NUSANTARA

Autopsi Korban Tragedi Kanjuruhan 5 November

"Devi kehilangan dua putri, dan bekas istrinya menjadi bagian dari 135 korban meninggal."

Eko Widianto

aremania tragedi kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan, aksi Aremania di depan Balai Kota Malang, Jatim, Kamis (27/10/22). (Antara/Ari Bowo)

KBR, Jakarta-  Salah seorang keluarga yang menjadi korban tragedi stadion Kanjuruhan Devi Athok, warga Desa Krebet Senggrong, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang kembali mengajukan autopsi untuk dua jenazah anaknya. Devi kehilangan dua putri, dan bekas istrinya menjadi bagian dari 135 korban meninggal.

Kuasa hukum Devi, Imam Hidayat menjelaskan intimidasi berupa tekanan dan intimidasi secara verbal. Devi kaget, lantaran kehadiran polisi hanya selang sehari setelah dirinya menandatangani surat pernyataan autopsi pada 10 Oktober 2022. Devi sempat membatalkan autopsi dan kembali menulis surat pernyataan untuk mengautopsi kedua anaknya.

Devi bersedia kedua putrinya diautopsi untuk mengungkap penyebab kematian 135 Aremania, apakah benar karena gas air mata. Autopsi dijadwalkan dilangsungkan Ahad, 5 November 2022. 

Devi saat ini tengah mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK.

Imam mengajak keluarga 135 Aremania dan seluruh Aremania untuk membela dan menuntut keadilan.

Baca juga:

Aremania Demo, Tuntut Keadilan Proses Hukum Tragedi Kanjuruhan

LPSK Duga Ada Intimidasi Polri Dalam Proses Autopsi Korban Kanjuruhan


Tragedi di stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 merenggut 135 nyawa dan 700-an orang terluka. Mereka mengalami luka ringan hingga berat. Penyidik Kepolisian menetapkan enam tersangka, terdiri atas panitia pelaksana pertandingan Arema FC melawan Persebaya, koordinator keamanan, dan anggota kepolisian.

 

Editor: Rony Sitanggang

  • Polri
  • polisi autopsi
  • Tragedi Kanjuruhan
  • Korban Tragedi Kanjuruhan
  • LPSK

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!