NUSANTARA

Yuliana Langowuyo: Untuk Perempuan Papua, di Tanah ini Kami Berjuang

"Hari itu udara Jakarta kurang bersahabat, namun ini tak menyurutkan sejumlah aktivis perempuan dari berbagai daerah untuk berdiskusi soal diskriminasi yang dialami para perempuan di Indonesia."

Luviana

Yuliana  Langowuyo: Untuk Perempuan Papua, di Tanah ini Kami Berjuang
perempuan papua, diskriminasi, pelecehan

KBR, Jakarta– Hari itu udara Jakarta kurang bersahabat, namun ini tak menyurutkan sejumlah aktivis perempuan dari berbagai daerah untuk berdiskusi soal diskriminasi yang dialami para perempuan di Indonesia. 

Awal Desember memang sering membuat masyarakat yang tinggal di perkotaan Jakarta menjadi repot, karena harus berjalan menembus hujan. Namun tentu ini tak dialami para petani yang tinggal di pelosok pedalaman Indonesia. Saat ini mereka pasti sedang berangan-angan, untuk mendapatkan hasil panen yang lebat.

Yuliana Langowuyo adalah aktivis perempuan asal Papua yang mengikuti pertemuan membahas diskriminasi terhadap perempuan yang diadakan Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) di Jakarta, pada 12 Desember 2014 lalu. Di tengah hujan lebat, wajahnya tampak murung ketika menceritakan penderitaan yang dialami para perempuan Papua. Ia tampak menunduk, sesekali menyeka air matanya, sambil menahan diri agar airmata lainnya tak lagi menetes.

Yuliana adalah aktivis perempuan dari Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC) Fransiskan Papua yang banyak membela nasib buruh perempuan di pedalaman Papua. Ia sering keluar masuk Yahukimo, wilayah paling ujung Papua dan sejumlah daerah pedalaman lain seperti Sarmi, Merauke hingga Nabire.

Papua kembali menjadi perbincangan hangat ketika kekerasan terus beruntun terjadi di sana. Dari pembunuhan, tawuran hingga diskriminasi terhadap perempuan. Apa saja sebenarnya persoalan perempuan Papua di tengah konflik dan kekerasan yang terus-menerus mendera masyarakat disana?

Luviana (L): Apa saja kekerasan yang masih menimpa para perempuan Papua?. Ketika Kongres Perempuan Papua pertamakali dilakukan di tahun 2001, ada persoalan perkosaan yang dilakukan militer, ada persoalan pesta adat yang mendiskriminasi perempuan. Apakah ini masih terjadi hingga kini?

Yuliana (Y): Sebenarnya ada situasi yang lebih baik. Jika dulu banyak perempuan Papua yang diperkosa oleh militer yang sedang bertugas di Papua, sekarang jumlah ini sudah relatif menurun. Walaupun modusnya tetap sama saja, yaitu atas dasar suka sama suka, kemudian perempuan  Papua menikah dengan laki-laki militer. Jadi semua dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan karena perkosaan. Mereka biasanya kemudian menikah di gereja. Namun Ketika laki-laki ini harus kembali ke tempat asalnya, para perempuan Papua kemudian ditinggalkan begitu saja dan harus mengurus anaknya sendiri. Anak-anak ini umumnya dibesarkan tanpa ayah. Gereja sulit untuk bergerak karena mereka memang menikah resmi di gereja, dan para perempuan kemudian tidak menyadari kondisi ini. Mereka tak pernah sadar bahwa mereka adalah korban kekerasan. Korban pengabaian laki-laki.

L: Bagaimana dengan pesta adat atau yang lebih dikenal dengan pesta seks yang banyak dilakukan oleh laki-laki di sana? Apakah ini masih selalu terjadi?

