SAGA
"KPU membonsai peluang perempuan berkontestasi dalam pemilihan legislatif, lewat aturan pembulatan ke bawah. KPU sudah kalah di MA, DKPP, dan Bawaslu"
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan demo di Bawaslu, Senin (28/5/2023) minta revisi PKPU 30 persen caleg perempuan. (Foto: Antara/Reno)
KBR, Jakarta - Eka Ernawati mesti bersiap dengan apapun hasil pemilu legislatif 2024. Ia khawatir jika jumlah perempuan yang lolos ke DPR berkurang. Artinya, makin berat peluang meloloskan produk undang-undang yang berpihak pada perempuan.
“Jelas sekali terasa perbedaannya antara aleg perempuan dan laki-laki. Laki-laki hanya satu dua lah yang perspektifnya baik, (yang) punya perspektif korban juga hanya satu dua. Selebihnya saya rasa dunia mereka masih patriarkis,” ujar Eka.
Eka adalah aktivis Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LSM yang sudah puluhan tahun memperjuangkan kesetaraan gender. Sejumlah regulasi pro kepentingan perempuan berhasil mereka advokasi. Salah satunya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang diketok pada 2022, setelah diperjuangkan selama 10 tahun.
Eka teribat dalam proses lobi UU TPKS. Tak dipungkirinya lebih mudah meyakinkan anggota dewan perempuan ketimbang laki-laki.
“Setidaknya kita bisa menyampaikan ke mereka, bagaimana misalnya mereka mengembalikan ke diri sendiri, apabila merasakan apa yang terjadi. Istilahnya pendekatannya masih lebih baik lah ketimbang terhadap laki-laki,” tutur Eka.
Pengalaman serupa dialami Lilis Listyowati, Direktur Eksekutif Kalyanamitra. Sejak 2004, Lilis aktif mengadvokasi sejumlah undang-undang berperspektif perempuan.
“Pasti berbeda ya secara kepemilikan terhadap isunya kan berbeda. Tapi ya kita menemukan beberapa, nggak banyak ya, beberapa parlemen laki-laki yang berpihak pada isu ini, tapi nggak banyak. Masih lebih banyak perempuan,” kata Lilis.
Lilis bilang, mayoritas politisi laki-laki di Senayan masih patriarkis.
“Ketika RUU TPKS, karena korban dari kekerasan seksual itu kan dominannya perempuan, jadi sensitivitas untuk memahami UU TPKS sepenting itu, di laki-laki nggak terlalu kuat, hanya beberapa lah, karena masih ada anggapan, ya itu kan salahnya perempuan, kenapa harus dilindungi?,” ungkap Lilis.
“Dulu juga pas UU Perkawinan, ketika ada isu poligami, kita meminta asas itu diganti menjadi monogami. Yang ribut ya laki-laki lah,” imbuhnya.
Lilis membayangkan tugasnya bakal lebih berat apabila jumlah politisi perempuan di DPR makin sedikit. DPR hasil Pemilu 2019 saja hanya diisi 20,5 persen perempuan, bagaimana dengan Pemilu 2024?
Baca juga: Perjuangan Panjang Jumiyem demi Pengesahan RUU PRT
Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) turut mengawal penyusunan aturan turunan UU TPKS. Salah satu yang dibahas adalah soal dana bantuan korban. (Foto: Ninik/KBR)
Peluang perempuan menjadi legislator justru dibonsai oleh penyelenggara pemilu, KPU, dengan menerbitkan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Ada pasal tentang pembulatan ke bawah terkait keterwakilan perempuan di daftar caleg. Hasil dari aplikasi ketentuan ini melanggar UU Pemilu yang menetapkan persentase perempuan minimal 30 persen.
Pengajar hukum Pemilu di UI, Titi Anggraini mencontohkan, jika di suatu dapil partai mengajukan 4 caleg, maka 30 persennya menghasilkan angka 1,2. Desimal 0,2 itu kurang dari 0,5 sehingga harus dibulatkan ke bawah alias hangus.
“Karena 30 persen dari 4 paling adalah 1,2, oleh KPU dibulatkan jadi angka 1, sementara kalau angka 1 dari 4 kan cuma 25 persen. Kondisi itu terjadi pada dapil yang calegnya berkursi 4, 7, 8, dan 11,” ujar Titi saat mengisi acara Media Talks di Kementerian PPPA, pertengahan Januari 2024, yang diakses melalui Youtube Kementerian PPPA RI.
KPU digugat oleh Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan. Di Mahkamah Agung, aturan pembulatan ke bawah dibatalkan. Di DKPP dan Bawaslu, KPU juga kalah. Namun, hingga hari pencoblosan, aturan itu tak kunjung direvisi, daftar caleg pun tak berubah.
“Ini adalah pemilu pertama sejak 2014 di mana di DPR dan DPRD, terdapat daftar calon yang kurang dari 30 persen. Yang sekarang, 267 daftar caleg DPR dari 17 partai yang kurang dari 30 persen perempuan. Di DPRD, itu ribuan,” imbuh Titi.
Padahal, Titi menyebut keberadaan perempuan di parlemen berkontribusi signifikan pada lahirnya regulasi berperspektif gender.
“Contoh UU TPKS, harus diakui itu kekuatan sinergi politisi perempuan dan gerakan luar parlemen. Itu kan membuahkan success story yg cukup baik. Lalu revisi UU Perkawinan dari usia yang berbeda, laki-laki dan perempuan menjadi 19 tathun, Representasi substantif itu yang kita harapkan bisa makin baik ketika kita lebih punya banyak politisi perempuan di parlemen,” ujar anggota Dewan Pembina Perludem ini.
