SAGA
"Malik Ros adalah contoh bahwa pengalaman beragama itu unik dan subyektif. Sumbernya bisa dari mana saja, tak harus dari hal teologis sarat ayat. "
Malik Azis Rosyadi, rapper asal Semarang, Jawa Tengah yang punya nama panggung Malik Ros. (Foto: dhimasvantoza)
KBR, Banten - Lagu “Pesan Mama” jadi lagu pertama yang dinyanyikan Malik Azis Rosyadi, di hadapan ratusan mahasiswa Universitas Pamulang, Banten, pada awal Maret 2024.
Itu adalah acara diskusi sekaligus nonton bareng film “Ahmadiyah’s Dillemma” karya terbaru Noor Huda Ismail.
Malik (32), penyanyi rap asal Semarang, Jawa Tengah, menciptakan “Pesan Mama” karena rindu dengan mamanya, Rosidah, yang sudah berpulang beberapa tahun lalu.
“Mungkin 6-8 tahun (lalu), aku lupa, karena aku merasa beliau masih ada. Saya masih sayang,” kata Malik.
Semasa hidup, sang mama selalu berpesan agar Malik jangan lupa sembahyang. Pesan ini juga dimaknainya agar jangan berhenti berharap.
Sebagai ungkapan sayang, Malik juga menato lengan kirinya dengan gambar wajah sang mama, meski, tidak mirip
“Tadinya aku naif, aku selalu kangen. Tapi waktu ternyata (tato) mukanya beda, ya karena yang nato ngantuk, aku malah bersyukur, biar itu (memori tentang mama) di siniku aja,” ujar dia.
Ucap Malik sambil menepuk dada kirinya, sebagai tanda bahwa mama selalu di hatinya.
“Dan ada tulisannya sebenarnya di bawahnya, ‘i love you, but God loves you more’,” tutur Malik.
Baca juga: Minoritas Menanti Langkah Progresif di Rancangan Perpres PKUB
Lengan kiri Malik Ros ditato dengan gambar mendiang mamanya. (foto: dhimasvantoza)
Kerinduan pada mendiang mama menarik Malik untuk mengenalnya lebih dekat. Keinginan ini muncul di suatu malam ketika Malik berada di jalanan.
“Saya pernah keadaan mabuk, sama orang-orang pinggir jalan, tukang becak, tukang parkir, dan sebagainya, ditanyain ‘lho orangtuamu di mana?’ ‘meninggal’. ‘kamu nggak kangen?’ ‘kangen’, ‘mau ketemu? ya jangan kayak gini’. ‘Maksudmu?’ Si tukang becak cuma bilang, ‘ya minimal kalau mau ketemu besok, meninggalnya sama’. Langsung mikir saya,” Malik bercerita.
Ia lantas kembali ke rumah.
“Pulang, wudu, salat tobat. Habis itu saya mau belajar lagi pelan-pelan. Dan ternyata Islam itu indah. Di agama manapun baik, tapi saya di situ (Islam) enak, nyaman,” imbuhnya.
Batin Malik tergugah. Kejadian malam itu membuka lembaran baru dalam hidupnya.
“Iya saya lurus, tapi garisnya putus-putus, alhamdulilah sekarang beda, ada beberapa momen hidup yang itu nggak mungkin aku menangin, nggak mungkin aku lewatin, Allah helps me,” kata Malik.
Ia belajar lagi tentang Ahmadiyah, ajaran yang diimani mamanya sepanjang hayat.
“Tentang Ahmadiyah, juga saya belajar lagi, ‘oh ternyata, kenapa mama, kakek di sini’. Ya pelan-pelan saya masih baca lembar per lembar. Ya mamaku meninggal Islam, aku syahadat lagi, mamaku sampai akhir hayatnya masih membaca tentang Ahmadiyah. Aku pengin membaca lagi,”
Malik Ros, adalah nama panggungnya kini. Ros diambil dari nama mamanya.
