KBR, Jakarta - Kesaksian Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Maruf Amin di sidang dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta
nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 31 Januari 2017 lalu
memunculkan polemik.
Dalam persidangan tersebut Maruf Amin
ditanya kuasa hukum Ahok mengenai ada tidaknya telepon dari bekas Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, terkait keluarnya fatwa Pendapat dan Sikap
Keagamaan MUI.
"Apakah pada hari Kamisnya, pada hari pertemuan
dengan Paslon 1 (AHY-Sylvi di PBNU) itu hari Jumat, tentunya sebelum
salat Jumat, itu ada telepon dari Pak Susilo Bambang Yudhoyono jam
10.16, yang menyatakan adalah pertama, mohon diatur supaya Agus
Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni bisa diterima di kantor PBNU.
Yang kedua, Pak Susilo Bambang Yudhoyono minta supaya segera dikeluarkan
fatwa untuk masalah penistaan agama yang dilakukan terdakwa?" tanya
kuasa hukum Ahok, Humprey Djemat, saat itu.
"Tidak ada," jawab Maruf Amin.
"Saya tanya sekali lagi, ada atau tidak?"
"Tidak ada."
"Karena kami akan menyampaikan nanti apa yang menjadi dasar apa yang ditanyakan. Sekali lagi kami tanyakan, ada atau tidak?"
"Tidak ada."
"Majelis
hakim, sudah ditanya berulangkali ternyata tidak ada. Untuk itu kami
akan memberikan dukungannya. Majelis hakim, andaikata kami sudah
memberikan buktinya dan ternyata keterangannya ini masih tetap sama maka
kami ingin menyatakan saudara saksi ini telah memberikan keterangan
palsu dan minta diproses sebagaimana mestinya," kata kuasa hukum Ahok.
Pertanyaan
soal telepon dan 'bukti' yang disebut kuasa hukum Ahok kemudian menjadi
bola liar, berkembang menjadi sadap-menyadap percakapan telepon. Meski
kuasa hukum Ahok tidak menyebut mengenai rekaman telepon, isu berkembang
ke arah penyadapan telepon hingga transkrip rekaman.
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi masalah itu dalam konferensi pers pada Rabu (1/2/2017).
"Melalui
mimbar ini saya juga mohon agar transkrip percakapan telepon saya yang
sekarang katanya dimiliki oleh pihak Pak Ahok, beliau sendiri, atau tim
pengacaranya, saya juga bisa mendapatkan. Karena saya khawatir, kalau
tidak saya dapatkan, sangat bisa transkrip itu ditambah atau dikurangi
percakapannya... Saya sungguh ingin mendapatkan transkrip itu, karena
dikatakan 'kami punya buktinya, kami punya rekamannya, kami punya
transkripnya'. Kurang lebih seperti itu," kata SBY, Rabu (1/2/2017).
SBY
mengakui ada hubungan telepon dengan Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin,
namun bukan pada hari Kamis (6/10/2016), melainkan pada hari Jumat, 7
Oktober 2016. Telepon juga tidak terkait dengan kasus Ahok atau tentang
fatwa MUI.
Menurut SBY, pada hari Jumat itu, Agus-Sylvi
dijadwalkan bertemu PBNU dan PP Muhammadiyah untuk meminta doa restu dan
nasihat supaya berhasil di Pilkada DKI 2017. Sebelum anaknya berangkat
ke PBNU, SBY berpesan untuk menyampaikan salam kepada para ulama di
PBNU.
"Kemudian, saya diberitahu di acara PBNU itu cukup lengkap.
Bukan hanya Pak Said Aqil Siraj, tapi juga Pak Maruf Amin sebagai Rais
Aam. Bukan dalam kapasitasnya sebagai Ketua MUI, dan mereka para
pengurus yang katanya lengkap, mengira saya ikut dalam rombongan itu.
Saya katakan, tidak mungkin. Agus-Sylvi sudah mandiri. Nanti dikira di
bawah bayang-bayang ayahnya dan tidak baik. Toh mereka datang untuk
meminta doa restu dan bimbingan," kata SBY.
