OPINI

Hari Anak

Tapi bom laknat itu memupus keceriaan mereka. Negara gagal melindungi anak-anak itu jadi sasaran kekerasan.

AUTHOR / KBR

Balita korban teror bom di Gereja Oikumene, Samarinda.
Balita korban teror bom di Gereja Oikumene, Samarinda. (foto: Antara)

Pagi itu sekelompok balita tengah asyik bermain di depan Gereja Oikumene Samarinda, Kalimantan Timur usai mengikuti sekolah minggu. Lemparan bom bakar eks terpidana terorisme menghancurkan kegembiraan empat kanak-kanak yang belum genap berusia 5 tahun itu. Lemparan bom molotov membuat Olivia Intan boru Marbun 2,5 tahun tak mampu bertahan dan menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Bom juga membuat Trinity Hutahayan 4 tahun hingga saat ini masih kritis.

Minggu lusa, semestinya keempatnya akan kembali bermain bersama. Seusai sekolah minggu mereka bisa merayakan hari anak universal yang jatuh setiap 20 November. Tanggal itu dipilih lantaran pada 1959 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengajukan naskah deklarasi hak-hak anak. Pada tanggal yang sama pada 27 tahun lalu akhirnya  naskah deklarasi itu siap diteken.

Tapi bom laknat itu memupus keceriaan mereka. Negara gagal melindungi anak-anak itu jadi sasaran kekerasan.  Program deradikalisasi yang dijalankan oleh Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) tak mampu menangkal eks terpidana terorisme kembali beraksi. Dalihnya usang, ada ratusan  terpidana kasus terorisme yang telah bebas. Mereka menyebar di berbagai tempat tak terjangkau oleh BNPT.

Pasca serangan bom di Samarinda, BNPT berencana menggandeng sejumlah kementerian untuk memantau eks teroris. Di antaranya Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan kepala daerah mengawasi eks terpidana terorisme yang berada di daerahnya. Cara semacam memata-matai itu jelas tak akan efektif, bahkan bisa jadi malah akan mendorong mereka kembali beraksi.

Pemerintah dan BNPT sepatutnya mendengarkan juga keluarga korban bom Samarinda. Keluarga korban yang telah dengan besar hati memaafkan para pelaku  dan berharap peristiwa serupa tak terulang dan anak-anak jadi korban. Mereka  juga berharap tak ada lagi ibadah yang dihalangi. Ini artinya ada jaminan bagi kebebasan beribadah dan tindakan tegas bagi mereka yang menghalangi peribadahan di tempat ibadah mereka sendiri. Karena kebencian yang terus direproduksi  pada keyakinan orang lain itulah salah satu awal  aksi teror.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!