EDITORIAL

Hilangnya Makanan Lokal Kami

"Panganan lokal, yang menjadi bagian dari kearifan masyarakat setempat, perlahan tapi pasti mulai menghilang. Perkembangan jaman membuat makanan lokal mulai dilupakan. Di Papua, misalnya, sagu, kelapa hutan, pinang dan buah matoa terancam punah."

kbr68h

Hilangnya Makanan Lokal Kami
makanan lokal, indonesia, punah

Panganan lokal, yang menjadi bagian dari kearifan masyarakat setempat, perlahan tapi pasti mulai menghilang. Perkembangan jaman membuat makanan lokal mulai dilupakan. Di Papua, misalnya, sagu, kelapa hutan, pinang dan buah matoa terancam punah.

DPR Papua menuding pemekaran daerah otonom baru dan pembangunan ruas jalan membuat sejumlah tanaman pangan warga setempat rusak, bahkan menghilang. Ini diperburuk dengan tidak adanya penanaman kembali tanaman lokal tersebut.

Di Pekalongan, durian lokal Baladewa dan Nurwedi mulai terbatas dan hampir punah. Padahal durian ini mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan punya nilai jual yang tinggi.

Sementara di Sumenep, Madura, bibit jagung lokal mulai tergeser oleh bibit hibrida.  Petani mulai resah dengan bibit hibrida karena akan menghilangkan bibit lokal yang sudah menjadi citra petani Sumenep.

Dulu jagung menjadi makanan pokok bagi masyarakat Madura. Namun, seiring waktu, jagung sebagai makanan sehari-hari pun mulai ditinggalkan. Popularitasnya sebagai makanan pokok lambat laun tergantikan oleh beras.

Contoh lainnya ada di Nusa Tenggara Timur. Pangan lokal macam sorgum, jewawut, dan jelai, sudah terancam punah. Petani  tidak lagi berminat membudidayakannya karena kalah pamor dengan beras.

Pergeseran pola konsumsi membuat masyarakat kurang termotivasi untuk menggali dan memanfaatkan pangan lokal yang sebetulnya berlimpah. Introduksi beras sebagai makanan pokok yang dimulai sejak zaman Orde Baru telah menggeser makanan pokok lokal. Kondisi ini secara tidak langsung akhirnya memperlambat pengembangan penyediaan bahan pangan sampai ke tingkat rumah tangga.

Otonomi daerah juga ikut member dampak pada hilangnya pangan lokal. Tak jarang pejabat setempat lebih berpihak pada industri yang tak segan-segan menghancurkan dan merusak kekayaan alam yang selama ini menjadi sumber pangan lokal.

Sebetulnya, masyarakat percaya kalau pangan bukan sekedar mengisi perut. Soal pangan juga menyangkut kultur dan pola hidup. Namun, kreativitas masyarakat seringkali tersumpal karena minimnya dukungan dari pemerintah.

Contohnya, kala masyarakat ingin membuat tepung dari ubi, mereka kebingungan menjual produknya. Pemerintah lebih mendukung produsen terigu dibanding mengembangkan tepung-tepungan lokal. Pangan lokal akhirnya hanya menjadi jargon, karena konsumennya tidak berpihak kepada mereka.

Tak ada cara untuk menyelamatkan pangan lokal kecuali memberdayakan dan membuat peraturan yang tegas-tegas berpihak pada kearifan lokal. DPR Papua punya rencana memasukkan  perlindungan panganan lokal dalam rancangan tata ruang dan wilayah yang saat ini masih digodok bersama dengan pemda setempat.

Budidaya pangan lokal juga berdampak pada pengurangan jejak karbon. Pasalnya, 30 persen emisi global berasal dari pertanian dan produksi makanan. Emisi terjadi mulai dari pengangkutan makanan hingga siap disantap di meja makan.

Kalau produk makanan yang bahan bakunya mudah didapat di sekitar rumah, otomatis akan mengurangi emisi. Berkurangnya jarak tempuh juga membuat berkurangnya penggunaan alat pendingin untuk mencegah pembusukan.

Pengembangan dan pelestarian  pangan lokal menjadi penting agar Indonesia  tak terus bergantung pada impor bahan pangan.  Khalil Gibran sudah mengingatkan, alangkah menyedihkan menjadi bangsa yang hidup dan makan dari makanan yang tidak ditanamnya sendiri.




  • makanan lokal
  • indonesia
  • punah

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!