ARTIKEL PODCAST

Masyarakat Adat Awyu: “Tanah adalah Mama, Hutan adalah Identitas”

Hutan adalah benteng terakhir perubahan iklim

AUTHOR / Tim Ruang Publik

EDITOR / Ninik Yuniati

Perwakilan masyarakat suku Awyu Papua dan suku Moi melakukan aksi di depan Gedung MA Jakarta, Senin
Perwakilan masyarakat suku Awyu Papua dan suku Moi melakukan aksi di depan Gedung MA Jakarta, Senin (27/5/2024). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/aww.

KBR, Jakarta - Tokoh suku Awyu, Papua, Hendrikus Woro menuturkan betapa pentingnya hutan bagi masyarakat adat. Bagi mereka, hutan tak hanya ruang hidup, tetapi juta identitas. 

"Tanah adalah mama. Tanah adalah supermarket kami. Tanah adalah nomor rekening abadi bagi kami. Tanah adalah sumber kehidupan kami. Tanah adalah dapur kami. Tanah adalah hutan adat, rumah bagi cenderawasih," tutur tokoh adat yang kerap disapa Franky ini. 

Sedemikian pentingnya, maka mereka berjuang untuk mempertahankannya. Suku Awyu menggugat izin perkebunan sawit yang berada di hutan adat mereka.  Akhir Mei 2024, mereka ke Jakarta untuk menggelar aksi di depan gedung Mahkamah Agung (MA). Tuntutannya adalah MA membatalkan izin perkebunan sawit di hutan adat suku Awyu. 

Solidaritas kemudian mengalir di jagat maya. Tagar All Eyes on Papua trending di media sosial, terinspirasi dari tagar All Eyes on Rafah. 
 
Franky bilang, jika hutan rusak, maka suku Awyu akan kehilangan segalanya. Selain itu, alih fungsi hutan menjadi sawit juga akan mengancam upaya memitigasi perubahan iklim. 

“Hutan kami adalah benteng terakhir menghadapi krisis iklim global. Ketika perusahaan masuk, semua hak kami akan hilang, yaitu, hak hidup bebas dan hak mata pencaharian. Tempat penting kami akan hilang. Sungai-sungai kami akan rusak. Masyarakat adat hanya meramu, berburu, jika hutan adat kami digusur habis, maka kami mau hidup di mana?” keluh Franky.

Baca juga:

Respons All Eyes on Papua, Wapres: Masyarakat Adat Harus Dilibatkan

Wapres: Tindak Tegas Aparat Pelanggar HAM di Papua

Periset di Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Defe, jika hutan adat Awyu rusak, maka dampaknya berlipat ganda. Kebun sawit mengancam ketahanan pangan lokal dan keberlangsungan ekosistem.  

“Itu akan memengaruhi semua orang yang tinggal di sekitaran Sungai Digul, dari atas ke bawah. Jadi, terdampak semuanya, bukan saja suku Awyu yang ada di Kampung Nyare, tetapi suku-suku lain,” jelas Defe.

Masyarakat adat Awyu selama ini sudah mempraktikkan pembangunan berkelanjutan. Mereka tak butuh sawit. 

“Orang Papua sendiri tidak membutuhkan sawit”, lanjutnya.

Antropolog I Ngurah Suryawan, mengatakan, kasus suku Awyu memperlihatkan logika kapital berbenturan dengan pelestarian alam dan masyarakat adat. 

Kata dia, orang Papua bukanlah pendatang di tanahnya sendiri. Mereka memiliki ikatan religius dan emosional yang dalam dengan tanah leluhur. Perlawanan masyarakat adat menegaskan kedaulatan atas identitas dan hubungan historis dengan alam.

“Orang-orang yang datang ke Papua, perusahaan dan lain sebagainya, itu orang yang baru saja datang ke Papua. Jadi, sebelumnya ada leluhur orang Papua yang memiliki ikatan-ikatan religius, emosional yang embedded dalam kehidupan mereka,” ujar Ngurah.

Ngurah bilang negara yang rakus mengeksploitasi sumber daya alam cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan dampak ekologis jangka panjang.

Lantas bagaimana mendorong solidaritas All Eyes on Papua berdampak pada penyelamatan hutan adat Papua?

Simak pembicaraan lengkapnya dalam siaran Ruang Publik KBR episode All Eyes on Papua, Bagaimana Mendukung Penyelamatan Hutan Adat Papua? Hanya di kbrprime.id.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!