NASIONAL

Ultimatum KSPI: Sepekan Permenaker JHT Tak Dicabut, Buruh Ancam Demo Bergelombang

""Tentang nanti hari tua sudah ada jaminan pensiun. Kenapa dua menteri ini pusing-pusing ngurusin dana tabungan buruh. Sudah ada jaminan pensiun.""

Ranu Arasyki

Ilustrasi: Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Jaka
Ilustrasi: Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Jakarta. Rabu (16/2/22). (Foto: ANTARA/Aditya Pradana)

KBR, Jakarta— Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mencabut Permenaker No. 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, pernyataan ini ia sampaikan merespons perintah Presiden Joko Widodo untuk merevisi aturan itu agar lebih sederhana. 

Menurut Said, jika dalam tujuh hari Menaker tidak mencabut aturan itu, pihaknya mengancam akan melakukan aksi massa secara bergelombang.

"Kami terus terang agak kawatir dengan cara Menaker dan Menko Perekonomian bertahan dengan sikapnya, yang menurut pandangan kami Menko Perekonomian dan Menaker tersebut melawan kebijakan Presiden. Partai buruh dan serikat buruh akan mengorganisir aksi-aksi yang lebih besar dan berkelanjutan terus-menerus di seluruh wilayah Indonesia bila dalam satu kali tujuh hari tersebut Menaker belum mencabut Permenaker No.2/2022," kata Said Iqbal dalam konferensi pers daring, Selasa (22/2/2022).

Said menuturkan, dana JHT merupakan tabungan sosial yang seharusnya bisa diambil setelah pegawai tidak lagi bekerja, bukan dipatok pada usia 56 tahun. Apalagi, kondisi masyarakat masih berada dalam tekanan pandemi Covid-1 dan tidak sedikit dari pegawai yang terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 

Ia meminta agar Menaker Ida menghapus kebijakan baru itu dan kembali pada Permenaker No.19/2015 yang memperbolehkan pencairan JHT saat pegawai tidak lagi bekerja.

Baca Juga:

Said mempertanyakan sikap Menaker Ida Fauziyah yang sebelumnya bersikeras memberi batasan usia 56 tahun untuk pencairan dana JHT. Padahal, sudah ada Jaminan Pensiun (JP) yang dapat digunakan pegawai ketika memasuki masa tua.

"Tentang nanti hari tua, itu sudah ada jaminan pensiun. Kenapa dua menteri ini pusing-pusing ngurusin dana tabungan buruh? Sudah ada jaminan pensiun! Kalau memang kita anggap jaminan pensiun itu nanti saat diambil oleh pekerja tidak mencukupi, maka kita perbesar iuran pensiun. Dialog dulu antara pemerintah, pengusaha dan buruh," sambungnya.

Menurut Said, besaran iuran JHT dan JP di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain. Saat ini, kata dia, jika dana JHT dan JP digabung, maka total iuran sebesar 8,7 persen. Persentase itu masih di bawah Malaysia sebesar 23 persen, Vietnam sebesar 18 persen, dan Singapura sebesar 33 persen.

"Gabon, negeri yang jumlah penduduknya di Afrika sangat sedikit, iuran JHT dan JP-nya total 18 persen. Vietnam juga sekitar 18 persen, Indonesia hanya 8,7 persen. Jadi jangan membodoh-bodohi buruh dan pekerja seolah-olah agar kami mendengar rasa sayang kepada buruh pekerja. Itu adalah omong kosong yang paling tidak lucu. Para buruh lagi susah membutuhkan JHT, kok rasa sayang disuruh nunggu puluhan tahun," tegasnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar aturan soal pencairan JHT direvisi. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebut Presiden terus mengikuti aspirasi para pekerja dan memahami keberatan pekerja terhadap Permenaker No.2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran JHT. 

Presiden memanggil Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menaker Ida Fauziyah dan memerintahkan aturan JHT direvisi agar lebih sederhana dan lebih mudah, sehingga bisa bermanfaat untuk membantu pekerja atau buruh yang terdampak, khususnya pekerja yang terkena PHK di masa pandemi COVID-19.

Editor: Agus Luqman

  • JHT
  • JKP
  • serikat buruh
  • BPJS Ketenagakerjaan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!