SAGA
Beberapa penyandang disabilitas tengah duduk di halte RSUD Ulin, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. (Foto: KBR/Alvan)
Pengantar:
Banjarmasin jadi kota pertama yang punya inisiatif Peta Jalan Kota Inklusi. Dirilis pada 2018, Pemkot Banjarmasin pun kebanjiran dukungan untuk mewujudkan Kota Seribu Sungai sebagai kota inklusif ramah difabel. Data UNESCO 2019 menunjukkan, 3800-an penyandang disabilitas tinggal di kota tersebut. Jurnalis KBR Valda Kustarini berbincang dengan teman-teman disabilitas soal perkembangan Banjarmasin sebagai Kota Inklusi.
KBR, Banjarmasin - Jelang siang, Fitriah berjalan perlahan dengan tongkat di tangan kirinya. Perempuan usia 35 tahun itu berjalan dekat blok penuntun untuk tunanetra. Jalan yang dilaluinya adalah Jalan Ahmad Yani, di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Trotoar di jalan protokol ini diklaim ramah difabel.
“Kalau untuk yang keramiknya ini masih agak terlalu licin, harusnya agak kasar sedikit. Takutnya kalau hujan, lantainya licin, harus hati-hati benar, cari yang keringlah lantainya,” kata Fitriah.
Fitriah adalah penyandang tunadaksa, sistem alat geraknya mengalami gangguan. Keberadaan jalan landai atau ramp mempermudahnya mengakses trotoar. Sayang, tidak dilengkapi pegangan atau handrail.
“Susah buat saya yang pengguna tongkat naiknya, harus ada yang bantulah. Lain halnya kalau sudah ada ramp-nya dan ada handrail-nya, itu ga perlu dibantu juga ga masalah,” tutur warga asli Banjarmasin ini.
Baca juga: Kota Ramah Difabel di Mata Atlet Muda Berprestasi
Penyandang tunadaksa Fitriah menyusuri Jalan Ahmad Yani, Kota Banjarmasin. Jalan protokol ini diklaim ramah difabel. (Foto: KBR/Alvan)
Trotoar jalan Ahmad Yani dibangun dengan desain ramah difabel sejak 2019. Total panjangnya kini mencapai 12 kilometer.
Menurut Fitriah, selama beberapa tahun terakhir, fasilitas publik sudah nyaman diakses para difabel – tapi baru sebagian saja.
“Di kecamatan sudah ramah disabilitas ramp-nya ada, handrail-nya ada. Di puskesmas juga ada, pelayanannya juga ramah disabilitas. Kalau di Pasar Pekauman masih pakai keramik licin, belum ramah disabilitas, ga ada yang guiding block-nya,” ujar Fitriah.
Catatan lain datang dari Slamet, difabel netra, yang juga Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Kota Banjarmasin. Ia sudah 13 tahun tinggal di sini, perkembangan fasilitas publik makin inklusif.
“Yang kadang agak menghkawatirkan keselamatannya untuk pengguna kursi roda, tongkat krek dan tongkat kencreng. Bidang miring atau ramp, baik di kelurahan atau di trotoar masih curam, belum landai,” imbuhnya.
Baca juga: Puan Penyelam Gandeng Difabel Gaungkan Kesetaraan
Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas (PPDI) Kota Banjarmasin Slamet. (Foto: KBR/Alvan)
Akses mobilitas masih jadi problem di Banjarmasin. Fitriah dan Slamet memilih untuk pakai motor roda tiga hasil modifikasi sendiri, ketimbang pakai angkutan umum. Meski ada tantangan menanti: cari tempat parkir.
"Tempat parkir kebanyakan memang tidak ada. Bahkan teman saya yang pengguna kursi roda, sempat dibilang oleh masyarakat 'mengganggu aja nih motornya, kegedean," tutur Slamet.
Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina mengakui soal belum banyak yang paham kebutuhan kelompok difabel. Tapi perbaikan terus dikebut. Misalnya, lewat program angkot ceria; yaitu fasilitas antar jemput ke sekolah bagi siswa difabel.
“Yang sekolah kan bisa didata, kelas berapa, sekolahnya di mana, rumahnya di mana, bisa dilayani langsung. Sehingga angkot ini tidak muter, tapi khusus disiapkan memberikan pelayanan untuk anak-anak yang mau sekolah tapi disabilitas,” jelas Ibnu Sina.
Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina. (Foto: KBR/Alvan)
Pemkot Banjarmasin juga mengeluarkan sejumlah program inklusif di Kelurahan Gadang sejak September 2021 lalu. Tempat ini jadi percontohan zona sekolah aman dan inklusif, mobilitas inklusif serta pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
Yang tengah dikerjakan sekarang adalah produksi motor roda tiga untuk difabel.
“Walaupun itu berupa prototype yang dimanfaatkan. Tapi kalau produksi massal, kan bisa, mereka mobilitasnya tidak tergantung dengan angkutan umum,” lanjutnya.
SD Negeri Gadang adalah percontohan sekolah yang inklusif. Di sini ada banyak siswa difabel.
“Yang memang ramah disabilitas, tempat nunggunya khusus, fasilitasnya itu ada ramp-nya kalau yang pakai kursi roda nunggu jemputan,” ujar Ibnu Sina.
Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas (PPDI) Kalimantan Selatan Muhammad Anshari. (Foto: KBR/Alvan)
Kelompok disabilitas juga tak berkekurangan di masa pandemi. Ada sembako, masker transparan khusus penyandang tunawicara, pelatihan usaha hingga akses vaksinasi.
“Perhatian pemerintah itu sudah luar biasa. Kita sudah diajak vaksin di Banjarbaru dan di Banjarmasin. Pemerintah sudah ada alokasi khususlah,” kata Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kalimantan Selatan Muhammad Anshari
Catatan-catatan baik ini kemenangan kecil bagi penyandang disabilitas dalam memperjuangkan inklusivitas. Tapi masih ada yang mandek: belum terbitnya peraturan gubernur soal disabilitas. Padahal ini penting untuk memastikan kepentingan kelompok disabilitas masuk program kerja pemerintah.
Yang tak kalah penting adalah keterlibatan mereka dalam pembangunan.
“Kita kan sudah punya perda ya, kita lagi bangun komunikasi dengan pemerintah supaya keluar pergub-nya. Karena ketika pergub keluar, komisi (disabilitas) itu ada, beasiswa untuk disabilitas itu ada, akses jaminan kesehatan ada. Ketika payung hukumnya ada di sanalah anggaran itu ada sehingga untuk semua itu tercukupi,” pungkas Anshari.
Penulis: Valda Kustarini
Editor: Ninik & Citra DP