NASIONAL
Perlu Nggak Sih, Buzzer Diatur UU?
Buzzer yang mulanya digunakan sebagai strategi pemasaran kini beralih fungsi sebagai strategi politis.
AUTHOR / Lea Citra
KBR, Jakarta- Jelang Pemilihan Umum (Pemilu), buzzer dan relawan mulai berjamur. Project Officer Research Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, Sri Handayani Nasution menjelaskan bahwa fenomena buzzer di Indonesia sudah ada sejak tahun 2009. Sedangkan buzzer politik mulai muncul pada Pilkada Jakarta tahun 2012. Menurut dia, awalnya buzzer merupakan strategi marketing dalam bisnis yang bertujuan untuk mempromosikan produk/jasa perusahaan. Akan tetapi, saat ini terjadi pergeseran kegunaan buzzer, di mana muncul buzzer politik yang menjadi strategi pemasaran untuk pencalonan pimpinan lembaga pemerintah.
Baca juga:
Ratusan Mahasiswa Terjerat Pinjol dan Investasi Bodong, Gimana biar Gak Kejebak hal Serupa?
Pick Me Girl and Pick Me Boy Personality
Cek Fakta: Narasi soal Perang Indonesia VS Australia di Perbatasan Tak Terelakkan?
Bagaimana pengaruhnya?
Berdasarkan laman UGM, buzzer sangat bergantung pada isu yang sedang diagendakan, karena tidak semua isu bisa menarik perhatian khalayak.
Lantas, apa yang bisa dilakukan?
1. Memperkuat literasi digital. Literasi dan sikap kritis terhadap segala hal di ruang virtual harus kita tekankan.
2. Menguatkan aturan normatif etika dan hukum, terutama di masyarakat hingga ke level mikro.
3. Memproduksi konten berkualitas.
4. Berinteraksi dengan sehat.
5. Melindungi kelompok rentan.
Untuk membahas soal perlukah buzzer diatur di Undang-Undang. Kita simak podcast What's Trending berikut ini:
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!