EDITORIAL

Maaf, Wartawan Bukan Intel

"Lantaran kekurangan tenaga intelijen, Kapolri Jendral Sutarman muncul dengan ide cemerlang: menjadikan wartawan sebagai intelijen. Menurut Sutarman, langkah ini bisa ikut mengamankan Pemilu 2014 di sejumlah daerah di Indonesia."

KBR68H

Maaf, Wartawan Bukan Intel
wartawan, intel, pemilu, sutarman

Lantaran kekurangan tenaga intelijen, Kapolri Jendral Sutarman muncul dengan ide cemerlang: menjadikan wartawan sebagai intelijen. Menurut Sutarman, langkah ini bisa ikut mengamankan Pemilu 2014 di sejumlah daerah di Indonesia. Intelijen bertugas untuk mengumpulkan informasi tentang potensi konflik sosial yang terjadi di daerah. Dan ini sangat penting dilakukan untuk tahun pemilu seperti sekarang. Menurut Sutarman, berbekal informasi dari media merangkap intelijen, polisi bisa menurunkan tim untuk mencegah munculnya konflik sosial.

Sekilas terkesan sederhana dan baik-baik saja. Toh kerja wartawan tak lain tak bukan adalah mengumpulkan informasi. Dan jika konflik sosial bisa dicegah tentu itu adalah hal yang baik bagi semua.

Tapi menjadi intelijen tidak sesederhana itu. Intelijen memilah dan memilih informasi yang kemudian diolah menjadi sebuah strategi pengamanan. Sementara wartawan menyuguhkan informasi yang ada kepada publik, karena informasi adalah hak publik sekaligus hak konstitusional. Menjadi intelijen bisa berarti memilah seseorang itu lawan atau kawan dalam konteks pengamanan. Sementara bagi wartawan, yang lebih penting adalah cover both sides alias mengungkap dua atau lebih sisi cerita yang ada supaya publik bisa mengambil keputusan dengan lebih cermat.

Undang-undang tentang Pers menyebutkan kalau kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Karena itu tak ada sensor, bredel atau larangan penyiaran lagi. Karena itu, pers nasional berhak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dengan begitu, maka sudah jelas institusi pers sangat berbeda dengan institusi intelijen. Semua media punya kewajiban untuk memberikan hak publik atas informasi, seluas-luasnya, karena lagi-lagi, itu adalah kepentingan publik. Jika media mesti merangkap menjadi intelijen, maka ada hak publik yang bakal dikebiri.

Dewan Pers menyebut, tugas pers adalah mengkritik. Tugas ini termaktub dalam fungsi pers sesuai UU tentang Pers yaitu informasi, edukasi dan kontrol sosial. Media sudah tentu tak bakal bisa menjalankan fungsi mengkritik negara jika tengah berperan sebagai intelijen karena informasi yang dicari adalah yang sesuai kepentingan negara. Konteks keamanan negara, konsep kawan dan lawan, jadi sangat penting bagi anggota intelijen.

Aliansi Jurnalis Independen menentang rencana Kepolisian ini. AJI meminta Dewan Pers memberi pemahaman kepada kepolisian dan juga media bahwa media tak mungkin rangkap jabatan menjadi anggota intelijen. Jika polisi kekurangan tenaga intelijen,maka itu adalah tugas kepolisian untuk mencari solusinya.

Tak mungkin juga jika media kekurangan wartawan, lantas menjadikan polisi sebagai wartawan kan?

  • wartawan
  • intel
  • pemilu
  • sutarman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!