OPINI ANDA

Ketika Data Memberi Bukti, PP Zat Adiktif Harus Direvisi

WHO menyatakan bahwa iklan, promosi, dan sponsor merupakan upaya garis depan industri tembakau untuk mempertahankan dan meningkatkan pelanggannya.

AUTHOR / Nina Mutmainnah

iklan rokok

Ada beberapa hal yang harus dicatat secara khusus jika kita bicara mengenai aturan mengenai iklan, promosi, dan sponsor rokok di Indonesia. Pertama, regulasi mengenai hal ini sangat longgar: tak ada larangan, yang ada adalah pembiaran iklan-promosi-sponsor rokok hanya dengan beberapa pembatasan. Kedua, upaya untuk mengatur iklan-promosi-sponsor dengan jauh lebih ketat sejauh ini dapat dikatakan berjalan di tempat.


Mari kita bahas dulu aspek pertama. Longgarnya peraturan bagi iklan-promosi-sponsor rokok di Indonesia adalah salah satu hal yang membuat Indonesia mendapat julukan tak sedap: tobacco industry’s playground atau “taman bermain industri tembakau”. Indonesia adalah surga bagi industri tembakau. 

Dalam hal pengendalian tembakau, dibandingkan dengan negara-negara terdekat di ASEAN, sudah mafhum diketahui bahwa pengaturan mengenai iklan-promosi-sponsor rokok Indonesia adalah yang terburuk. Jika sejumlah negara lain di ASEAN sudah melarang total iklan rokok di berbagai media, Indonesia masih tercatat sebagai negara yang membuat iklan-promosi-sponsor dapat melenggang bebas atau hanya dibatasi dengan ketentuan tertentu pada sejumlah media (misalnya media cetak, media penyiaran, dan media luar ruang).

Sekarang, catatan kedua. Saya ingin menunjukkan hal ini melalui upaya revisi  peraturan mengenai iklan-promosi-sponsor rokok di negara kita, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pembahasan Revisi PP 109/ 2012 sudah berlangsung selama lebih dari tiga tahun sejak 2019.

Revisi PP ini adalah hal yang niscaya harus dilakukan. PP 109/2012 adalah kebijakan pemerintah dalam melindungi masyarakat dari bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Regulasi ini adalah turunan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Revisi PP 109/2012 adalah bagian dari komitmen pemerintah yang menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7 persen pada 2024 sesuai RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024.

Setelah diberlakukan pada 2012 (artinya satu dekade lalu), jelas sekali PP ini tidak memadai dan implementasinya pun lemah. Dalam hal pengaturan mengenai iklan-promosi-sponsor rokok dalam PP ini, saya merujuk pada tesis Lailiya Nur Rokhman (2018) di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI berjudul “Iklan, Promosi, Sponsorship dalam Genggaman Industri Rokok di Indonesia (Studi Ekonomi Politik tentang Intervensi Kepentingan Industri Rokok dalam Perumusan dan Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012)”.

Baca juga:

Perokok Anak dan Warisan Jokowi

Pemerintah Naikkan Cukai Rokok 10 Persen

Sesuai judulnya, studi ini menyimpulkan adanya intervensi industri tembakau dalam proses penyusunan PP ini sehingga ketentuan dalam PP ini lemah dan tambahan lagi regulasi yang lemah ini tidak berjalan dengan maksimal dalam implementasinya. Studi ini juga menunjukkan bahwa penyusunan PP sendiri memakan waktu sampai empat tahun, sebuah rentang waktu panjang yang menggambarkan bagaimana regulasi ini dihantam sana-sini, termasuk oleh kelompok industri tembakau. Studi ini menegaskan bahwa baik dalam proses perumusannya maupun implementasinya, regulasi ini terlihat meneguhkan posisi industri tembakau.

Setelah satu dekade berjalan, jelas tak ada dampak signifikan dari PP ini terhadap perlindungan masyarakat dari cengkeraman industri rokok. Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang dirilis pada 2022 menunjukkan hal ini. GATS sendiri adalah standar global untuk secara sistematis memantau penggunaan tembakau (isap dan kunyah) oleh orang dewasa dan melacak indikator-indikator utama pengendalian tembakau. GATS 2021 dijalankan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan, menjangkau 9.156 responden.

Menurut GATS 2021, secara keseluruhan, prevalensi merokok mencapai 33,5%. Kalau dibandingkan dengan data GATS 2011 (artinya satu dekade lalu), memang tampak penurunan, karena prevalensi merokok menurut GATS 2011 berada di angka 34,8%. Namun secara agregat, jumlahnya naik 8,8 juta orang dalam satu dekade. 

Dilihat dari aspek lainnya, yakni penggunaan rokok elektrik. Data GATS 2021 pun menunjukkan terjadinya peningkatan signifikan pada penggunaan rokok elektrik, yakni yang semula 0,3% di tahun 2011 menjadi 3,0% di tahun 2021, baik pada laki-laki maupun perempuan. Peningkatan ini menakutkan mengingat rokok elektrik sama bahayanya dengan rokok konvensional karena sama-sama mengandung zat adiktif nikotin yang merusak otak anak dan remaja.

Terkait dengan topik utama yang dibahas dalam artikel ini, yakni iklan-promosi-sponsor rokok, data GATS 2021 menunjukkan bahwa 50,7% orang dewasa memperhatikan iklan rokok di televisi, selanjutnya 45,9% orang dewasa memperhatikan iklan atau promosi rokok di toko yang menjual rokok, kemudian pada baliho (43,6%) dan internet (21,4%).