Y: Pesta adat itu hingga sekarang masih terjadi di sejumlah tempat walau kondisinya tidak sebanyak dulu. Biasanya setelah pesta usai, laki-laki boleh memilih dengan siapa saja ia akan berhubungan seksual, karena memang ada tradisi seperti itu. Dan laki-laki tersebut kemudian tidak dibatasi dengan siapa saja ia akan memilih berhubungan seksual, apalagi jika ia adalah ketua adat. Ia bebas untuk memilih. Semakin tinggi jabatannya secara adat, maka semakin ia leluasa untuk menentukan pilihannya. Banyak laki-laki yang punya pasangan kemudian melakukan hubungan seksual dengan siapa saja dia mau. Ini yang kemudian menyebabkan angka HIV/AIDS menjadi tinggi di Papua. Tak hanya itu, ini menjadi penyebab angka kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat setiap tahun.

L: Masalah lain yang masih membelit persoalan perempuan Papua?

Y: Persoalan mas kawin masih saja terus terjadi. Ketika perempuan memutuskan untuk menikah, maka laki-laki harus memberinya mahar atau belis. Mahar atau belis ini seperti pertanda budaya bahwa perempuan sudah dibeli. Hal inilah yang banyak menyebabkan kekerasan terhadap perempuan karena perempuan seolah-olah sudah menjadi milik laki-laki, jadi semua perempuan harus menerima semua tingkah laku laki-laki.

L: Bagaimana dengan kedatangan perusahaan-perusahaan transnasional di Papua?

Y: Kedatangan perusahaan transnasional di Papua menambah buruk kondisi ini. Mereka tak hanya mengambil sumber daya alam kami, namun menjadikan masyarakat Papua hanya menjadi penonton dan menjadi buruh-buruh perusahaan transnasional yang dibayar murah. Berdirinya perusahaan transnasional ini juga menjadikan banyak berdirinya warung-warung penjual minuman keras. Banyak laki-laki yang kemudian banyak minum minuman keras. Hal ini juga menumbuhkan tempat-tempat prostitusi terselubung dan menyebabkan jumlah HIV/AIDS menjadi tinggi.

L: Kemajuan yang dialami di Papua sejauh ini?
Y: Banyak pemekaran yang telah dilakukan, namun ini seperti pemekaran yang tak punya nyawa.

L: Apa yang dilakukan para perempuan Papua dengan kondisi ini?
Y: Banyak teman-teman perempuan yang kemudian putus asa melihat kondisi ini. Apalagi jika suami mereka melakukan kekerasan. Mereka lalu bekerja seadanya untuk menghidupi rumah tangga, ada yang berjualan pinang, menjadi buruh serabutan, yang penting anak-anak mereka tetap bisa makan.

L: Sebagai aktivis perempuan, bagaimana anda menerima ini dan kemudian menjadikan ini sebagai sebuah keputusan untuk diperjuangkan?

Y:  Saya melihat, tidak adanya akses keadilan yang diurus oleh negara selama ini. Negara membiarkan para pelanggar Hak Asasi Manusia berkeliaran di Papua. Karena gagal berjuang di negeri sendiri, maka kami dan beberapa kawan lain kemudian memperjuangkan persoalan ini dalam mekanisme internasional. Kami hadir dalam forum-forum HAM internasional agar mereka membantu menyelesaikan persoalan kami di Papua. Walaupun kami tahu bahwa memperjuangkan ini sangat tak mudah. Banyak kepentingan di Papua, kepentingan negara, kepentingan asing melalui perusahaan-perusahaan transnasional di negeri kami. Namun kami sadar, kami harus memperjuangkan ini.

L: Tak pernah merasa putus ada dengan kondisi ini?
Y: Tak cukup bagi kami untuk meratap, kami harus berjuang , untuk tanah-tanah kami di Papua, untuk masyarakat yang masih mempunyai impian untuk tetap tinggal di sana.


Editor: Dimas Rizky

  • perempuan papua
  • diskriminasi
  • pelecehan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Anis7 years ago

    Mba, Yuly terlalu hiperbolis. Menurut sy keadaan wanita di Papua sekarang tidak separah itu.