking? i will challenge Ibu Emma sebagai CFO-nya. how much actually you spend on your operational cost""

Ranu Arasyki

Logo Pertamina
Logo Pertamina

KBR, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan tantangan kepada Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero) Emma Sri Martini untuk melakukan budget tagging atau penandaan anggaran yang bersifat transparan untuk menangani pengurangan emisi karbon menuju 2060.

Dia mengatakan, sejak 2016, Kemenkeu telah memperkenalkan budget tagging belanja pemerintah dari APBN terkait perubahan iklim. Dengan begitu, alokasi anggaran diharapkan dapat transparan dan akuntabel.

"Saya berharap Pertamina seharusnya melakukan hal yang sama. Can you do the budget tagging? I will challenge Ibu Emma sebagai CFO-nya. Can you do the budget tagging, how much actually you spend on your operational cost, investment cost, capital spending which is related to climate change? Sehingga kita bisa tahu, pemerintah hanya bisa afford 23 persen dari total belanja untuk bisa mentransformasikan ekonomi Indonesia sesuai dengan National Determine Contribution kita," ujarnya pada acara Pertamina Energy Webinar, Selasa (7/12/2021).

Saat ini, kata Sri Mulyani, Kemenkeu bertanggung jawab mendesain dan merancang regulasi bersama dengan kementerian lain, Kementerian LHK, ESDM, BUMN, dan Kementerian PPN/Bappenas terkait penurunan emisi karbon dan percepatan EBT.

Baca Juga:

Pemerintah juga tengah membangun kerangka kerja fiskal untuk menangani isu perubahan iklim di tingkat domestik. Menurut dia, regulasi itu bukan hanya dari sisi belanja, tapi juga tax session sebagai bentuk insentif, subsidi, dan juga dari sisi pembiayaan.

Sri Mulyani mengatakan, meski pengurangan emisi karbon memiliki konsekuensi besar atas belanja negara, tetapi pemerintah akan berupaya untuk menjaga APBN agar tetap sehat. Dia tidak ingin, investasi karbon justru merusak struktur APBN.

"Apakah ada dampak fiskalnya? Sangat banyak. Seperti yang tadi saya sebutkan, APBN memiliki banyak sekali instrumen, konsekuensi harus kita jaga. APBN tidak boleh menjadi rusak atau sakit. Jadi APBN harus tetap sehat supaya bisa melakukan dan mendukung transformasi dan pemulihan ekonomi. Apalagi kita masih dalam situasi pandemi. Namun, tidak berarti APBN tidak mampu untuk mulai bekerja dalam mendesain dan melakukan signal linked, atau bahkan insentif untuk menuju transformasi energi ini," jelasnya.

Dia mengatakan, Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan langkah awal dimulainya mekanisme pasar karbon untuk melaksanakan komitmen net zero emission.

Kebijakan ini mengatur tentang perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon.

Nantinya, dalam mekanisme pasar, pemerintah menciptakan trading antara perusahaan yang memiliki kontribusi untuk menurunkan CO2 dengan perusahaan yang masih mengeluarkan CO2. Saat ini, Indonesia masih menetapkan harga yang sangat murah bagi perusahaan yang masih menghasilkan emisi karbon, yakni US$2 per ton CO2. 

  "Bisa dilakukan trading antar mereka. Kalau trading tidak sempurna, kita masih punya instrumen baru yang DPR telah menyepakatinya yang disebut carbon tax. Sehingga dari trading, price dari karbon yang dimulai di Indonesia dengan sangat murah US$2 per ton CO2e. Sangat jauh berbeda dengan Kanada yang sekarang sudah di atas US$45 dan menuju US$75 , bahkan US$125 per ton," ujarnya.

Editor: Agus Luqman

  • Sri Mulyani Indrawati
  • Pertamina
  • APBN
  • EBT
  • pajak karbon

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!