Khusus untuk internet, kita harus memberi perhatian secara khusus. Kalau dibandingkan bentuk media lainnya (televisi, promosi di toko, dan baliho), persentasi orang dewasa yang memperhatikan internet memang yang paling rendah. Namun, jika dibandingkan dengan data GATS 2011, presentasinya meningkat tajam, yakni dari 1,9% pada 2011 menjadi 21,4% pada 2021.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana di kalangan remaja, kelompok yang paling disasar industri rokok? Kelompok remaja adalah kalangan yang sangat dekat dengan media. Untuk ini, mari kita melihat data Global Youth Tobacco Survey (GYTS), yakni survey yang dilakukan terhadap siswa kelas 7-9 (usia 13-15 tahun). GYTS terakhir dilakukan tahun 2019 dengan responden berjumlah 5.125 orang. Data GYTS 2019 menunjukkan, 3 dari 5 pelajar usia 13-15 tahun terpapar iklan rokok di TV, tempat penjualan, dan media luar ruang. Dalam hal internet, 1 dari 3 pelajar usia 13-15 tahun terpapar iklan rokok di internet.

WHO menyatakan bahwa iklan, promosi, dan sponsor merupakan upaya garis depan industri tembakau untuk mempertahankan dan meningkatkan pelanggannya. Selain itu upaya ini adalah strategi bagi industri rokok untuk menggambarkan rokok sebagai produk normal dan tidak berbeda dari produk konsumen lainnya.

Internet kini menjadi media yang dianggap paling ideal bagi industri rokok untuk menjalankan strategi ini. Media ini adalah medianya anak muda, setelah televisi makin kehilangan pesonanya bagi banyak remaja. Sebagaimana dinyatakan Greenhalgh dkk (2020), internet menyediakan berbagai cara inovatif yang terus berkembang bagi perusahaan tembakau untuk menjaga asosiasi yang menguntungkan dengan merokok dan merek-merek tertentu di benak konsumen. Apalagi, sebagian besar konten terkait rokok di internet tidak diatur.

Kembali ke PP 109/2012. Regulasi ini rendah keberpihakannya kepada publik dalam hal pengaturan mengenai iklan, promosi, dan sponsor rokok. Untuk iklan rokok di media penyiaran, cetak, dan media luar ruang dibolehkan dengan pembatasan tertentu dan masih ada pihak yang ditetapkan sebagai regulator yang menjaganya (walau, lagi-lagi harus diingat: implementasinya lemah karena regulator kemudian seakan tidak memiliki kuasa apa pun tanpa dasar hukum yang kuat).

Terhadap internet, dapat dikatakan ketentuannya di PP membuat iklan dan promosi rokok di media ini bebas melenggang belum diatur sama sekali. Belum lagi, ketentuan mengenai sponsor dalam PP bersifat ambigu, yang antara lain menyebabkan industri rokok berjaya menjadi sponsor berbagai kegiatan atas nama yayasan bernama sama dengan merek rokok.

Dalam situs Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan dinyatakan bahwa perubahan PP 109/2012 adalah upaya memperkuat kebijakan dalam melindungi masyarakat terutama anak dan remaja terhadap bahaya konsumsi rokok bagi kesehatan. Pernyataan tersebut mengemuka ketika uji publik Revisi PP tanggal 8 Agustus lalu. Saat itu, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengajak, “Kita harus bergerak bersama merevisi PP 109/2012 demi melindungi generasi masa depan bangsa. Bersama kita dapat membangun Indonesia yang lebih kuat dan sehat.” Kata-kata ini terdengar indah, bahkan bombastis, namun tampaknya saat ini masih terbatas hanya wacana. Hingga sekarang, proses revisi PP di bawah Kementerian Kesehatan belum kunjung selesai.

Lamanya proses revisi PP 109/2012 seperti mengulang cerita lama tentang panjangnya waktu yang diperlukan untuk menyusunnya dulu. Bahkan, segala dinamika yang terjadi dalam proses revisi ini seperti menegaskan lagi apa yang dinyatakan oleh Rokhman (2018) dalam studinya bahwa proses dan hasil regulasi ini terjadi karena berbagai intervensi industri tembakau untuk menghalangi regulasi yang dirasa mengancam pertumbuhan industri tembakau.

Data GATS 2021 maupun GYTS 2019 berbicara banyak tentang apa yang harus dilakukan negara dalam hal merancang, mengimplementasi, dan mengevaluasi program pengendalian tembakau, salah satunya melalui penguatan regulasi. Jelas sekali aturan mengenai iklan, promosi, dan sponsor rokok tidak memadai dalam PP 109/2012. Sudah saatnya revisi PP 109/2012 tidak hanya dijadikan wacana semata selama bertahun-tahun. Sampai kapan masyarakat harus menunggu pemerintah mengambil langkah tegas untuk menetapkan revisi ini? Revisi PP tak dapat ditunda lagi. Dan tentu saja, pengesahannya haruslah mengusung perlindungan masyarakat terutama anak dan remaja terhadap bahaya konsumsi rokok bagi kesehatan, bukan memperkukuh posisi industri tembakau.


 

*) Penulis adalah Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI dan pengurus Komite Nasional Pengendalian Tembakau.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!