NASIONAL

Polemik Lepas Jilbab Paskibraka, Antara Pewajiban dan Pelarangan

“Di negara yang mengatakan kita berdasarkan kepada KeTuhanan Yang Maha Esa, maka tidak boleh ada pewajiban atau pelarangan penggunaan pakaian agama,”

AUTHOR / Shafira Aurel, Cornelia Wendelina

EDITOR / Rony Sitanggang

Lepas jilbab Paskibraka Nasional
Presiden Jokowi saat pengukuhan Paskibraka Tingkat Pusat 2024 di Istana Negara, IKN, Kaltim, Selasa (13/08/24). (Antara/Sigid Kurniawan)

KBR, Jakarta-  Sugiarti kaget ketika mengetahui anaknya  Zahratushyta Dwi Artika harus melepas jilbab yang dikenakan sejak Sekolah Dasar (SD).  Ibunda  Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) nasional asal Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar)  mengatakan, dirinya hanya diberitahu jika anaknya diminta untuk melepas jilbab pada saat hari H kemerdekaan saja.

Dia mengetahui dari cerita  anak, bahwa  sejak tes wawancara sudah ditanyakan  kesediaan bersedia atau tidaknya untuk melepas jilbab.  

"Kaget lah kita. Katanya kan lepas jilbab itu kalau dia cerita katanya pas di hari H. Mba bilang demi menjalankan tugas negara ya siap (dilepas). Padahal mamah itu berdoa dari dia sekolah di masjid raya sampai dia SD pakai kerudung, akhirnya saya tiap malem itu berdoa ya Allah mudah-mudahan anak saya ini istiqomah,” ucapnya, Rabu (14/8).

Kebanggaan sang anak terpilih menjadi Paskibraka nasional berbalut kesedihan saat melihat anaknya tak berjilbab saat pengukuhan Paskibraka nasional. 

Sita salah satu dari  18 pasukan pengibar bendera tingkat nasional yang melepas jilbab saat acara pengukuhan. Ketua Umum Purna Paskibraka Indonesia PPI Gousta Feriza menduga ada paksaan untuk melepaskan jilbab terhadap para anggota  Paskibraka.

Menurut Gousta ada kejanggalan ketika anggota Paskibraka menghadiri acara pengukuhan. Penyebabnya, anggota yang sebelumnya memakai jilbab, namun belakangan tidak lagi memakainya.

"Mengapa pada waktu pertama kali mereka tiba di pemusatan latihan masih diperkenankan mengenakan hijab. Juga pada saat-saat latihan, renungan suci, mereka masih diizinkan mengenakan jilbab. Tapi kenapa pada saat pengukuhan dilarang atau dengan bahasa lain diseragamkan untuk tidak mengenakan jilbab. Hal ini menciderai kebhinekaan itu sendiri," ujar Ketua Umum Purna Paskibraka Indonesia PPI Gousta Feriza, Rabu (14/8/2024).

red

Anggota Paskibraka 2024 berbaris seusai dikukuhkan oleh Presiden Jokowi di Istana Negara, IKN, Kaltim, Selasa (13/08/24). (Antara/Sigid Kurniawan)

Merespons hal itu, Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menegaskan,  tidak pernah melakukan pemaksaan terhadap Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) putri yang berhijab, untuk melepaskan hijab mereka.

Yudian mengatakan, aturan mengenai seragam dan atribut Paskibraka telah ditetapkan sejak dahulu kala, sejak awal berdirinya Paskibraka. Kata dia, rancangan seragam dan atribut tersebut telah bertumpu pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

"BPIP menegaskan bahwa tidak melakukan pemaksaan lepas jilbab. Penampilan Paskibraka putri dengan mengenakan pakaian atribut dan sikap tampang sebagaimana terlihat pada saat pelaksanaan tugas kenegaraan yaitu pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada. Dan hanya dilakukan pada saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran Sang Merah Putih pada upacara kenegaraan saja," kata Yudian dalam keterangan di IKN, Rabu (14/8/2024).

