HEADLINE

Vonis Anak Korban Perkosaan di Jambi, Hakim Dilaporkan ke KY

Vonis Anak Korban Perkosaan di Jambi, Hakim Dilaporkan ke KY

KBR, Jakarta - Kelompok masyarakat sipil resmi melaporkan majelis hakim PN Muara Bulian, Jambi ke Komisi Yudisial, Senin (30/7/2018).

Perkaranya, hakim tersebut diduga melanggar etik saat memutus kasus yang menimpa seorang anak perempuan usia 15 tahun. Putusan yang dibacakan pekan lalu itu menjatuhkan hukuman penjara enam bulan atas tuduhan aborsi. Padahal kehamilan itu karena pemerkosaan.

Pelapor dari Aliansi Organisasi Peduli Perempuan dan Anak, Aquino menyatakan penjatuhan pidana tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hak anak, hak korban kekerasan seksual, sekaligus korban KDRT. Ia menilai putusan hakim tidak peka terhadap masalah yang dihadapi anak perempuan korban perkosaan.

"Hakim tersebut harus melihat dari asas keadilan bahwa dia sudah jadi korban," jelas Aquino kepada KBR di Komisi Yudisial, Jakarta, usai mengadukan kasus ini.

"Dia hendaknya tidak menghukum korban, karena itu akan jadi preseden buruk buat nanti semua korban perkosaan akan mengalami hal yang sama. Yang kami imbau dari KY untuk menelusuri apakah hakim ini sudah mengikuti kode etik yang benar atau belum," tambahnya.

Aliansi mencatat, ada sejumlah peraturan yang diabaikan oleh majelis hakim. Peraturan ini antara lain Undang-Undang Kesehatan, PP Kesehatan Reproduksi, dan Permenkes yang membolehkan praktik aborsi karena perkosaan.

Selain itu, majelis hakim diduga melanggar Undang-Undang Sistem Peradilan Anak karena dinilai tidak memberikan hak pembelaan diri yang memadai bagi korban.

Hakim juga diduga melanggar Peraturan MA tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan. Aturan itu mewajibkan hakim menggali rasa keadilan dan melarang diskriminasi berdasarkan kebudayaan, aturan, adat, dan praktik tradisional yang merugikan korban.

Hakim PN Muara Bulian memvonis enam bulan penjara kepada WA lantaran dituduh menggugurkan janin. WA hamil karena diperkosa kakaknya sendiri berinisial AA, sebanyak 8 kali dan diancam untuk tidak membocorkannya. AA yang juga masih usia anak itu divonis dua tahun penjara atas kejahatan perkosaan.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/10-2016/komnas_pa_minta_kepolisian_serius_tangani_perkara_pelecehan_seksual_anak_/85671.html">Komnas PA Minta Kepolisian Serius Usut Kasus Kejahatan Seksual terhadap Anak</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/berita/08-2016/ky_akan_periksa_hakim_banding_kasus_kejahatan_paedofil_di_kediri/84341.html"><b>KY Akan Periksa Hakim Banding Kasus Kejahatan Pedofil di Kediri</b></a><br>
    

Dugaan Pelanggaran Hukum Acara

Bukan saja berbuah pelaporan, vonis hakim juga menuai kecaman dari pelbagai pihak. Senada dengan pelapor ke KY, Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengindikasikan adanya pelanggaran hukum acara dalam proses pemidanaan anak tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, majelis hakim tidak memeriksa kasus ini secara hati-hati. Ia menyebut, pengadilan melanggar Peraturan Mahkamah Agung  tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum.

"Pertama, anak ini sudah ditahan sejak awal. Itu saja dalam konteks korban kekerasan seksual sudah membuat trauma. Dia sudah trauma dengan kekerasannya, dia trauma lagi dengan sistem peradilannya. Dalam kondisi ditahan dia sudah mengalami traumatik yang luar biasa," jelas Anggara kepada KBR.

"Sekarang dia dipenjara, kan enggak penting berapa lama hukumannya karena yang lebih penting bagaimana treatment negara terhadak korban kekerasan seksual," lanjutnya.

Anggara juga mempertanyakan proses pemeriksaan perkara di pengadilan yang singkat. Ia ragu proses hukum acara benar-benar dijalankan hanya dengan lima kali persidangan. Atas dasar itu, ICJR meminta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk menyelidiki kasus ini.

Menanggapi permintaan tersebut, juru bicara Mahkamah Agung MA, Suhadi menyatakan belum bisa menilai pengenaan pasal yang dijatuhkan hakim kepada korban. Ia beralasan masih harus mempelajari kasus tersebut. Selain itu, MA juga perlu memastikannya terlebih dulu ke PN Muara Bulian, Jambi.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/terkini/12-2017/menyalahkan_perempuan/94109.html">Menyalahkan Perempuan</a></b><br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/terkini/05-2017/terjaring_razia_celana_ketat__wh_lhokseumawe_bagikan_kain_sarung_/90196.html">Terjaring Razia Celana Ketat, WH Lhokseumawe Bagikan Kain Sarung<span id="pastemarkerend">&nbsp;</span></a></b><br>
    

Kata dia, acuan yang pasti adalah menggunakan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Sebab menurut Suhadi, meski hakim tak mengacu pada Perma pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, hakim bisa menggunakan SPPA.

