NASIONAL

Menanti Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

"Kata Komnas HAM, PRT bekerja dalam situasi abusive, tidak mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja, rentan mengalami kekerasan dan bentuk pelanggaran HAM lain."

Heru Haetami

Pekerja Rumah Tangga
Ilustrasi. (Foto: Steve Buissinne/Pixabay)

KBR, Jakarta - Siti Khotimah, seorang pekerja rumah tangga (PRT) asal Pemalang Jawa Tengah, menderita luka parah akibat tindakan penyiksaan yang dilakukan majikannya.

Kekerasan yang dialami Siti terjadi sejak September hingga Desember 2022. Tak kuat menerima siksaan, Siti memutuskan kabur dari rumah majikannya di Jakarta.

Eni Sopiah, ibu Siti, tak berharap banyak atas perlakuan yang menimpa anaknya. Eni ingin, Siti pulang dengan keadaan selamat.

"Alhamdulillah lega sudah ketemu anak saya kembali. Walaupun keadaanya seperti itu tapi saya bersyukur kepada Allah yang telah mengembalikan anak saya kepada saya kembali. Harapan saya, semoga pulih kembali, pulih kembali, kumpul bersama keluarga," kata Eni dalam keterangannya, Sabtu (10/12/2022).

Siti bukanlah satu-satunya korban. Kekerasan juga dialami Rohimah, PRT asal Garut, Jawa Barat.

Pendamping hukum Rohimah, Asep Muhidin mengungkapkan, selain tindak kekerasan, hak-hak Rohimah juga tidak dipenuhi oleh majikannya.

"Yang dijanjikan adalah 2 juta per bulan tapi tidak full semuanya. Kata majikannya, karena ketika ada stop kontak lupa dimatikan atau cabut itu didenda 100 ribu. Itu sudah terjadi sekitar dua bulan, tapi dalam satu bulan terakhir yang mendapat penganiayaan," kata Asep dalam keterangannya, Rabu (2/11/2022).

Asep Muhidin menyesalkan lambannya proses hukum kasus kekerasan yang menimpa Rohimah. Berkas Rohimah telah disampaikan ke Kejaksaan Negeri Cimahi sejak 18 November 2022. Namun hingga awal Desember belum diputuskan P19 atau P21.

Asep menuturkan, meski pasal yang disangkakan terhadap pelaku mengancam 10 tahun bui, namun ia khawatir hukuman akan dikurangi.

Baca juga:

Kelompok rentan

Berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi dan Manusia (Komnas HAM), pekerja rumah tangga (PRT) disebut sebagai kelompok yang paling banyak mengalami kekerasan.

Kekerasan yang kerap dialami PRT di antaranya kekerasan ekonomi seperti tidak digaji, dipotong agen semena-mena, kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah mengklaim lembaganya akan memperkuat perlindungan dan pemenuhan hak PRT.

"Beberapa di antara mereka misalnya pekerja rumah tangga dan pekerja migran. Mereka bekerja dalam situasi abusive tidak mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja. Rentan mengalami kekerasan dan bentuk pelanggaran ham lain. Termasuk hak atas pendidikan, kemudian juga hidup yang layak, partisipasi secara berkualitas, termasuk juga bagaimana memastikan pendidikan dan kesehatan kelompok-kelompok ini nanti akan kita perkuat bagaimana mereka mendapatkan akses dan pemenuhan hak-hak mereka," kata Anis dalam keterangan resmi, Sabtu (10/12/2022).

Anis menyatakan, banyaknya kasus kekerasan yang dialami PRT justru tak didukung oleh keseriusan para pemangku kepentingan untuk melahirkan payung hukum bagi para pekerja itu.

Anis mengatakan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang saat ini dalam pembahasan DPR, mendesak untuk segera disahkan.

Di sisi lain, Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) memetakan setidaknya ada dua persoalan yang membuat RUU PPRT ini tak kunjung disahkan.

Pegiat JALA PRT, Ari Ujianto mengatakan, salah satu berkaitan dengan kultur masyarakat terhadap keberadaan PRT.

"Misalnya yang menolak menyebut ini nanti akan merusak budaya gotong royong, kalau undang undang ini disahkan merusak kekeluargaan, ini yang menolak yang mengatakan itu anggota DPR. Padahal justru sebaliknya nggak mungkin gotong royong, kekeluargaan atas penindasan. Justru dengan menghilangkan penindasan itu gotong royong, kekeluargaan memang terjadi sesungguhnya. Ada yang begitu nanti ini budaya barat, nanti ini dikapitalisasi, sedikit sedikit dihitung ada yang begitu menolaknya," kata Ari dalam diskusi daring, (24/12/2022).

Tak hanya itu, Ari menduga kemauan politik yang kurang dari para anggota dewan juga menjadi faktor RUU ini tak juga disahkan.

"Itu yang susah ditebak. Apakah ini mereka takut kehilangan panggung, apakah mereka melakukan bargaining, itu terjadi. Tantangannya itu mungkin secara politis, secara masyarakat, secara kultural gerakannya kurang masif," katanya.

Baca juga:


Sejauh ini RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga belum bisa ditindaklanjuti, meski masuk dalam program legislasi nasional. RUU ini sudah dibahas sejak 2004 atau 18 tahun lalu. Hingga kini DPR belum memutuskan RUU ini sebagai usul inisiatif legislatif.

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej mengatakan pengesahan RUU PPRT di pemerintah bisa dilakukan cepat dalam waktu 2 pekan saja, jika urusan paripurna di legislatif selesai.

Menurut Edward Hiariej, pengesahan berlangsung kilat karena pemerintah memandang RUU ini sangat penting untuk perlindungan para PRT.

Berdasarkan data Komnas HAM, sepanjang tahun 2017-2022, lewat dokumen JALA PRT, terjadi lebih 2.600 kasus kekerasan terhadap PRT.

Editor: Agus Luqman

  • RUU PPRT
  • PRT

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!