Article Image

NASIONAL

Perjuangan Amani Hidup Bersama Gangguan Mental (bagian 1)

"Amani (bukan nama sebenarnya) mengisahkan upayanya pulih dengan mengakses rumah sakit jiwa (RSJ)."

Lukisan karya Amani yang dibuat setelah dirawat di RSJ Jawa Barat (Dok: Pribadi)

KBR, Jakarta - Amani (bukan nama sebenarnya) bercerita tentang detik-detik ia kabur ke Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat, pada akhir Desember 2021.

“Aku kalau nggak ke RSJ, aku bakalan mati. Jadi pilihan aku saat itu adalah tinggal aku pergi atau aku mati dan aku nggak mau mati,” kisah Amani.

Sudah beberapa hari ia depresi sampai terbersit keinginan untuk bunuh diri.

“Aku masih punya keinginan untuk hidup dan untuk membuktikan kepada dunia dan penyakit aku sendiri bahwa aku lebih kuat daripada penyakit aku. Jadi aku akhirnya pergi ke RSJ,” lanjutnya.

Setahun sebelumnya, Amani memang sudah didiagnosis menderita gangguan mental sulit fokus dan hiperaktif (ADHD), depresi serta bipolar.

“Aku sudah beberapa kali attempting suicide. Menurut dokter, aku udah ada di ambang batas, aku harus diperhatikan terus, karena aku sangat, sangat impulsif. Beberapa kali dibilang aku harus dirawat inap. Itu trigger-nya ada masalah dengan akademik, aku nggak bisa ngerjain tugas,” ujar dia.

Amani kuliah di jurusan Seni Rupa sebuah kampus di Bandung.

Kala itu, ia merasa kondisinya sudah darurat dan butuh pertolongan.

“Padahal ibu udah ngobrol sama dokter dan udah pasti bakalan dirawat inap. Di situ pikiran jahat aku (muncul). Kayak ibu pasti malu deh, kalau anaknya ke RSJ. Pasti pikiran-pikirannya masih ada stigma-stigma yang jelek. Akhirnya, aku kabur sendiri,” tutur bungsu dari empat bersaudara ini.

Baca juga: Potret Ketimpangan Akses Layanan Kesehatan Mental

Nomor antiran milik Amani saat ia mendaftar di RSJ Provinsi Jawa Barat. (Dok: Pribadi)

Jelang tengah malam Amani nekat ke RSJ. Sendirian.

“Aku bilang aku mau nge-print di rumah sebelah, tapi ternyata aku pesan Grab dan aku pergi aja ke RSJ Jawa Barat,” ungkap Amani. 

Aksi perempuan 21 tahun ini mengagetkan pihak rumah sakit.

“Waktu aku datang, aku langsung turun di IGD. Ditanya, ‘pasiennya mana, Mbak? Saya bilang, ‘saya sendiri’. Terus masnya langsung kaget, 'Mbak sendiri, bener?'” ujar Amani menirukan.

Amani menyerahkan kartu BPJS Kesehatan dan Kartu Keluarga untuk proses pendaftaran.

“Setelah daftarin, dipanggil dan di-interview sama psikiaternya. Ditanya, ‘kamu sama siapa ke sini? Aku bilang 'aku cuma sendiri' dan dianya juga kaget. Ternyata harus ada yang mendampingi karena ini nggak kayak rumah sakit biasa, karena takut bermasalah kalau misalnya tidak ada walinya,” kata dia.

Rencana kabur pun terbongkar dengan cepat. Setelah orang tuanya datang, Amani menjalani asesmen dan diharuskan rawat inap.

Di RSJ, ia dirawat di ruang VIP.

“BPJS kan memang ada level-levelnya. Sampai level 1 itu gratis, kalau mau upgrade jadi VIP, tambahan per hari inapnya sekitar Rp250 ribu. Dikasih VIP karena ibu takut akunya nggak nyaman, biar nggak stres lagi,” ujar Amani.

Baca juga: Lewat Seni Berdayakan Penyandang Skizofrenia

Puskesmas Sindang Barang salah satu faskes yang sudah menyediakan konslutasi psikolog di Kota Bogor. (Foto: KBR- Valda)

Amani menghabiskan tahun baru 2022 di RSJ. Totalnya 10 hari.