"Kalau putusan PN merasa tidak diterima, ya banding saja. Kan dia punya juga mengajukan banding. Baik terdakwa itu sendiri maupun orang lain yang terlibat. Dia akan dikoreksi putusannya PN."

Tapi Suhadi berpendapat, menggugurkan kandungan merupakan tindakan perampasan hak hidup dari bayi yang seharusnya dilindungi. Sehingga menurutnya, penetapan vonis oleh hakim sudah sesuai dengan alat bukti. Namun jika tidak terima, ia menyarankan agar korban kasus aborsi mengajukan banding atas vonis tersebut.

Atas putusan tersebut, Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menjanjikan bakal mendalami terlebih dulu. Karenanya ia enggan menanggapi soal keharusan pemakaian Perma pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum dalam kasus ini.

"Enggak mungkin lah kalau terdakwa tidak melakukan pembelaan kalau faktanya sudah jelas 'saya menyerahkan kepada hakim', bisa itu. Makanya harus dilihat fakta persidangannya. Tidak bisa kita mengarang cerita bahwa seolah hakim kok sidangnya cepet," kata Jaja saat dihubungi KBR.

Ia pun sangsi jika ada yang menyebut bahwa tak ada pembelaan dari korban pemerkosaan. Tapi untuk lebih pastinya, Jaja akan mengeceknya ke hakim yang bersangkutan. Dan, berkoordinasi dengan Badan Pengawas MA.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/12-2017/komnas_perempuan__pelecehan_seksual_bermula_dari_otak_pelaku__bukan_tubuh_perempuan/94118.html">Komnas Perempuan: Pelecehan Seksual Bermula dari Otak Pelaku Bukan Tubuh Perempuan</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/berita/11-2016/6_tahun_terakhir__kekerasan_terhadap_anak_dan_perempuan_di_kalbar_meningkat/86870.html"><b>6 Tahun Terakhir Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di Kalbar, Meningkat</b></a>&nbsp;<br>
    

Komnas Perempuan Dorong Banding

Terkait kasus ini, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memastikan bakal mendampingi anak korban perkosaan tersebut. Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei mengakui kecolongan atas putusan hakim. Ia menilai, vonis enam bulan penjara ke anak korban perkosaan itu tak tepat.

Ia menyatakan, Komnas Perempuan melalui mitra kerja di Jambi akan mendorong upaya banding terhadap putusan PN Muara Bulian.

"Ini akan menajadi catatan Komnas Perempuan untuk melakukan pendampingan. Prespektif yang digunakan oleh Komnas perempuan adalah perlindungan korban," kata Imam Nahei saat dihubungi KBR.

"Jadi Komnas Perempuan akan melihat proses selanjutnya dan upaya-upaya hukum selanjutnya untuk melindungi korban yang di Jambi," tambahnya lagi.

Ia pun menyayangkan putusan tersebut. Sebab mestinya menurut Imam, hakim PN Muara Bulian memposisikan anak sebagai korban. Sebab, anak tersebut hamil karena diperkosa sehingga bukan atas keinginannya.

Karenanya ia menduga hakim tidak melihat kasus secara menyeluruh. Selain itu menurut Imam, tak semua hakim di Indonesia memiliki perspektif korban. Itulah yang menurutnya mengakibatkan korban perkosaan kerap dihukum atas tuduhan melakukan aborsi.

Pertengahan 2017, kasus serupa pernah terjadi di Jakarta. Kala itu menimpa BL, bocah perempuan usia 15 tahun. Saat penuntutan, jaksa memang meminta hakim PN Jakarta Selatan memvonis BL dengan hukuman delapan tahun penjara. Namun Majelis Hakim justru membebaskan BL dari jerat penjara. Sebagai gantinya, hakim menjatuhkan hukuman pembinaan selama 1,2 bulan di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani, Jakarta Timur.

Vonis itu, rupanya didasari pertimbangan bahwa BL tidak mengetahui kehamilannya. Usia pun masih katagori anak sehingga haknya seperti pendidikan dan kasih sayang harus dipenuhi. Itu mengapa, hakim menganggap hukuman penjara tak tepat dijatuhkan.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/saga/08-2017/_saga__mengadili_anak_korban_pemerkosaan/91682.html">[SAGA] Mengadili Anak Korban Perkosaan</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/asia_calling/05-2016/upaya_mengatasi_kejahatan_seksual_di_indonesia/81759.html"><b>Upaya Mengatasi Kejahatan Seksual di Indonesia</b></a>&nbsp;<br>
    



Editor: Nurika Manan

  • kejahatan seksual
  • Stop Kekerasan Seksual
  • kekerasan seksual
  • kekerasan perempuan
  • keadilan bagi korban perkosaan
  • korban perkosaan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!