RAGAM

Akademisi: Demokrasi Indonesia tidak Mendukung Perlindungan Lingkungan

"Ward: "Seringkali politisi membagikan konsesi, lisensi dan kontrak pemerintah kepada pengusaha sebagai imbalan atas biaya kampanye mereka.""

Eka Lestari

Akademisi: Demokrasi Indonesia Tidak Mendukung Perlindungan Lingkungan
Tangkapan layar webinar Greenpeace: Indonesia dalam Persimpangan Oligarki dan Demokrasi

KBR, Jakarta - Profesor Comparative Political Anthropology Universitas Amsterdam dan Peneliti Senior, Ward Berenschot mengatakan bahwa demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia saat ini belum kondusif untuk membangun pemerintahan yang baik. Menurutnya, demokrasi di Indonesia belum kondusif untuk pemberantasan korupsi, memperkuat supremasi hukum, keadilan sosial dan bahkan melindungi lingkungan. “Demokrasi Indonesia tidak mendukung perlindungan lingkungan, sebaliknya karakter demokrasi Indonesia memfasilitasi perusakan lingkungan seperti penggundulan hutan, pencemaram industri dan banjir,” Ujar Ward.

Ward telah mengikuti dan meneliti jalannya kampanye politik di Indonesia. Dalam penelitian tersebut, ia menemukan bahwa faktor utama dari demokrasi yang tidak kondusif dan merusak lingkungan adalah unsur utama dalam politik, yaitu “pemilu”. Peneliti senior ini menyebutkan bahwa kampanye pemilu di Indonesia sangat mahal. “Biaya kampanye yang mahal akhirnya membuat politisi merasa perlu melakukan korupsi dan juga perlu menjalin hubungan kolusif yang erat dengan pelaku ekonomi atau oknum-oknum tertentu. Tingginya biaya kampanye telah menghasilkan praktik saling memberi yang sangat merusak,” Jelas Ward dalam seminar bertajuk Indonesia dalam Persimpangan Oligarki dan Demokrasi yang disiarkan langsung di kanal Youtube Greenpeace, pada Selasa, 28 September 2021. Ia menambahkan, seringkali politisi membagikan konsesi, lisensi dan kontrak pemerintah kepada pengusaha sebagai imbalan atas biaya kampanye mereka. Praktik ini menjadi menjadi salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Baca juga: Pelantikan Menteri, Greenpeace Pajang Spanduk Raksasa di Bundaran HI dan Pancoran

Ward menjelaskan, beberapa hal yang mengakibatkan tingginya yaitu, mahar politik, pembentukan tim sukses, praktik politik transaksional untuk membeli suara, dan para kandidat yang perlu mengeluarkan biaya untuk membayar saksi di TPS atau praktik suap. Peneliti senior ini mengatakan bahwa demokrasi Indonesia harus direformasi. “Kalau demokrasi belum direformasi, upaya organisasi lingkungan akan terus terhambat oleh kepentingan politik yang kuat. Perlindungan lingkungan hidup harus berjalan beriringan dengan perlindungan demokrasi di Indonesia”.

  • adv
  • greenpeace
  • perlindungan hutan
  • pencemaran
  • demokrasi
  • politisi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!