OPINI ANDA
Merangkai Kepingan Demokrasi di Kanvas Digital
Pilkada, yang seharusnya menjadi pesta demokrasi lokal, kini berpotensi menjadi ajang perang informasi.
AUTHOR / Arif Perdana
-
EDITOR /
Hoaks dan disinformasi telah menjadi hantu yang membayangi demokrasi kita. Baru saja Indonesia menyelesaikan pemilihan presiden (pilpres) yang sempat diwarnai dengan hoaks di media sosial. Video-video manipulatif dan narasi-narasi provokatif menyebar bagai virus, memecah belah masyarakat dan mengancam legitimasi proses demokrasi.
Kini, saat debu Pilpres belum sepenuhnya reda, kita dihadapkan pada tantangan baru yang tak kalah pelik. Dalam hiruk-pikuk Pilkada 2024 yang akan melibatkan 508 kabupaten/kota dan 37 provinsi di November ini, ancaman ini semakin nyata dan mengkhawatirkan. Menurut prediksi Nyarwi Ahmad dari Universitas Gajah Mada, kita akan dihadapkan pada tsunami informasi palsu dengan proyeksi minimal 2.500 hingga 10.000 hoaks yang akan beredar. Angka yang mencengangkan ini bukan sekadar statistik, tetapi potret buram dari tantangan demokrasi kita di era digital.
Pilkada, yang seharusnya menjadi pesta demokrasi lokal, kini berpotensi menjadi ajang perang informasi. Berbeda dengan Pilpres yang memiliki resonansi nasional, hoaks dalam Pilkada memiliki karakteristik yang lebih spesifik dan lokal. Isu-isu yang beredar seringkali mencerminkan dinamika dan ketegangan sosial yang ada di daerah tersebut. Ini membuat penyebaran hoaks dalam Pilkada menjadi lebih sulit dideteksi dan ditangani secara seragam.
Baca juga:
- Akhirnya, Revisi PKPU Pilkada Sesuai Putusan MK
- Diperiksa Polisi, Hasto Bantah Sebarkan Berita Bohong Kecurangan Pemilu
Tema-tema hoaks yang beredar pun beragam, namun memiliki pola yang cenderung berulang. Isu SARA masih menjadi primadona, dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar tentang keberpihakan kandidat terhadap kelompok tertentu. Kecurangan pemilu, rumor kesehatan kandidat, hingga isu penggunaan dana kampanye ilegal, semuanya menjadi amunisi dalam perang informasi ini. Yang memprihatinkan, isu-isu ini seringkali diungkit kembali dari Pilkada sebelumnya, menunjukkan bahwa kita belum belajar dari pengalaman masa lalu.
Yang lebih mengkhawatirkan, sumber hoaks tidak hanya berasal dari pihak eksternal. Aktor-aktor internal seperti kandidat, tim sukses, bahkan penyelenggara pemilu sendiri, baik sengaja maupun tidak, dapat menjadi sumber disinformasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis integritas informasi telah merasuk ke dalam inti proses demokrasi kita. Ini bukan lagi sekadar masalah teknis, tetapi menyangkut etika dan integritas seluruh pemangku kepentingan dalam proses demokrasi.
Demokrasi di Ujung Jari
Lanskap media sosial yang semakin kompleks memperburuk situasi. WhatsApp dengan grup-grup tertutupnya menjadi sarang penyebaran informasi yang sulit diawasi. Facebook, dengan algoritma yang memprioritaskan konten sensasional, justru memperkuat gaung disinformasi. Twitter (X), dengan viralitas hashtag-nya, memungkinkan narasi palsu menyebar dalam hitungan detik. Sementara Instagram, dengan konten visual yang mempengaruhi emosi, menjadi medan subur bagi manipulasi opini publik.
Belum lagi dengan hadirnya AI Generatif (GenAI) yang mampu menciptakan konten palsu yang nyaris tidak dapat dibedakan dari yang asli. Belum hilang dari ingatan kita deepfake video mantan Presiden Soeharto dan Presiden Jokowi berbahasa mandarin menjelang pilpres 2024. Teknologi ini membuka kotak Pandora baru dalam dunia disinformasi. Video deepfake, artikel yang tampak otentik, bahkan bot yang mampu berinteraksi layaknya manusia, semuanya menjadi alat baru dalam arsenal perang informasi. Ini bukan lagi era di mana kita bisa mengandalkan mata telanjang atau intuisi untuk membedakan fakta dari fiksi.
Di tengah badai disinformasi ini, muncul ancaman lain yang tidak kalah serius: kebocoran data. Potensi penyalahgunaan data pemilih untuk kepentingan politik dan manipulasi elektoral menjadi momok baru yang mengancam integritas pemilu. Ini bukan hanya soal privasi, tetapi juga tentang kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi kita. Bayangkan skenario di mana data pribadi pemilih jatuh ke tangan yang salah, digunakan untuk micro-targeting kampanye disinformasi, atau bahkan untuk memanipulasi hasil pemilu. Ini bukan lagi skenario film fiksi, tetapi ancaman nyata yang harus kita hadapi.
