NUSANTARA

Joko Sulistyo: Keluar Masuk Gua, Demi Air Bagi Warga Wonogiri

"Dua ribuan warga Desa Pucung, Kecamatan Eromoko, Wonogiri, Jawa Tengah, nyaris putus asa karena harus mencari-cari air demi memenuhi kebutuhan setiap hari. Kondisi alam di sekitar desa memang tak mendukung. Wilayahnya terdiri dari tanah kapur dan batu kar"

antonius eko

Joko Sulistyo: Keluar Masuk Gua, Demi Air Bagi Warga Wonogiri
joko sulistyo, satu indonesia awards

Dua ribuan warga Desa Pucung, Kecamatan Eromoko, Wonogiri, Jawa Tengah, nyaris putus asa karena harus mencari-cari air demi memenuhi kebutuhan setiap hari. Kondisi alam di sekitar desa memang tak mendukung. Wilayahnya terdiri dari tanah kapur dan batu karst. 


Desa itu hanya memiliki satu mata air, itupun debit airnya sangat kecil. Alhasil, saat musim kemarau banyak warga yang harus jalan beberapa kilometer untuk mendapatkan 10 liter air. 


“Untuk mandi saja susah sekali. Untuk cuci-cuci alat sangat sayang air dibuang-buang. Kalau mau buang hajat lebih baik kita gali tanah dan buang di sembarang tempat,” kata Joko Sulistyo. 


Joko bisa dibilang sebagai penyelamat Desa Pucung. Kisahnya berawal pada 2001. Saat itu Joko menjadi anggota kelompok pencinta alam KMP Giri Bahama, Universitas Muhammadiyah Solo. Dia mengambil divisi penelusuran gua. 


Joko dan teman-temannya meneliti 13 gua yang ada di Eromoko. Mereka blusukan keluar masuk gua dan menemukan ada satu yang menyimpan air cukup banyak. Namanya gua Suruh. 


“Saya berpikir aliran air ini bisa dimanfaatkan, tapi saya belum tahu caranya. Saya berpikir bersama teman-teman, yang pertama harus saya lakukan adalah meyakinkan masyarakat,” ungkap Joko. 


Tugas pertama ini agak sulit karena tak ada satupun penduduk setempat yang berani masuk ke gua Suruh. Gua ini punya panjang sekitar 300 meter. Makin ke dalam jalannya makin sempit, baru di ujungnya ketemu sungai. 


Joko juga sibuk mensosialisasikan temuannya ini ke aparat desa. Bahkan dia sampai mengajak kepala desa Pucung, Ashari untuk ikut masuk ke gua dan membuktikan keberadaan sungai tersebut. Akhirnya warga yakin dan mau bergotong royong mengambil air dari gua Suruh. 


“Akhirnya pada 2008-2009 kita sepakat bahwa air itu bisa kita naikkan cuma kita terkendala pada dana. Sementara masyarakat mengusahakan lewat APBD, teman-teman menyumbang peralatan. Kita juga mengusahakan dari beberapa donatur.” 


Yang pertama dilakukan adalah membuat bendungan setinggi 70 sentimeter untuk menaikkan volume air. Namun tak asal bendung, karena tetap harus memperhatikan biota dan kehidupan yang sudah ada di gua. Perlu enam bulan untuk membuat bendungan. Bahkan pernah sampai menginap dua hari dua malam di perut gua. 


“Tanggung jawab paling besar dalam kegiatan tersebut risikonya adalah kematian, kecelakaan dalam gua. Karena guanya vertikal. Bawa orang saja susah, apalagi bawa barang, Sementara kita harus turunkan sekitar 15 ton material, mulai dari pasir, semen, krikil dan besi,” ungkapnya. 


Saat yang dinanti-nantikan pun akhirnya tiba. Air bisa didorong ke atas. Air mengalir deras ke Desa Pucung dan ditampung di bak-bak penampungan yang ada di sekitar desa. Mereka bisa mengambil air kapan saja. 


“Dulu warga ngantri air sampai jam 2 malam. Sekarang habis magrib sudah sepi. Jadi waktunya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang lain,” tambah Joko. 


Kerja memang belum selesai, warga juga harus memikirkan perawatan daerah tangkapan air, kebutuhan listrik untuk pompa yang mencapai Rp 2 juta per bulan, serta perawatan seluruh peralatan. Namun, langkah pertama untuk menyediakan air bagi warga Desa Pucung sukses dilaksanakan. 


  • joko sulistyo
  • satu indonesia awards

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!