EDITORIAL

Mengukir Prestasi, Mengusir Stigma

"Jika kita bisa menyingkirkan stigma dan prasangka jauh-jauh, maka kita bisa melihat manusia secara utuh. Karena prestasinya, bukan karena warna kulit. Karena apa yang dikerjakan,bukan karena agamanya."

KBR

Timnas Homeless World Cup 2015. (Antara)
Timnas Homeless World Cup 2015. (Antara)

Indonesia menang Amsterdam Cup di ajang sepakbola Homeless World Cup 2015 di Belanda! Ini artinya Indonesia menempati peringkat ke-17 dunia dan mengalahkan Norwegia di ajang final.


Tunggu dulu. Menang? Di ajang sepakbola?


Bagi Anda yang belum tahu, Homeless World Cup adalah ajang kejuaraan sepakbola bagi kaum marjinal. Yang ikut dalam tim sepakbola ini adalah Orang dengan HIV/AIDS atau ODHA, bekas pecandu narkoba serta warga miskin kota. Mereka yang biasanya dipandang sebelah mata atau bahkan tak dianggap. Tapi justru mereka yang membawa nama Indonesia di ajang internasional, bawa pulang gelar juara pula!


Homeless World Cup pertama kali diciptakan bagi kelompok tuna wisma. Sepakbola menjadi alat untuk membuat perubahan bagi kehidupan para pemainnya. Seiring waktu, peserta ajang ini tak hanya tuna wisma, tapi juga mereka yang distigma negatif oleh masyarakat. Di Indonesia, motornya adalah Rumah Cemara di Bandung. Sepakbola jadi perjuangan mereka untuk mematahkan stigma yang melekat berbekal prasangka.


Terjegal karena stigma juga dialami Ahmed Mohammed, bocah 14 tahun yang terkenal seantero dunia karena membuat jam. Dia ditangkap lantaran sekolah mengira anak ini membuat bom. Dia ditangkap karena ada stigma dan prasangka terkait warna kulit dan agamanya. Ahmed adalah keturunan Sudan yang pindah ke Amerika Serikat dan beragama Islam.


Ketika Ahmed dicurigai sekolah, bahkan sampai ditangkap polisi, dunia justru membanjirinya dengan dukungan. Tak kurang Presiden Barack Obama memuji Ahmed sebagai orang yang membuat Amerika begitu hebat. Pendiri Facebook Mark Zuckerberg juga menyebut kalau masa depan ada di tangan orang-orang seperti Ahmed.


Jika kita bisa menyingkirkan stigma dan prasangka jauh-jauh, maka kita bisa melihat manusia secara utuh. Karena prestasinya, bukan karena warna kulit. Karena apa yang dikerjakan, bukan karena agamanya. Karena apa adanya dia sebagai manusia, dan tak terbelenggu pada masa lalunya yang kelam.


Di laman Facebook Rumah Cemara, ada sebaris kalimat yang ditulis untuk merayakan kemenangan di Amsterdam Cup. “Semoga para pemain dalam kembali menjuarai kompetisi sebenarnya: kompetisi kehidupan.”



  • homeless world cup 2015
  • Rumah Cemara
  • amsterdam cup
  • HIV/AIDS
  • Toleransi
  • Bandung
  • petatoleransi_08Jawa Barat_biru

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!