OPINI ANDA

Cerita si Mbak, Formulir A5 dan Bukan Swing Voter

Suatu malam dia tiba-tiba bertanya,

AUTHOR / Citra Dyah Prastuti

Cerita si Mbak, Formulir A5 dan Bukan Swing Voter
Formulir A5, Pemilu Presiden 2014

Asisten Rumah Tangga (ART) saya namanya Utami, usianya 19 tahun. Dia kemarin kirim foto lewat Whats App, kasih lihat foto formulir A5 yang baru didapatnya dari kampung halaman. 


Keinginan dia untuk memilih di Pemilu Presiden 2014 ini sangat besar. Si Mbak adalah seorang pemilih pemula. Pemilu pertama dia adalah Pemilukada Gubernur Jawa Tengah, mengingat dia warga Pekalongan. Tapi dia tidak tertarik memilih. Begitu juga di Pemilu Legislatif 9 April lalu. “Aku nggak tahu mesti pilih siapa,” kata dia. Alasan utama dia waktu itu adalah kekurangan informasi. 


Tapi untuk Pemilu Presiden kali ini, tekadnya sekeras baja. Dari awal, dia selalu mengikuti berita-berita soal Pemilu. Berhubung dia baru punya smartphone, dia rajin ikuti berita dari kedua kubu capres lewat akun Facebook-nya. Hampir setiap malam dia lapor kepada saya soal temuan-temuan menarik dia di media sosial hari itu. Misalnya,”Kalau kubunya Prabowo, omongan relawannya sering SARA ya,” begitu kata dia suatu malam.


Kejadian lain begini. Suatu malam dia tiba-tiba bertanya,”Munir itu aktivis HAM ya?” Saya langsung tercekat. “Wah habis baca apa nih dia?” Jadilah itu malam ada “kuliah politik” mendadak soal siapa itu Munir, apa yang dia lakukan, soal advokasi kasus penculikan aktivis mahasiswa yang dia lakukan semasa hidup, bagaimana dia dibunuh dan sebagainya. 


Dari awal dia sudah bulat memilih Joko Widodo, calon presiden nomor dua. Saya tidak pernah tanya soal alasan lengkapnya, tapi dari reaksi-reaksi dia selama menonton Debat Capres di televisi, saya bisa menakar tingkat kepercayaan dia kepada Jokowi. Iya, si Mbak setiap pekan selalu menonton Debat Capres bersama saya dan suami di rumah. Dari Debat Capres putaran pertama, si Mbak selalu riuh ramai menonton dengan berbagai reaksinya. Dia bahkan sampai tepuk tangan kalau setuju dengan jawaban dari Jokowi maupun JK. Atau ngomel kalau merasa tidak paham dengan jawaban kubu lawan. Dia hanya tidak banyak bereaksi ketika putaran Debat Cawapres. Mungkin karena cawapres Hatta Rajasa banyak menyebutkan istilah dalam Bahasa Inggris. 


Begitu keluar informasi soal formulir A5, si Mbak langsung tanya ke saya: bagaimana cara mengurusnya. Mengingat antusiasme dia di Pemilu Presiden ini, rasanya berdosa betul kalau saya tidak bantu dia. Dari situ saya mulai cari informasi soal cara mengurus A5, yang ternyata informasinya sungguh simpang siur. 


Langkah paling awal adalah minta keluarganya mengurus di kampung. Dia langsung telfon ibunya, seorang penjual jamu keliling. Tapi ibunya kebingungan karena tidak kenal dengan petugas PPS, juga tidak tahu bagaimana caranya mengirim formulir A5 itu, kalau dapat, ke anaknya yang beda kota. “Ngirimnya karo opo?” tanya si ibu yang ternyata jarang berkirim surat lewat pos ini. Baiklah, kita coba cara lain. 


Dari informasi lain yang beredar, ini caranya: urus ke KPU terdekat di kota tujuan memilih, lalu lapor ke KPPS. Saya carikan rute angkot supaya si Mbak bisa selamat sampai di sana. Begitu sampai di KPU Kota Bekasi, yang ada dia dipingpong sana sini. Nada suaranya lemas saat menelfon saya dan mengatakan,”Kata orang KPU di sini, ngurusnya mesti di kampung.” Lewat telfon, saya dorong dia untuk tanya lagi lebih jelas karena menurut informasi mestinya di kantor KPU itu ada meja dan petugas untuk pengurusan A5. Sehari itu, dia bolak balik telfon saya karena bingung apa yang harus dilakukan lagi. Saya sampai minta bicara langsung sama si petugas KPU  yang ada di sana. 


Setelah saya selesai bicara dan telfon dikembalikan ke si Mbak, si petugas malah mengatakan ke si Mbak,”Gitu aja ngadu.” Saya menduga dia bilang begitu karena dia tahu si Mbak adalah seorang ART. Diskriminatif sekali. Dan itu sama jelas tidak relevan, karena informasi yang jelas itu hak semua orang. 


Berbekal informasi dari petugas KPU, maka si Mbak beralih ke kantor kelurahan. Di sana, lagi-lagi tidak ada petunjuk yang jelas bagaimana mengurus formulir A5. Tidak ada petunjuk, tidak ada petugas, tidak ada meja informasi. Ketika akhirnya bertemu petugas, yang dia lakukan hanya mengambil fotokopi KTP si Mbak, mencatat alamat tempat tinggalnya sekarang lalu bilang,”Nanti Mbak akan dapat surat dari RT/RW.” Sudah begitu saja, tanpa tanda bukti apa pun, tanpa formulir A5. Si Mbak sampai ke kantor kelurahan sekali lagi, untuk menagih formulir A5, tapi nihil. Lagi-lagi hanya janji yang didapat: “Nanti Mbak akan dapat surat dari RT. Atau langsung datang saja ke TPS 32. Kalau Mbak nggak bisa nyoblos, bilang saja.”


Tapi janji seperti itu tentu tak bisa dipegang. Karena itu saya minta dia berupaya kembali ke langkah pertama, minta bantuan ibunya. Atau minta bantuan ke kakak iparnya. “Nanti kita beliin baju lebaran gitu aja biar dia mau,” kata saya. “Yah nyogok itu sih… aku coba ibuku dulu aja.” Jawaban dia langsung sukses membuat saya malu hati sendiri. 


Si Mbak pun menelfon ibunya lagi. Si Mbak bercerita, dia sampai terdiam dan menghapus air mata begitu mendengar ibunya tidak semangat mengurus formulir A5 untuk dirinya. Akhirnya si ibu ternyata langsung pergi ke kantor kelurahan setelah mendengar anak perempuannya ini ngambek. 


Dan kini, formulir A5 sudah ada di tangan. Si Mbak memastikan diri bisa nyoblos di TPS dekat rumah. 


Untuk informasi saja, si Mbak ini lulusan SD. Alasan dia berhenti sekolah adalah supaya kakak dan adik laki-lakinya bisa terus bersekolah. Bapaknya buruh tani, ibunya penjual jamu keliling. Ia sudah bekerja selepas lulus SD, mulai dari bekerja di pasar sampai jadi ART di beberapa rumah. Tidak suka nonton sinetron, hobinya baca buku dan saluran televisi kesukaan dia adalah Animal Planet. 


Kalau menilik latar belakang si Mbak dan perjuangannya untuk nyoblos, seharusnya anak muda yang masih jadi swing voters atau bahkan apolitis mestinya malu. 


Selamat mencoblos Mbak! 


Penulis adalah jurnalis. 


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!