"Ada staf
yang---bukan saya menelfon Pak Maruf Amin yang menelfon saya langsung,
atau Pak Maruf Amin menelfon saya langsung, tapi ada staf yang di sana
dengan handphone yang bersangkutan, menyambungkan percakapan saya dengan
Pak Maruf Amin yang kaitannya seputar pertemuan itu," lanjut SBY.
"Jadi
percakapan itu ada. Kalau Pak Maruf Amin saya dengar mengatakan 'tidak
ada pertemuan langsung saya dengan Pak SBY dan percakapan langsung saya
dengan Pak SBY yang berkaitan dengan tugas kami, MUI, untuk menetapkan
pendapat keagamaan atau apapun namanya'," kata SBY.
Situs Liputan6.com pada Jumat (7/10/2016) juga menyebut pernyataan Ma'ruf Amin
di PBNU mengenai telepon dari SBY, saat AHY datang ke kantor PBNU.
"Pak
SBY telepon saya. Saya ingat waktu beliau Presiden yang pertama kali
hadir dan dampingi di Senayan, kata beliau, saya," kata Ma'ruf saat itu,
tanpa menyebutkan isi percakapannya dengan SBY.
Majalah
Tempo, edisi 13 November 2016 dalam laporan utamanya juga menulis
informasi adanya komunikasi antara petinggi MUI ke SBY, usai pertemuan
antara Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni di kantor PBNU 7 Oktober.
Lima hari kemudian, MUI mengeluarkan fatwa ang menyatakan Ahok menghina
Alquran.
Mengenai telepon-telepon pada 7 Oktober 2016, anggota
tim sukses AHY-Sylvi, Rachland Nashidik menyebut SBY menerima telepon
dari KH Maruf Amin.
"PBNU mengira SBY akan hadir bersama AHY.
Padahal SBY menilai kehadirannya akan membuat persepsi tak pas bagi AHY.
SBY dari kediaman lalu mengirim SMS kepada Rois Aam NU, KH. Ma'ruf
Amin. Memohon maaf dan menjelaskan kenapa memilih tak hadir. Tak lama
berselang, SBY diberitahu ajudan ada panggilan telepon dari KH Ma'ruf
Amin. Panggilan dari kawan lama itu diterima dengan baik. Percakapan
hangat itu tak berlangsng lama. Pada dasarnya mengulang isi SMS yang
dikirim SBY sebelumnya," kata Rachland lewat akun Twitternya.
Isu
komunikasi telepon antara SBY dan KH Ma'ruf Amin pun bergeser ke soal
sadap-menyadap telepon. Meski dalam pernyataan di persidangan kuasa
hukum Ahok hanya menyebut soal 'bukti', dan tidak menyinggung soak
rekaman atau transkrip percakapan.
Namun media sosial kemudian
ramai membahas isu sadap-menyadap telepon dari bekas orang nomor satu RI
itu. Kebanyakan mengecam soal sadap-menyadap telepon yang seharusnya
hanya bisa dilakukan oleh orang yang berhak, dan tidak bisa sembarangan.
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono meminta aparat turun tangan menyelidiki kasus penyadapan teleponnya.
"Konstitusi
kita, undang-undang kita, aturan kita sama dengan negara lain melarang
tindakan penyadapan ilegal itu. Oleh karena itu, saya bermohon sebagai
warga negara biasa, kalau memang pembicaraan saya---kapanpun---kalau
yang disebut kemarin pembicaraan saya dengan Pak Maruf Amin itu disadap,
ada rekamannya, ada transkripnya, maka saya berharap pihak kepolisian,
pihak kejaksaan dan pihak pengadilan untuk menegakkan hukum sesuai
Undang-undang ITE," kata SBY.
Isu sadap-menyadap telepon
bercampur dengan isu yang sebelumnya berkembang mengenai Ahok dan kuasa
hukumnya yang dianggap menghina KH Maruf Amin saat bersaksi di
pengadilan.