“Malik Ros karena aku ngerasa aku nggak pernah bikin mama bangga. Dan aku yakin, saat aku ninggalin dunia gelap itu, aku yakin walaupun pelan-pelan, baby step, tapi aku bakal bikin mama bangga,” ujar Malik yang kini berdomisili di Bandung ini.
Ada satu ingatan yang terpatri kuat di benak Malik. Kala remaja, ia menyaksikan mamanya terguncang saat melihat berita di televisi tentang pembubaran Ahmadiyah oleh kelompok intoleran.
“Saya lupa itu SMP/SMA, mama ketakutan di ruang tamu, ‘oooohh’, gitu. Mama sehat, tapi gara-gara nonton itu jadi sakit, ya mungkin sampai ke fisik, karena geter, nangis pasti,” ungkap dia.
Malik menangkap bayang-bayang ketakutan dari reaksi sang mama.
“Sedih, marah, malu, ya campur aduk. Lebih ke takut juga, takut ntar kita kena gimana? Kenapa mak gue sampai kayak gini nih. Redanya mama cukup lama. Ini apa sih kalian pada ribet bikin makku kayak gini,” kata Malik.
Malik memang tidak dibesarkan dalam kultur Ahmadiyah yang kental. Apalagi ayahnya bukanlah pengikut Ahmadiyah. Keluarga Malik tak mempermasalahkan perbedaan keyakinan.
“Di situ, aku di keluarga, belajar toleransi,” ujarnya.
Noor Huda Ismail, sutradara film Ahmadiyah's Dilemma. (Foto: ruangobrol.id)
Malik bukan ingin menjadi ulama atau pendakwah, dengan menyelami kembali Ahmadiyah. Ia tetap mencintai musik dan rap, serta masih bekerja di tempat hiburan malam.
Merengkuh identitas Ahmadiyah merupakan wujud kecintaan Malik pada keluarga, terkhusus mamanya.
“Bangga. ‘Ahmadiyah?, ‘iya, kenapa emang?. ‘Tau apa tentang Ahmadiyah? nggak tau banyak, memang kenapa?’,” ucap Malik.
Malik bangga mendaku diri sebagai Ahmadiyah, tak ambil pusing dengan persepsi maupun penerimaan orang lain. Buah dari sikap toleran dan sabar yang diajarkan keluarga, kata Malik.
“Mama saya, kakek saya, dihina model apapun, diem. Mereka berdua kalau cerita, zaman dulu kan, ‘woh zaman dulu ya nya-nyo, nya-nyo’ ‘eh, tapi harus sabar, Lik’. Ya, sabar. Kalau yang masih nganggap Ahmadiyah negatif ya nggak apa-apa, semoga tetap sehat panjang umur, terus tetap baik sama orang lain aja,” terang dia.
Malik menjadi tokoh di film terbaru Noor Huda Ismail, bertajuk “Ahmadiyah’s Dilemma”. Huda juga dikenal sebagai pegiat antiterorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian. Menurut Huda, ia memilih sosok Malik karena ingin menampilkan wajah Ahmadiyah dari sisi yang berbeda.
“Ini adalah kisah tentan healing. Dan healing alternatifnya (Malik) keren banget, musik. Selama ini sampean (anda) ndelok (lihat), pendekatan (film) benar salah, kebenaran teologi, that’s not aku. Ini ono arek (ada orang) cinta banget sama ibunya, terus healing-nya piye (bagaimana)?, ini bukan healing-nya benar atau salah, ditatoin, biar teringat ibunya, dengan nyanyi juga,” kata Noor Huda.
Lewat film ini, Huda ingin menonjolkan sisi manusiawi dari sosok pengikut Ahmadiyah dengan segenap pergumulan hidupnya.
“Ini kan faktanya sudah dimengerti, (bahwa) Ahmadiyah digebuki, semua orang sudah ngerti. Tapi (bagaimana) aspek traumanya? Ini penyelesaiannya, ini adalah kisah salah satu cara menyelesaikan trauma,” ujar dia.
Baca juga: Inspirasi Keberagaman dari Pulau Flores
Penulis: Ninik Yuniati