NASIONAL
Pajangan kaligrafi Alquran dari kerajinan arguci (Foto: KBR/Alfan)
Pengantar:
Sulam air guci atau arguci adalah warisan budaya Banjar yang sudah berusia ratusan tahun. Nilai kultural dan historisnya yang tinggi menjadikan kerajinan ini bernilai secara ekonomi. Di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ada satu keluarga yang menggarap sulam arguci selama puluhan tahun. Selain melestarikan budaya, bisnis ini juga memberdayakan ekonomi warga sekitar. Jurnalis KBR Valda Kustarini berbincang dengan penerus usaha tersebut tentang geliat sulam arguci di masa pandemi.
KBR, Banjarmasin- Risna Aprliyiana, mengajari puluhan perempuan, teknik menyulam kain air guci di pelatihan keterampilan yang diadakan Pemerintah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Mereka menyulam hiasan mengkilap atau payet warna emas di atas kain beludru hitam. Topik hari itu adalah belajar membuat sarung tisu.
"Ga banyak orang yang tahu sulam air guci. Dengan pelatihan ini kita kenalkan, gimana sih cara pengerjaannya, motifnya apa aja?" kata Risna.
Yanti, salah satu peserta, ikut pelatihan supaya bisa mengajarkan keahlian sulam air guci atau arguci ke warga di lingkungannya. Ia berharap bakal ada pendampingan berkelanjutan pasca-pelatihan.
"Bagusnya sih setelah ini ga dilepas sama sekali, ada pendampingan, misalnya dibikin grup WA," kata perempuan yang tinggal di Kayutangi ini.
Baca juga: Banjarmasin Menuju Kota Inklusi
Peserta pelatihan Yanti sedang membuat pajangan dengan menyulam arguci/ payet di atas kain beludru hitam (Foto: KBR/Alfan)
Risna yang akrab disapa Iin adalah pemilik usaha kerajinan sulam arguci, Argadia Melati, di Kota Banjarmasin. Ia merupakan generasi ketiga dari bisnis keluarga yang dirintis Kasniah, neneknya pada 1960.
"Jadi beliau memberikan keterampilan menjahit kepada ibu-ibu," kata perempuan 42 tahun ini.
Arguci adalah kerajinan sulam khas Banjar yang diwariskan turun temurun selama ratusan tahun. Konon, arguci menjadi simbol kemewahan raja-raja Banjar. Sulaman berhiaskan manik-manik dari batu mulia ditemukan di pakaian adat dan pengantin. Motifnya bernuansa alam seperti tumbuhan dan hewan.
"Di pakaian pengantin, untuk pakemnya sudah ada motif yaitu alilipan. Untuk remaja putri pakai bunga pucuk rabung sama kembang kangkung. Kalau untuk bapak ibu pakai motif gegetas," jelas Risna.
Baca juga: Bagirata, Solidaritas bagi Pekerja Terdampak Pandemi
Penerus usaha arguci Argadia Melati Risna Apriliyana, kerajinan payet yang dikenalkan neneknya sejak tahun 60an (Foto: KBR/Alfan)
Arguci pun berkembang mengikuti zaman dan pasar. Payet berbahan plastik dan motif nuansa Islami mulai diadopsi.
"Kalau kaligrafi itu macam-macam, ada ayat kursi, Allah Muhammad, asmaul husna, kalimat syahadat, tergantung request pelanggan,"
Bagi Iin, sulam arguci tak sekadar bisnis, tetapi juga sarana melestarikan budaya dan memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar. Meski terpukul akibat Pandemi Covid-19, usaha Iin tetap berproduksi demi menghidupi karyawan. Mereka banyak mengandalkan sistem pre-order.
"Sekarang ga terlalu turun, kalau sebulan kadang-kadang bisa 3 ayat kursi atau sarung tisu. Kalau nominalnya dari Rp500-1 juta,” ujar Risna.
Dewi Hapsari Ayu, bekerja sebagai penjahit di Argadia Melati sejak 2019 (Foto: KBR/Alfan)
Karyawan Iin, Dewi mengaku hanya membuat sekitar 5 produk per bulan, yakni kotak tisu dan sarung bantal, karena turunnya pesanan. Padahal, biasanya ia mampu memproduksi 2 kali lipatnya.
Selama dua tahun bergabung dengan Argadia Melati, Dewi mendapat banyak manfaat, salah satunya penghasilan tambahan.
"Paling ga kita menghasilkan, jadi ada sedikit kelebihan positifnya dalam sulam air gucinya ini,” kata perempuan 41 tahun ini.
Iin ingin Argadia Melati tetap bertahan dan berkembang. Ia berharap dukungan pemerintah, sehingga produk warisan budaya seperti arguci bisa dikenal luas.
"Mungkin dari pemerintah kota ada kewajiban setiap kantor harus sedia hiasan-hiasan kaligrafi atau sarung bantal," pungkas Risna.
Penulis: Valda Kustarini
Editor: NInik Yuniati