Kurangnya legislator perempuan diakui Ammy Amalia, eks anggota DPR dari Fraksi PAN, sebagai penyebab sulitnya melahirkan undang-undang berperspektif perempuan.
“Termasuk, kenapa di KPU sampai bisa komisioner perempuannya cuma satu?,” ujar Ammy dalam Seminar Nasional di Kementerian PPPA, Selasa, (23/1/2024), yang diakses melalui Youtube KemenPPPA RI.
Ammy adalah salah satu inisiator RUU TPKS saat masih duduk di Badan Legislasi DPR. Kata dia, UU TPKS berhasil disahkan karena sistem di dalam dan di luar parlemen mendukung.
“Saat itu UU TPKS sebenarnya sudah diajukan di periode-periode sebelumnya, tidak pernah masuk prolegnas, karena tidak ada perempuan yang berani menyuarakan di Baleg. Waktu itu saya nekat. Kebetulan gayung bersambut, saat kabiro hukumnya di Kumham kebetulan perempuan. Akhirnya masuklah saat itu di prolegnas jangka panjang, baru kita dorong lagi ke prolegnas prioritas,” ungkapnya.
Ammy menekankan pentingnya kehadiran perempuan di parlemen. Meski diakuinya, hadir saja belum menjamin suara perempuan bakal diakomodasi. Sebab, masih ada hambatan lain yang mesti dilewati.
“Dari banyak demo-demo, termasuk kemarin keterwakilan 30 persen perempuan, toh mental juga, karena kalau tidak ada political will dari dalam parpol, itu berat. Berjuang di dalam sistem itu sudah berat, apalagi berjuang dari luar sistem,” imbuh Ammy.
Menurut Titi Anggraini, komitmen parpol rendah untuk memenuhi keterwakilan perempuan. Parpol enggan merekrut caleg perempuan karena dianggap tidak menguntungkan.
“Ternyata perempuan dianggap kurang kompetitif dalam melakukan kerja-kerja pemenangan pemilu. Karena kan dalam sistem pemilu kita, suara terbanyak untuk mendapatkan kursi,” ujar Titi.
Baca juga:
Mendiang Rasminah (kanan), pemohon uji materi di MK terkait Undang-Undang Perkawinan . Permohonan dikabulkan ditindaklanjuti revisi di DPR yang menetapkan batas usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki 19 tahun. (Foto: Ninik/KBR).
Revisi UU Pemilu
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret UNS, Agus Riewanto mengkritik ketidakharmonisan antara aturan dan pelaksanaan, sehingga muncul polemik ini.
Terkait putusan MA, menurut Agus, KPU sudah menindaklanjuti putusan MA, dengan meminta parpol mengubah daftar caleg.
“Tampaknya KPU merasa putusan MA kan diktumnya sudah jelas ya, mengubah secara langsung pasalnya, sehingga KPU tidak perlu mengubah PKPU-nya. Tapi dia (KPU) kirim surat kepada partai-partai untuk memenuhi keterwakilan perempuan dengan cara mematuhi keputusan MA,” ujar Agus.
Di sisi lain, MA tidak menjelaskan soal kapan putusan itu diberlakukan. Karenanya, ada celah KPU menafsirkan bahwa putusan itu berlaku pada 2029.
“KPU kan sudah berkirim surat ke MA, minta fatwa, ini berlakunya untuk kapan sih? 2024 atau 2029?. Nah, MA dalam surat balasan mengatakan, terserah KPU. MA juga nggak jelas mengatakan begitu. Harusnya kan pertanyaannya dijawab. Coba lihat putusan MK soal Gibran, itu dinyatakan berlaku 2024. MA nggak bunyi (putusannya),” jelas Agus.
Selain MA, putusan Bawaslu juga dianggapnya janggal. Agus adalah ahli yang dihadirkan KPU di sidang gugatan keterwakilan perempuan di Bawaslu.
“Putusan (Bawaslu) juga aneh, karena tidak ada perintah untuk mengubah norma atau melaksanakan putusan MA. Hanya dikatakan bahwa KPU melakukan pelanggaran administrasi, tata cara, dan prosedur pelaksanaan teknis pemilu menyangkut keterwakilan politik perempuan,” tutur dia.
Agus bilang, parpol yang menolak memenuhi keterwakilan perempuan di daftar calegnya, tak bisa dijatuhi sanksi. Sebab, tidak ada ketentuan itu dalam Undang-Undang Pemilu.
“Kalau nggak ada sanksi berarti pasal itu tidak memenuhi syarat sebagaimana UU. Karena isi UU itu kan ada perintah, ada larangan, ada sanksi. Ini sanksinya nggak ada lho, cuma perintah dan larangan aja. Asas hukum nggak terpenuhi dalam pasal itu,” Agus menerangkan.
Agus menyarankan masyarakat sipil mengajukan revisi UU Pemilu, guna menghindari masalah serupa terjadi di pemilu berikutnya. Pasal soal sanksi harus masuk poin revisi.
“Kalau tidak memenuhi keterwakilan politik perempuan 30 persen maka parpol akan didiskualifikasi, tidak bisa menjadi peserta pemilu, kan lebih ganas, jadi nggak basa-basi. Jadi berangkat dari rumusan norma di dalam UU Pemilu, itu yang lebih penting,” pungkas Agus.
Penulis: Ninik Yuniati