Article Image

SAGA

Masyarakat Adat Terusik Pasal Living Law KUHP Baru (Bagian 2)

"Pasal living law KUHP mengancam eksistensi lembaga dan hukum adat. Formalisme melalui perda sarat kepentingan politik."

Ilustrasi: Seniman Kalimantan Tengah membawakan Tari Bawi Kuwu, tarian suku Dayak, di Pesta Kesenian Bali 2019, Denpasar, Kamis (11/7/2019). (Foto: ANTARA)

KBR, Toraja - Hermina Pasolang tertegun, raut wajahnya menyiratkan kebingungan.

“Yang mana itu? jangan sampai salah jawaban juga saya,” ucapnya ketika beberapa kali ditanya tentang pasal living law KUHP baru. Hermina adalah hakim adat di Toraja, Sulawesi Selatan.

Reaksi sedikit berbeda ditunjukkan Saba’ Sombolinggi, yang juga hakim adat di Toraja.

”Sebenarnya saya juga belum terlalu jelas living law itu. Negara tidak pernah menyampaikan ke kita kalau akan ada perubahan begitu,” kata Saba’.

Baik Hermina maupun Saba’ belum punya gambaran gamblang tentang apa dan bagaimana living law itu. Ketentuan soal ini setidaknya muncul di Pasal 2 dan Pasal 597 KUHP baru.

Istilah yang digunakan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum adat.

Artinya, pasal ini bakal berdampak pada masyarakat adat, termasuk Toraja.

Kebingungan yang ditunjukkan Hermina dan Saba’ mencerminkan minimnya pelibatan masyarakat adat dalam penyusunan living law.

Pakar hukum adat dari UGM, Yance Arizona menilai, penyusunannya tidak dilandasi kajian empiris.

“Dia diakomodasi berdasarkan imajinasi pembentuk UU-nya aja, ahli-ahli hukum yang ada di situ, membayangkan hukum adat perlu kita atur. Jadi tanpa melihat bagaimana praktik peradilan adat selama ini dijalankan. Sehingga memungkinkan terjadi gap yang besar sekali antara apa yang diatur dengan apa yang ada di lapangan,” kata Yance.

Baca juga: Masyarakat Adat Terusik Pasal Living Law KUHP Baru (Bagian 1)

Pengantin perempuan menari bersama para penari Pagellu di pernikahan adat Toraja, Sulawesi Selatan. Di Toraja, aturan adat dipraktikkan dan diwariskan turun-temurun. Hal ini tampak saat acara pernikahan dan pesta kematian. (Foto: KBR/Ninik).

Usai KUHP baru disahkan, hukum adat yang selama ini tidak tertulis, tetapi berlaku turun-temurun, bakal diintegrasikan dalam hukum negara lewat peraturan daerah.

“Hukum adat akan berada di bawah subordinasi hukum negara. Dengan adanya formalisme melalui perda, dia akan sangat bergantung, kepada institusi negara dan juga penguasa di tingkat lokal. Dia akan kehilangan kemampuannya sebagai alat emansipasi masyarakat,” imbuh Yance.

Hal ini menambah kebingungan, karena masyarakat adat Toraja, misalnya, terdiri dari 32 wilayah adat. Hukum adat wilayah mana yang akan diakomodasi? Pikir hakim adat Toraja, Saba’ Sombolinggi.

”Masing-masing wilayah lembang (desa) punya hakim adat. Mampu nggak perda ini, mengakomodir semua, cara-cara, atau mampukah perda ini beradaptasi dengan keadaan?” ujar pria 51 tahun ini.

Yance menyebut, hukum adat bisa kehilangan karakter dinamisnya bila 'di-perda-kan'.

“Hukum adat itu punya spirit, gimana memformalkan bahasa hukum adat yang belum tentu juga ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Menuliskan hukum adat itu bisa jadi juga membunuhnya. Hukum yang hidup dalam masyarakat, itu kan ada ‘hidup’ nya, dinamika. Ketika dia di-freeze ke dalam hukum tulis, punya risiko,” jelas dosen UGM lulusan Universitas Leiden, Belanda ini.

Saba’ khawatir, bakal ada tradisi di Toraja yang hilang, hanya karena tidak termuat dalam perda.

”Kan perda seragam pemberlakuannya pada satu wilayah. Tetapi penerapan aturan adat, di satu kabupaten itu beragam, ratusan. Nah, ketika satu dalam bentuk perda, wah parah,” tutur Saba’.

Baca juga: Jejak Bagus Priyana Rawat Sejarah Magelang

Hakim adat Toraja, Saba’ Sombolinggi sempat berkunjung ke Universitas Diponegoro untuk berdialog tentang praktik hukum adat di Toraja, sebelum KUHP baru disahkan. (Foto: dok pribadi).

Politis

Kekhawatiran Saba’ masuk akal dan berpotensi besar terjadi, menurut Yance. Sebab, penyusunan perda hukum adat, sarat proses politik.

“Karena (hukum adat) akan di-filter oleh kepentingan pembentuknya. Pengalaman dalam advokasi perda-perda masyarakat adat sekarang ini lah, prosesnya politik banget, mana yang bagi anggota DPR itu akan mengganggu kepentingan mereka -nggak melulu kepentingan ekonomi ya- tapi juga kepentingan poltiik, elektoral mereka juga,”

Masyarakat adat yang minoritas dan tidak punya nilai elektoral, sangat mungkin bakal tergerus eksistensinya.

