KABAR BISNIS

Hak Asasi Perempuan atas Air vs Kepentingan Investasi

Berbagai persoalan krisis air yang terjadi tidak terlepas dari skema kebijakan negara yang beroritentasi pada investasi dibandingkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak warga negaranya

DIPERSEMBAHKAN OLEH solidaritas perempuan / Paul M Nuh

Hak Asasi Perempuan atas Air vs Kepentingan Investasi
ilustrasi oleh pixabay

Di tengah maraknya wabah Virus Corona dan himbauan pemerintah untuk rajin mencuci tangan sebagai bagian antisipasi untuk memutus penyebaran virus Corona, tidak sejalan dengan kenyataan bahwa tidak semua masyarakat dapat mudah melakukan hal tersebut. Nyatanya, meskipun air merupakan hak dasar warga negara, namun masih banyak masyarakat yang mengalami krisis air, dan tidak dapat mengakses air bersih untuk kebutuhan mereka. 

Berbagai persoalan krisis air yang terjadi tidak terlepas dari skema kebijakan negara yang beroritentasi pada investasi dibandingkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak warga negaranya atas air. Air dan sumber mata air hanya dilihat sebagai komoditas yang diprivatisasi pelayanannya, dimonopoli, ataupun dibiarkan rusak dan/atau tercemar akibat aktivitas industri atas nama investasi dan pembangunan. Hal ini turut diperparah oleh krisis iklim, yang menghancurkan sumber mata air secara masif.

Pada peringatan Hari Air Sedunia 2020, Solidaritas Perempuan mencatat beberapa persoalan dialami masyarakat, utamanya perempuan sebagai berikut:

Pertama, Privatisasi Air, di antaranya terjadi di Jakarta, di mana pengelolaan air diserahkan kepada PT. Aetra dan Palyja.

Kedua, Monopoli Sumber Mata Air oleh perusahaan. Penguasaan dan penyedotan air besar-besaran untuk aktivitas pengolahan bahan tambang atau perkebunan skala besar, maupun untuk penyediaan layanan air perumahan dan pengolahan air minum dalam kemasan, dilakukan tanpa memperhatikan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar.

Ketiga, Pencemaran Sumber Air Karena Limbah, di mana massifnya industri perkebunan skala besar, seperti sawit, maupun tebu telah berdampak pada pencemaran air.

Keempat, Penghancuran Sumber Mata Air Masyarakat, salah satunya juga terjadi di Aceh Besar, di mana tambang semen yang saat ini dikuasai oleh PT. SBA, selama lebih dari 35 tahun telah mengeruk dan menghancurkan kawasan karst Lhok Nga.

Tidak hanya dengan memfasilitasi perusahaan dan industri, keberpihakan Negara kepada investor, juga diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Pasca dibatalkannya UU Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi karena terbukti melanggar hak warga negara, DPR dan Pemerintah justru menghasilkan UU No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (UU SDA), yang lagi-lagi mencerminkan deregulasi dan privatisasi pelayanan publik dengan keberpihakan pada investasi. Dalam UU tersebut tidak ada ketentuan yang melarang secara tegas praktik privatisasi pelayanan penyediaan air yang selama ini menimbulkan pelanggaran hak masyarakat atas air. Dalam pasal 46 dalam UU ini membahas mengenai izin penggunaan air untuk kebutuhan berusaha, dan keterlibatan swasta memang diperbolehkan, dengan berbagai ketentuan yang tidak tegas, karena diserahkan kepada peraturan pelaksana di bawahnya. Pada praktiknya, ketentuan yang dimaksudkan sebagai pembatasan tersebut dapat saja dipenuhi, dengan menggunakan kedok kesejahteraan rakyat. Sementara, untuk penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), swasta juga dimungkinkan terlibat, seperti yang tercantum dalam pasal 50 yang membuka ruang privatisasi terhadap pengelolaan air dan sumber air.

Tidak cukup dengan pengaturan di dalam UU SDA, penguatan deregulasi dan paradigma air sebagai komoditas akan dilakukan melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Kebijakan yang isinya mempermudah berbagai jenis investasi ini menyelaraskan 79 Undang-undang, termasuk UU SDA, dengan menghapus dan mengganti pasal-pasal yang dianggap menghambat laju investasi. Di antaranya, Pasal 55 ayat (11) yang menghapus Pasal 17 UU SDA, mengenai peran Pemerintah Desa dalam pengelolaan air di wilayah desa dan menutup peluang partisipasi masyarakat desa dalam Pengelolaan Sumber Daya Air. Selain itu, pasal 55 ayat (24) mengubah Pasal 51  UU SDA, yang menyerahkan persyaratan minimal untuk perizinan berusaha oleh pihak swasta untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung merupakan wujud pelanggaran hak asasi rakyat, baik perempuan maupun laki-laki yang dilakukan negara demi memastikan keberlanjutan investasi di Indonesia.

Berdasarkan berbagai situasi dan persoalan tersebut, Solidaritas Perempuan mendesak Presiden Jokowi untuk memastikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak perempuan atas air dengan mengeluarkan kebijakan yang setidaknya:

  1. Menghentikan segala bentuk privatisasi dan monopoli air  oleh perusahaan serta menindak tegas perusahaan yang melakukan pencemaran dan pengrusakan sumber air.
  2. Memberikan jaminan partisipasi dan keterlibatan penuh perempuan serta keterwakilan kepentingan perempuan dalam kelembagaan, kebijakan, program dan pengambilan keputusan terkait pengelolaan air dan sumber daya air di semua tingkatan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi, untuk memastikan pengelolaan air dapat sesuai sasaran/kebutuhan dan keberkelanjutan, berdasarkan kebutuhan serta manfaat, baik kuantitas dan kualitas air yang dibutuhkan atau digunakan sehari-harinya.
  3. Memberikan jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan atas air yang cukup, aman, dan terjangkau secara fisik serta finansial untuk penggunaan pribadi, keluarga dan rumah tangga, maupun untuk kebutuhan produksi dan irigasi, dengan memastikan akses dan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki atas hak atas air serta untuk mendapatkan manfaat dan hasil yang setara, baik bagi dirinya, keluarga dan komunitasnya.
  4. Memberikan jaminan perlindungan serta sarana dan prasarana pendukung untuk pengelolaan air berbasis komunitas oleh kelompok masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki.


 

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!