Selama itu, ia tidak boleh ditemani karena alasan Covid-19, tidak boleh dikunjungi, dan dilarang membawa gawai. Fokusnya adalah pemulihan diri lewat rutinitas.

“Jam 5 pagi bangun buat salat. Sekitar jam 7 makan pagi, terus dikasih obat. Selasa-Kamis jadwal aktivitas. Ada badminton, pingpong, melukis, memasak, berkebun. Selesai itu terserah mau ngapain sampai jam 12, salat, makan siang,” Amani memerinci.

“Sore sekitar jam 4 makan malam karena jam 5-nya minum obat. Jam 6 disuruh masuk ke kamar dan habis itu dikunci nggak boleh keluar. Disuruh tidur, ya udah jadinya tidur sampai jam 5 lagi. Kayak gitu aja ngulang-ngulang,” tutur Amani memerinci.

Melukis jadi aktivitas favorit Amani. Di luar jadwal kegiatan bersama, ia difasilitasi peralatan gambar di kamarnya.

Selama dirawat, Amani menyadari banyak stigma keliru tentang RSJ.

“Di RSJ itu nggak bisa selamanya di sana. Kan ada yang bilang, ‘RSJ sekali masuk, nggak bisa keluar’. Enggak, paling lama 21 hari, nggak boleh lebih dari itu,” terang Amani.

Penanganannya pun profesional.

“Perawatnya selalu ngajak ngobrol, 'gimana perasaan kamu, apa yang kamu rasakan, apakah masih ada pemikiran-pemikiran tentang bunuh diri'? Dokternya datang, seminggu dua kali, ada konseling dan mempertanyakan progresnya gimana. Dan mencari tahu sumber masalahnya biar nanti setelah keluar, masalah itu nggak balik lagi,” lanjutnya.

Amani punya banyak teman. Kerinduan terhadap keluarga dan sahabat-sahabatnya jadi sedikit terobati.

“Orang-orang di RSJ itu nggak nyeremin, tapi lucu-lucu. Aku nemu orang-orang yang ada waham, merasa dia itu sultan. Ada juga yang masuk situ karena minum handsanitizer. Orangnya rame-rame. Walaupun kadang ada yang nggak nyambung diajak bicara, tapi asyik-asyik aja gitu buat diajak ngobrol,” jelasnya.

Baca juga: Pergumulan Penyintas Kusta Lawan Stigma dan Berdaya

Penderita skizofrenia, Komang Sudiarto tengah melukis sebagai bagian dari terapi. Kegiatan ini diinisiasi komunitas Rumah Berdaya di Bali. (Foto: KBR/Lea Citra)

Selepas dari rumah sakit, Amani merasakan berbagai dampak positif. Lebih mengenali penyakitnya dan cara mengelolanya. Misalnya, ia kini paham saban bulan bakal mengalami fase manik

“Hypomanic itu kan aku bahagia banget. Kayak i’m the happiest person on earth. Terus impulsif. Aku pernah ngabisin Rp1 juta cuma berapa hari,” kata Amani.

Fase ini berlangsung sekitar empat hari, kemudian beralih ke fase depresi selama 20 hari.

“Karena di otaknya ada kimiawinya itu. Nah, ketika itu ga benar, aku langsung jadi depresi,” celetuknya.

Amani menerapkan rutinitas di RSJ untuk mengelola gangguan bipolarnya. Seperti beraktivitas fisik, menggambar dan menulis. Ia juga disiplin berobat ke psikiater dan konsultasi ke psikolog.

Semua ini dilalui Amani dengan dukungan penuh dari keluarga.

“Keluarga sangat, sangat perhatian. Karena aku mengubah mindset, jadi mereka adalah orang yang penting, dan aku akhirnya bisa bercerita ke mereka. Kita semua jadi lebih dekat dan lebih memperhatikan satu sama lain,” tutur dia.

“Pokoknya kalau aku habis relapse (kambuh) mereka jagain aku, nggak mau ninggalin. Kalau misalnya aku sedih, aku cuma peluk, udah itu aja. Walaupun mereka masih nggak bisa dan nggak ngerti cara manage-nya, tapi berusaha buat belajar dan lebih baik lagi,” ujar Amani.

Penulis: Ninik Yuniati & Valda Kustarini