Membangun Kekebalan Kolektif
Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Kita perlu pendekatan multidimensi yang melibatkan semua elemen masyarakat. Jurnalisme investigatif yang tajam dan kritis harus menjadi garda terdepan dalam membongkar praktik-praktik manipulasi informasi. Media harus berani mengedepankan verifikasi fakta yang ketat, bahkan jika itu berarti melawan arus popularitas atau sensasionalisme. Jurnalis harus kembali ke akar profesi mereka: mengungkap kebenaran, bukan sekadar menjadi corong informasi.
Namun, beban ini tidak bisa hanya dipikul oleh media. Masyarakat harus bertransformasi dari konsumen pasif menjadi penjaga aktif informasi. Sikap skeptis dan kritis terhadap setiap informasi yang diterima harus menjadi budaya baru di era post-truth ini. Literasi digital bukan lagi sekadar kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kecakapan dalam memilah dan memverifikasi informasi. Ini berarti kita perlu revolusi dalam sistem pendidikan kita, di mana kemampuan berpikir kritis dan verifikasi informasi menjadi keterampilan dasar yang diajarkan sejak dini.
Pemerintah dan penyelenggara pemilu tidak bisa lagi bersikap reaktif. Mereka harus proaktif dalam membangun sistem pertahanan informasi yang tangguh. Kolaborasi dengan platform media sosial harus diintensifkan, bukan hanya untuk menghapus konten bermasalah, tetapi juga untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat. Regulasi yang ada perlu ditinjau ulang untuk mengakomodasi kompleksitas tantangan di era digital, tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi. Bagai penari di atas tali, kita menyeimbangkan kebebasan dan ketertiban. Ini memang memantang, tetapi harus dilakukan demi melindungi integritas demokrasi kita.
Baca juga:
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagai lembaga pengawas pemilu, harus memperkuat kapasitasnya dalam mendeteksi dan merespons disinformasi. Ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang membangun jaringan pengawasan berbasis masyarakat yang responsif dan efektif. Kerjasama dengan platform media sosial dan dinas komunikasi dan informasi (Kominfo) di daerah-daerah harus diintensifkan untuk memantau dan menangani hoaks secara lebih efektif.
Dalam menghadapi ancaman kebocoran data, penyelenggara pemilu harus mengadopsi pendekatan keamanan siber yang komprehensif. Incident Response Plan (IRP), Disaster Recovery Plan (DRP), dan Business Continuity Plan (BCP) bukan sekadar jargon teknis, tetapi kebutuhan mutlak untuk menjaga integritas data dan kepercayaan publik. Ini berarti investasi besar-besaran dalam infrastruktur keamanan siber dan pelatihan personil yang kompeten.
Namun, semua upaya ini akan sia-sia jika tidak ada perubahan fundamental dalam cara kita memandang dan menghargai informasi. Kita perlu membangun kembali "kontrak sosial digital" dimana kebenaran dan fakta dihargai lebih tinggi daripada sensasi dan popularitas. Ini bukan tugas mudah di era di mana kecepatan seringkali mengalahkan akurasi, dan opini personal dapat dengan mudah disamarkan sebagai fakta.
Pilkada 2024 bukan hanya tentang memilih pemimpin daerah. Ini adalah momen krusial di mana kita diuji sebagai masyarakat demokratis di era digital. Apakah kita akan tenggelam dalam badai disinformasi, atau bangkit sebagai masyarakat yang kritis dan melek informasi? Jawabannya ada di tangan kita semua.
Kita perlu menyadari bahwa pertarungan melawan disinformasi dan penyalahgunaan data bukanlah sprint, melainkan maraton. Ini adalah perjuangan jangka panjang yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan komitmen dari seluruh elemen masyarakat. Kita perlu membangun sistem kekebalan kolektif terhadap disinformasi, di mana setiap warga negara menjadi benteng pertahanan pertama dalam melawan penyebaran hoaks.
Demokrasi kita sedang berada di persimpangan. Di satu sisi, teknologi memberi kita akses informasi yang belum pernah ada sebelumnya. Di sisi lain, teknologi yang sama memberi ruang bagi manipulasi dan penyesatan opini publik dalam skala masif. Pilkada 2024 akan menjadi titik kritis yang menentukan arah demokrasi digital kita.
Akankah kita biarkan demokrasi kita terdistorsi oleh hoaks dan manipulasi data, atau kita bangkit bersama membangun ekosistem informasi yang sehat dan bertanggung jawab? Pilihan ada di tangan kita, dan waktunya adalah sekarang. Ini bukan hanya tentang satu Pilkada, tetapi tentang masa depan demokrasi kita di era digital.
*) Penulis adalah Direktur Action Lab, Indonesia; Peneliti di Monash Data and Democracy Research Hub – Monash University Indonesia
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!