Belakangan, Kepala BPIP Yudian Wahyudi   meminta maaf dan mengatakan Paskibraka putri diperbolehkan memakai jilbab saat pengibaran bendera.  Kata dia, hal itu mengikuti arahan Kepala Sekretariat Presiden selaku Penanggungjawab Pelaksanaan Upacara HUT RI yang membolehkan Paskibraka Putri mengenakan jilbab dalam pengibaran Sang Saka Merah Putih pada Peringatan HUT RI ke-79 di Ibukota Nusantara.

red

Pengukuhan Paskibraka Tingkat Pusat 2024 di Istana Negara, IKN, Kaltim, Selasa (13/08/24). (Antara/Sigid Kurniawan)

Menurut Direktur Eksekutif LSM Setara Institute, Halili Hasan,  Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)   harusnya menjadi teladan terhadap penghormatan keberagaman.

"Menggunakan jilbab atau tidak menggunakan jilbab sebagai ekspresi keyakinan merupakan hak dasar yang harus dilindungi dan dihormati oleh negara dan oleh setiap orang. Sebagaimana jaminan dalam undang-undang dasar 1945. Oleh karena itu setiap upaya satu pihak kepada pihak yang lain untuk menanggalkan keyakinan baik dengan paksaan, maupun dengan pengkondisian tanpa paksaan itu merupakan tindakan intoleran dan diskriminatif yang bertentangan dengan undang-undang dasar," kata Halili kepada KBR, Kamis (15/8).

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan juga mendesak Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mundur dari jabatannya sebagai bentuk tanggung jawab dari kontroversi ini.

"Mesti ada tindak lanjut dari kontroversi yang dihasilkan ini yang dihasilkan oleh Kepala BPIP. Maka dalam konteks ini bagus saja saya kira kalau kepala BPIP itu mundur dari jabatannya sebagai kepala di lembaga yang memiliki kewenangan mengenai pembinaan ideologi negara," imbuhnya.

Baca juga:

red

Pengukuhan Paskibraka Tingkat Pusat 2024 di Istana Negara, IKN, Kaltim, Selasa (130824). (BPMI Setpres)

Kontroversi Pakaian Atribut Keagamaan

Polemik jilbab bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, juga sempat mencuat sejumlah kasus pemaksaan penggunaan jilbab di satuan pendidikan yang dikelola pemerintah. Di antaranya kasus siswi nonmuslim yang tetap diwajibkan memakai jilbab di sekolah negeri di Sumatra Barat pada 2021.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, pemakaian busana merupakan bagian dari ekspresi keagamaan seseorang yang lahir dari keyakinannya, sehingga tidak bisa dipaksa oleh negara.

“Di negara yang mengatakan kita berdasarkan kepada KeTuhanan Yang Maha Esa, maka tidak boleh ada pewajiban atau pelarangan penggunaan pakaian agama,” ujarnya kepada KBR, Senin, (19/8/24).

Menurutnya, negara perlu menghapus ketentuan tentang seragam itu. Ia juga berharap kasus Paskibraka yang harus melepas jilbab saat pengukuhan  menjadi yang terakhir dan menjadi pintu untuk percepatan penghapusan kebijakan diskriminatif terkait pewajiban dan pelarangan busana atau simbol keagamaan yang ada di tingkat nasional maupun daerah.

Menurut Forum Berbagi, sebuah forum bagi korban perundungan dan pihak yang peduli akan isu pemaksaan jilbab, ada banyak kasus pemaksaan jilbab.  Anggota Forum Berbagi Rina Tiarawaty mengatakan,   sudah mendengar sekitar 1.500 cerita tentang pemaksaan pemakaian jilbab, terutama di sekolah-sekolah yang memiliki aturan terkait kewajiban memakai jilbab.

Rina menilai perempuan harus memilih pakaian apa yang akan mereka kenakan.

“Berikan kedaulatan kepada perempuan untuk memilih pakaiannya sendiri. Seharusnya si perempuannya atau si anak perempuan tersebut yang memilih apakah dia akan mengenakan jilbabnya atau tidak,” kata Rina.

Kala itu pemerintah berupaya menyelesaikan masalah itu dengan aturan yang diteken Mendikbud, Mendagri, dan Menteri Agama pada 3 Februari 2021. Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah memastikan keputusan memakai seragam dan atribut agama harus menjadi keputusan guru, siswa dan orang tua sebagai individu.

Dalam SKB itu disebutkan pemerintah daerah dan sekolah negeri tak boleh mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut agama. Sayangnya aturan itu hanya berusia 3 bulan. Pada Mei 2021 Mahkamah Agung mengabulkan uji materi dengan mencabut SKB tiga menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!