“Bayangkan misalkan, suku Anak Dalam, nggak punya satupun anggota DPRD, bagaimana hukum adat mereka di-perda-kan kira-kira? Biasanya yang jadi itu ya memang menguntungkan elit. Itu mudah terjadi, memperkuat simbol-simbol keagamaan, itu cepat,” jelas Yance.

Proses politik juga rentan disusupi kepentingan-kepentingan lain.

“Nanti yang akan banyak masuk, bukan hukum adat, tapi hukum agama. Karena ini proses politik, policy maker-nya itu ngga begitu banyak yang punya afiliasi adat. Kalau punya afiliasi agama, saya yakin jauh lebih banyak, karena mereka di partai-partai Islam atau partai-partai agama tertentu. Tentu mereka akan mempertimbangkan nilai-nilai agama yang akan dimasukkan,” lanjut dia.

Nasib peradilan adat

Perda hukum adat juga akan menggeser peran hakim adat dan digantikan aparat hukum negara. Padahal, polisi, jaksa, dan hakim negara tidak memahami hukum adat. Kesakralan hukum adat pun bisa terkikis.

“Ketika ada pelanggaran adat, pelaku disanksi menyediakan kambing, umumnya kan begitu. Kambing itu sebagai salah satu produk ritual, lalu disembelih, untuk menyucikan daerah kampung. Dagingnya dimasak untuk bersama-sama, mencairkan suasana karena ada pelanggaran adat. Tapi kalau sudah dijalankan oleh negara, gimana nilai-nilai seperti itu bisa dirawat?,” ungkap Yance.

Baca juga: Berkah Karbon Komunitas Penjaga Hutan Bujang Raba

Pakar hukum adat UGM, Yance Arizona. (Foto: dok pribadi)

Karena sudah telanjur disahkan, Saba’, berharap masih ada celah dialog dalam skema implementasinya.

“Orang Toraja sampai hari ini baik-baik saja dengan norma-norma yang ada, mereka hidup damai, saling menghormati, saling membantu, itu karena adatnya. Berikanlah kami kesempatan untuk menyelesaikan yang ada di wilayah adat kami masing-masing,” pinta Saba’.

Menurut Yance, ruang dialog mesti dioptimalkan agar muncul solusi yang berpihak pada masyarakat adat.

“Misalkan, nanti kita bikin perda hukum adatnya, tetapi nanti juga peradilan adatnya yang akan berperan untuk menjalankan. Ada otonomi khusus, yang tentu akan diberikan kepada pengadilan adat untuk mengadili beberapa perkara tertentu, bisa seperti itu modelnya,” ujar Yance.

Kehadiran negara

Asisten Ketua Mahkamah Agung RI, Darmoko Yuti Witanto, berpandangan pasal living law berbahaya bagi eksistensi lembaga dan hukum adat. Sebab, hukum adat bakal menjadi hukum negara melalui perda.

"Kalau sudah dibentuk menjadi perda, maka karakteristik dan kemurniannya akan hilang, karena akan menjadi milik negara, pelaksanaannya adalah di pengadilan negara, otomatis peradilan adat juga akan hilang," kata Witanto dalam diskusi tentang Peluang dan Tantangan Masa Depan Peradilan Adat di Indonesia Pasca-Integrasi Living Law dalam KUHP, Senin (7/8/2023), yang diakses melalui Youtube Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Baca juga: Kampung Liu Mulang, Teladan Hidup Selaras dengan Alam

Tangkapan layar Asisten Ketua MA RI, Darmoko Yuti Witanto saat berbicara di peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) , Senin (7/8/2023), yang diakses lewat Youtube Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Witanto berpendapat, lebih baik hukum adat dibiarkan otonom, tanpa intervensi negara. Fungsi negara adalah melindungi dan mendukung agar putusan adat terlaksana.

"Supaya putusan itu dilakukan oleh si pelaku," ujar dia.

Di titik ini kehadiran negara menjadi penting untuk bisa mempertahankan eksistensi hukum adat.

Pasalnya, ada beberapa kasus putusan hukum adat sulit dieksekusi, misalnya ketika pelakunya bukan bagian dari masyarakat adat, sehingga ia menolak melaksanakan putusan. Pelaku malah balik melaporkan pemuka adat ke polisi kemudian diproses hukum. Akhirnya, justru pemuka adat itu yang dijerat pidana, bukan si pelaku.

"Kalau pemangku adat yang sedang menjalankan peradilan adat ini dihukum bersalah, karena melanggar hukum pidana, maka negara sudah menganggap hukum adat itu tidak ada," ungkapnya.

Witanto bilang ada beberapa opsi yang bisa ditempuh masyarakat adat terhadap pasal living law. Di antaranya, uji materi ke Mahkamah Konstitusi, mengawal penyusunan peraturan pelaksananya, dan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.

"Memasukkan norma-norma di RUU Masyarakat Hukum Adat, tentang bagaimana eksistensi peradilan adat itu berada," terang Witanto.

Penulis: Ninik Yuniati