OPINI ANDA

Irma Bule

Tetapi rasanya, tak banyak diantara kita yang pernah mendengar namanya, sebelum peristiwa tragis terjadi pekan lalu.

AUTHOR / Tosca Santoso

Ilustrasi: ular cobra
Ilustrasi: ular cobra

Namanya terkesan gado-gado. Kombinasi kesederhanaan dan upaya marketing yang berani.  Irma dari Irmawati, nama aslinya.  Bule tambahan kata keterangan karena kulitnya yang putih dan rambut dicat kepirangan.  Irma Bule, penyanyi dangdut itu dikenal dari panggung ke panggung di Karawang. Ia laris diundang menyanyi ke rumah-rumah warga yang sedang hajatan. Tetapi rasanya, tak banyak diantara kita yang pernah mendengar namanya, sebelum peristiwa tragis terjadi pekan lalu.

Irma Bule mati dipatok ular kobra.  Temannya manggung di hari naas itu.

“Biasanya, Eneng manggung dengan ular piton. Entah kenapa kali ini dengan kobra,” kata Encum, ibunya. Ia menduga Irma, anaknya, tak tahu kalau ular kobra itu beracun. Polisi kini memeriksa pawang dan pemilik ular dalam pertunjukkan.  Antara lain, kenapa hari itu mereka memakai ular kobra untuk menemani biduan menari, dan bukan piton seperti biasa.

Ketidak-tahuan, bisa jadi satu sebab.  Tetapi, Irma yang selain pedangdut ternyata juga berjualan barang-barang lewat online itu, mungkin sekali tahu bahaya kobra.  Bahwa ular ini beracun, dan gigitannya dapat membunuh orang dalam hitungan menit.  Ia mungkin terpaksa mengabaikan bahaya itu, karena tuntutan pekerjaan. 

Sudah tiga tahun, Irma menjalani profesi penyanyi-penari ular itu.  Penonton di Pantura itu, entah kenapa, selalu lebih ramai, kalau pertunjukkan dangdut diisi dengan penari ular. Karenanya, tuan rumah penyelenggara hajatan, membayar honor penyanyi ular lebih tinggi dibanding penyanyi biasa.  Kalau menyanyi dengan ular, Irma dapat mengantongi Rp 350.000 sekali manggung.  Sedangkan untuk menyanyi biasa, honornya Rp 250.000.  Maka hari itu, Irma nekat menari dengan kobra, karena piton yang biasanya tidak tersedia. Dan pertunjukkannya terhenti sebelum usai.

Tanggal 3 April 2016 itu, terakhir kali Irmawati manggung.  Terakhir kali ia bekerja menafkahi tiga anaknya yang masih kecil.  Irma belum tuntas membangun rumahnya.  Ia juga belum cukup menabung untuk mengongkosi ibunya berangkat ke Mekkah.  Tetapi Irmawati, 29 tahun, telah tuntaskan tugas hidupnya dengan penuh keberanian.  Ia bekerja dan mati untuk menghidupi keluarganya.

Karawang, kampung Irma itu, hanya sekira 50 kilometer di Timur Jakarta.  Sejak dulu dikenal sebagai lumbung padi, tempat penyokong ketahanan pangan.  Tahun lalu saja, tak kurang dari 1,5 juta ton gabah kering panen dihasilkan dari Karawang.  Ini menjadikannya kabupaten terbesar kedua di Indonesia, dalam hal produksi padi.  Dari masa Soeharto hingga Jokowi, Karawang dipacu untuk menghasilkan padi. Tetapi petaninya tak otomatis menjadi makmur.  Kalau keikutsertaan Jamkesmas dapat dianggap ukuran, 60% warga Karawang tergolong miskin.  

Waduk-waduk dibangun.  Irigasi diperbaiki. Sarana pertanian disediakan lebih lancar.  Targetnya produksi padi meningkat. Tapi tak dengan sendirinya petani menjadi lebih sejahtera.  

Sebab, nilai tukar padi merosot dibanding produk lain. Baik terhadap input produksi pertanian atau kebutuhan konsumsi petani.  Tahun 1980, harga gabah kering panen Rp 320,- per kilogram, sedangkan pupuk hanya Rp 100,- dan bensin Rp 150 per liter.  Sehingga rasio hasil panen petani terhadap pupuk 3,2 kali; sedang nilai tukar terhadap bensin dua kali lebih.  Pada 2016, harga gabah Rp 6.000,- tapi pupuk di pasaran sudah Rp 5.000 lebih, dan bensin Rp 6.450 per liter.  Sekilo produksi gabah petani hanya cukup untuk membeli sekilo pupuk, atau kurang dari seliter bensin.  

Secara riil, petani tahun 1980 lebih tinggi daya belinya dibanding petani tahun 2016.

Tantangan Pemerintahan Jokowi sesungguhnya bukan hanya mengejar kenaikan produksi padi atau ketahanan pangan.  Tetapi yang lebih penting adalah segera memperbaiki kesejahteraan petani. Agar anak-anak dari kampung petani dapat mengembangkan diri.  Supaya mereka, tak terpaksa mengambil pekerjaan berbahaya, seperti yang dialami Irma Bule.

Para anggota DPRD Jawa Barat, mestinya menghentikan keinginan kekanak-kanakan mereka untuk dapat mobil baru.  Mereka tak perlu mobil Fortuner untuk mendengar persoalan orang-orang yang mereka wakili, termasuk para petani Karawang.  Mereka hanya perlu hati dan telinga untuk mendengar kebutuhan warganya.  Dana Rp 50 milyar untuk pembelian mobil itu, dapat menciptakan banyak kesempatan kerja.

Kematian Irma Bule adalah pengingat para pejabat untuk menunda kemewahan.  

*Penulis adalah pendiri KBR

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!