BERITA

KPAI Sebut Ada Pihak yang Menolak Revisi UU Perkawinan

KPAI Sebut Ada Pihak yang Menolak Revisi UU Perkawinan

KBR, Jakarta- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) optimistis revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat disahkan DPR pada periode ini. Komisioner KPAI, Rita Pranawati mengatakan, telah melakukan pembicaraan dan advokasi lintas sektor untuk mendesak DPR segera mengesahkan perubahan UU tersebut. Khususnya pasal mengenai batas minimal usia perkawinan bagi anak perempuan. 

"Kita melakukan lobi dan advokasi. Jadi tidak hanya kita sendiri, tapi sudah lintas sektor, dan semua punya pemahaman yang sama untuk satu pasal saja, enggak usah kemana-mana. Kita fokus pada pasal yang di amar putusan MK itu keluar. Saya kira itu menjadi titik penting. Kalau kita bicara yang lain itu celahnya luar biasa susah. Jadi kita fokus di situ saja. Kita optimis," kata Rita di kantor KPAI Jakarta, Selasa (23/7).

Baca juga: MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Perkawinan

KPAI, kata Rita, mengusulkan agar batas minimal usia perkawinan anak perempuan adalah 18 tahun. Menurutnya, 18 tahun adalah batas usia anak, dan anak-anak dilindungi UU Perlindungan Anak.

"KPAI prinsipnya minimal 18, karena itu tidak melanggar UU Perlindungan Anak. Karena di Undang-Undang Dasar menyebutkan, melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi. Melakukan hubungan seksual dengan anak itu kan juga tidak boleh ditolerir, kata kuncinya di situ," imbuhnya.

Rita menyebut, masih ada penolakan-penolakan dari beberapa pihak terkait revisi UU tentang Perkawinan tersebut. Namun, ia enggan menyebut pihak-pihak yang menolak. Penolakan rata-rata karena masalah budaya dan agama. 

"Ada, secara teologis dianggap tidak tepat, kemudian bahwa itu enggak penting. Ya, karena di dalam agama terutama biasanya karena agama dan kultur. Takut anaknya enggak laku, itu kan budaya ya. Terus, karena jadi beban ekonomi lebih baik saya berikan. Itu kan yang hidup sebenarnya di kita," kata Rita.

Rita menambahkan, pendewasaan usia perkawinan penting dan mendesak dilaksanakan sebagai upaya preventif atas tingginya hak anak di Indonesia. Sebab, perkawinan anak di Indonesia masuk fase darurat. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016-2017, Indonesia adalah negara dengan prevalensi usia anak tertinggi di wilayah Asia Timur dan Pasifik. Rata-rata 25% dari perempuan usia 20-24 tahun, menikah sebelum umur 18 tahun. Bahkan beberapa provinsi, angka perkawinan usia anak mencapai 30%. Data KPAI menyebut, pada 2018, ada 4.885 aduan pelanggaran hak anak dari masyarakat.

Perkawinan Anak Tinggi, IPM Indonesia Rendah

Maret lalu, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin menyebut, perkawinan anak tidak bisa dinilai sebagai masalah tunggal. Sebab, perkawinan anak berhubungan dengan masalah lain yang bisa menghambat tercapainya tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Bukan saja di sektor pendidikan, tapi juga kesehatan dan ekonomi. 

"Perkawinan anak tinggi, DO tinggi. Perkawinan anak tinggi, angka kematian ibu melahirkan anak tinggi, gizi buruk tinggi. Perkawinan anak tinggi, pekerjaan informalnya tinggi. Angka perkawinan anak tinggi, IPM rendah. Jangan pernah mimpi punya Indeks Pembanguan Manusia yang tinggi kalo angka perkawinan anak masih tinggi. Karena dia yang akan menggerogoti pendidikan, kesehatan, maupun sektor ekonomi," kata Lenny di Kementerian PPPA, Jumat (8/3/19).

Baca juga: Penyebab Pernikahan Anak di Indonesia Sulit Turun

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak di Kementerian P3A, Lenny N Rosalin mencontohkan, dua provinsi yaitu Yogyakarta dan Kalimantan Selatan. Di Yogyakarta, angka perkawinan anaknya lebih sedikit, bila dibandingkan dengan Kalimantan selatan. Hasilnya, Yogyakarta mencapai sejumlah hal yang lebih baik dibandingkan Kalimantan Selatan, termasuk pada Indeks Pembangunan Manusia-nya.

MK Kabulkan Gugatan UU Perkawinan

Pada 13 Desember 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU tentang Perkawinan. Yakni, terkait batas usia perkawinan anak. MK dalam putusannya menyebut, perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan menimbulkan diskriminasi dan inkonstitusional. 

MK memberi tenggat waktu 3 tahun kepada pemerintah merampungkan revisi Undang-Undang Perkawinan. Juru bicara MK, Fajar Laksono mengatakan jika dalam 3 tahun tidak mendapatkan hasil apapun, maka usia perkawinan diharmonisasikan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu batas usia minimum 18 tahun.

Kuasa Hukum Koaliasi Penggugat UU Perkawinan sekaligus Direktur Eksekutif ICJR, Anggara menilai waktu 3 tahun terlalu lama untuk sebuah produk hukum. Dia khawatir pernikahan anak makin marak akibat kekosongan hukum.

"Buat kami selama masa tiga tahun berarti anak-anak Indonesia akan berada dalam ketidakpastian mengenai perlindungan hak-hak anak yang dijamin dalam konstitusi kita. Jadi meskipun kami senang dalil kami dinyatakan terbukti, tapi kami juga khawatir jangan sampai, pertama, karena tiga tahun itu masa tunggu yang cukup lama tentu kami ingin mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merevisi ketentuan pasal 7 ayat 1 dalam waktu yang sesingkatnya untuk memastikan jaminan perlindungan anak-anak perempuan," kata Anggara di gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (13/12).

Gugatan ini sendiri muncul lantaran adanya diskriminasi dalam perkawinan. Dalam UU Perkawinan batas minimal usia perkawinan perempuan adalah 16 tahun. Sementara laki-laki minimal 19 tahun. Kondisi ini membuat Indonesia berada di posisi darurat pernikahan dini.

Editor: Sindu Dharmawan

 

  • UU Perkawinan
  • Revisi UU Perkawinan
  • Mahkamah Konstitusi
  • Perkawinan Anak
  • KPAI
  • DPR
  • ICJR

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!