Article Image

NASIONAL

Seni Tani, Sulap Lahan Tidur Jadi Kebun Produktif

"Terbatasnya pangan di masa pandemi mendorong lima anak muda asal Bandung membentuk Seni Tani. Di lahan tidur mereka membuka kebun untuk ditanami sayuran."

Seni Tani komunitas yang mendukung pertanian berkelanjutan dan pemberdayaan anak muda. (Foto: Seni Tani)

KBR, Jakarta- Ancaman krisis pangan mengusik banyak kalangan. Ini memantik beragam inisiatif dan inovasi. 

Di Kota Bandung, Jawa Barat, ada lima anak muda yang membangun komunitas Seni Tani sejak 2020, saat masa pandemi. Mereka ingin menjawab permasalahan pangan di kawasan urban.

Salah satu inisiator, Mentari Alwasilah menuturkan, nama itu dipilih karena kesenian dan pertanian tak bisa dipisahkan. Mereka juga ingin mempertahankan relasi manusia dengan alam. 

"Belajar dari budaya masyarakat pedesaan, mereka punya ritual berterima kasih ke alam. Seni Tani melihat itu perlu dipertahankan dan disesuaikan kembali. Bertani bukan cuma nyangkul, nanem terus panen. Kita harus kreatif mencari solusi bertani," kata Mentari. 

Mentari bersama empat rekannya, Vania, Galih, Anggita dan Fatan juga merupakan pegiat pertanian organik yang tergabung dalam komunitas 1000 kebun.

Mereka lantas membentuk Seni Tani karena punya keresahan yang sama yakni akses pangan di Kota Bandung.

“Ada lahan kosong kita bisa berpartisipasi untuk ketahanan pangan Kota Bandung. Di masa pandemi itu kan distribusi pangan terbatas banget, sedangkan kebutuhan masyarakat akan sayuran sehat, sayuran organik juga kan makin tinggi,” kata Mentari yang mengampu program edukasi di Seni Tani ini.

Baca juga: Nelayan Lombok Timur Adopsi Perikanan Berkelanjutan

Selain di lahan dekat menara saluran tegangan tinggi, pertanian Seni Tani dilakukan di kebun komunal dekat rumah warga di Arcamanik, Bandung. (Dok: Seni Tani)

Berdasarkan data dinas setempat, 90 persen bahan pangan di Kota Bandung disuplai dari daerah lain.

Di sisi lain, banyak lahan kosong yang ditelantarkan. Salah satunya di Kelurahan Arcamanik, yang dekat dengan rumah Vania dan Galih.

Mereka kemudian melobi pemkot agar boleh mengelola lahan tidur di area lintasan saluran tegangan tinggi Arcamanik.

Kawasan itu kerap jadi tempat pembuangan sampah liar.

“Di kawasan menaranya ada sepanjang 1,5 kilometer, nggak boleh ada bangunan dan jadi tempat sampah. Kami ingin menyulap lahan jadi kebun yang bagus,” kata perempuan asal Bandung itu.

Akhirnya, Seni Tani mendapat izin kelola 1 hektare lahan, tetapi terpencar-pencar di beberapa titik.

Karakter tanahnya pun beragam mulai dari tanah lempung sampai brangkal.

Mereka mencari cara agar lahan layak ditanami.

“Kita pakai prinsip pertanian regeneratif. Kita bikin kompos memanfaatkan sampah-sampah organik di sekitar. Sambil nunggu kita cangkulin lahannya sampai bentuk kayak polisi tidur itu,” jelasnya.

Baca juga: Kopi Qertoev, Secangkir Kisah Perjuangan dan Nasionalisme dari Gayo (Bagian 1)

Diharapkan sistem CSA (community supported agriculture) di Seni Tani dapat mendukung petani, masyarakat, dan mendapat hasil pertanian yang lebih baik. (Dok: Seni Tani)

Luas lahan yang terbatas juga menjadi tantangan. Sayuran dengan masa tanam pendek menjadi pilihan. Hasilnya pun memuaskan.

"Eksperimen dimulai dari sayuran daun, alhamdulillah tumbuh semua. Ada kailan, pakcoy, caisim, selada, terus kangkung, bayam, nggak gagal nanem di sana,” jelas Direktur Seni Tani, Vania Ferbiyantie.

Sekali panen, sebidang lahan bisa menghasilkan 1 hingga 3 kg sayuran. Setelah cukup stabil, Seni Tani membuka paket berlangganan sayuran.

Harganya mulai Rp100 ribu-250 ribu. Para anggota bisa mendapatkan 4 hingga 8 jenis sayur tergantung paket yang dipilih.

“Ada paket yang personal cocok untuk yang ngekos, terus ada paket keluarga. Ada juga paket reuwas (kaget), paket ini nggak bisa milih sayuranya, jadi ketika datang mereka kaget, cocok buat orang-orang yang suka experience baru,” tuturnya.

Kini, Seni Tani memiliki 20-an anggota dan puluhan volunteer dari berbagai daerah di Bandung.

“Dari 2021 sampai sekarang anggota per bulannya flutuatif, sampai sekarang tuh anggotanya rata-rata di 20 perbulan,” kata Vania.

Baca juga: Kopi Qertoev, Secangkir Kisah Perjuangan dan Nasionalisme dari Gayo (Bagian 2)

Seni Tani diundang ke Timor Leste untuk berbicara soal bertani di lahan terbatas. (Dok: Seni Tani)

Seni Tani sejak awal berkomitmen mendukung tumbuhnya ekosistem untuk petani muda di perkotaan. Vania terinspirasi praktik serupa di Jepang

“Sistem ini menghubungkan petani dan anggotanya langsung, prinsipnya kita transparan di segala hal. Kita berusaha menceritakan siapa sih yang menanam sayuran, harapannya para anggota bisa lebih percaya sama kita,” ujar alumni jurusan biologi UPI Bandung ini.

Seminggu sekali Seni Tani mengajak para anggotanya berkebun bersama di kebun komunal.

“Sesederhana kita ngajak teman-teman buat sadar asal makanan kita dari mana dengan berproses bareng, berkebun bareng udah jadi misi kita banget,” tutur Vania.

Sepak terjang Seni Tani mendapat banyak apresiasi. Vania terbang ke Timor Leste untuk berbagi ilmu soal berkebun.

“Kita juga sharing ke sekolah di Timor Leste. Ada juga profesor dari Norwegia datang untuk sharing gimana sih gerakan CSA (community supported agriculture) di sana dan caranya supaya terus firm melanjutkan movement kita,” katanya.

Vania berharap Seni Tani makin luas berkontribusi membantu masyarakat Bandung mengakses sumber pangan yang dekat dan bergizi.

“Pengin lebih fokus ke Bandung Timur aja dulu, karena kalau lihat dari segi populasi, lumayan, ada 200 ribu orang, masa kita nggak bisa nge-reach ke sana market-nya,” pungkas Vania.

Penulis: Valda

Editor: Ninik Yuniati